Jungkook berjalan seorang diri menyusuri koridor yang didominasi siswa-siswi berseragam ㅡsama sepertinya. Jam istirahat yang masih berlangsung sampai dua puluh menit ke depan membuat koridor dipenuhi oleh suara tawa dan derap kaki terburu menuju satu arah yang sama, yaitu kantin. Apabila dilihat baik-baik, hanya Jungkook yang berjalan berlawanan arah dengan siswa lainnya. Pun tidak ada satu pun yang peduli. Urusan perut lebih penting ketimbang memikirkan urusan orang lain. Apalagi kalau orang itu adalah Jeon Jungkook, siswa yang paling dibenci dan dihindari nyaris seluruh siswa penghuni sekolah.
Tentu saja fakta yang satu itu tidak dapat dilupakan.
Pandangan seseorang terhadap orang lain tidak dapat dirubah dengan mudah. Ibaratnya seperti noda di atas kertas putih. Meskipun hanya ada satu titik noda, tetapi kalau sudah meresap, air pun tidak akan mampu membuatnya menghilang. Mungkin, noda nya bisa tersamarkan. Akan tetapi, noda itu tetap berada disana. Mengering dan mengakar kuat. Sama seperti bagaimana seluruh siswa di sekolah memandang benci pada kehadiran Jungkook disana. Ada atau tidaknya pemuda itu dihadapan mereka.
Jungkookㅡ masih sama seperti sebelumnya. Selama tidak ada yang mengusik hidupnya. Selama kerja kerasnya berbuah pada kehidupan yang baik. Dipandang buruk oleh orang lain yang tidak tahu apa-apa soal hidupnya bukanlah suatu masalah besar.
Jungkook hidup untuk dirinya sendiri, bukan untuk menyenangkan orang lain yang bahkan tidak pernah peduli padanya.
Sampai di depan kelasnya, Jungkook bisa melihat kursi-kursi itu ditinggalkan tak berpenghuni ㅡkelasnya kosong. Maniknya tanpa sadar melirik pada kursi yang bertempat hampir di posisi tengah kelas walaupun posisinya masih terlalu belakang untuk dikatakan demikian ㅡtempat duduk Taehyung.
Tanpa disadari, pemuda itu menghembuskan napas kasar.
Jungkook segera berjalan menuju kursinya. Tujuannya sejak awal memang kembali kemari. Ada sesuatu yang sejak tadi berada dalam genggamannya dan harus segera ia simpan ke dalam tasnya.
Sebuah amplop biru panjang berukuran A4+ diletakkan di atas meja seraya Jungkook membuka tasnya. Amplop itu adalah benda yang sejak tadi direngkuhnya kuat. Amplop yang diterimanya dari sang wali kelas yang telah menyita sepertiga waktu istirahatnya di ruang guru.
Sebuah amplop yang berisi berkas-berkas yang menjadi mimpi dan tujuan akhir Jungkook dengan semua kerja kerasnya selama ini.
Jungkook menghentikan pergerakannya dan memandangi amplop yang tergeletak apik di atas meja. Tiba-tiba saja kalimat yang disampaikan wali kelasnya kembali terngiang.
"Ini adalah kesempatan emasmu. Kau adalah salah satu dari sepuluh siswa yang berhasil. Dengan begini, kau tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal ujian masuk. Aku senang waktu itu kau memutuskan untuk berubah pikiran. Selamat, Jeon Jungkook. Ssaem bangga padamu tidakㅡ sekolah ini bangga memiliki siswa sepertimu."
Bukankah seharusnya seseorang akan merasa senang ketika kerja kerasnya membuahkan hasil? Bukankah seseorang akan merasa senang saat impiannya terwujud?
Akan tetapi, mengapa ia justru merasa gelisah? Mengapa ia justru merasa ragu?
"ㅡkie"
"ㅡKookie."
"Jungkookieㅡ"
"Jungkook."
Puk
"Jeon Jungkook."
Jungkook terlonjak saat sesuatu menepuk bahunya cukup keras. Selama beberapa saat bola matanya berpendar tak tentu arah karena tubuhnya tidak cukup siap menerima perlakuan ringan yang cukup menyentak bagi siapapun yang tengah tenggelam dalam lamunan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me (Vkook FF) #Wattys2019
Fanfiction"Aku tidak membutuhkan siapapun termasuk dirimu." - Jeon Jungkook "Semakin lama aku melihatnya, semakin ingin aku mendekap tubuhnya." - Kim Taehyung Yaoi BoyXBoy NamjaXNamja Vkook Taekook Bangtan ZoopApp