16

19.9K 894 23
                                    

Hai semua, kali ini Author up nya lebih cepet ya. Karena nanti malam Author mau pergi.

Happy Reading semua ❤️

Ketiga teman Dimas masih menatapnya penuh tanya,

Suasana masih hening, nampak Dimas berfikir seolah sedang mengingat sesuatu.

Dibeberapa detik kemudian akhirnya pemuda yang berkulit putih dan tampan tersebut membuka suara.

"Aku ingat, waktu itu pernah hampir menabrak seorang bocah laki-laki dijalan perkebunan teh bapak ku, untungnya aku mengerem dan tak sampai menabraknya. Dan aku ingat betul, wanita itu segera berlari menghampiri kami dengan wajah yang begitu panik. Bukan kah bocah laki-laki yang dia gendong itu anaknya?" Jawab Dimas panjang lebar sembari memberi pertanyaan di akhir penjelasannya.

Arman, Rio dan Ari saling melirik satu sama lain. Nampak diam dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Ya Tuhan, aku kira kamu benar-benar tau kalo Kinara itu istri orang" Cetus Arman di sela gelagat tawanya.

"Bocah itu yusuf, anak Bu Mina. Itu, wanita paruh baya yang berjalan di samping Kinara." Tambah Rio sambil menunjuk samar ke arah ketiga wanita yang sedang berjalan santai mengarah ke pondok mereka.

Ari tak henti-hentinya tertawa sambil sesekali menyeka air mata yang turut turun akibat gelagat tawa yang berlebihan.

"Aduh perut ku sakit akibat terlalu banyak tertawa" Ucap Ari kemudian memegangi perutnya dengan tekuk bibir yang masih sama.

"Udah-udah berhenti, mereka sudah makin dekat. Ndak enak di dengar mereka kalo kita tertawa terbahak-bahak gini." Ucap Arman kemudian, setelah ia sadari ketiga wanita tadi sudah semakin dekat dengan posisi mereka sekarang.

Perlahan, tawa yang begitu pecah tadi meredam.

Dibeberapa menit kemudian, Kinara, Lastri dan Bu Mina telah berada di jalanan depan pondok pemuda-pemuda tersebut.

Dengan ramah Bu Mina menyapa
"Permisi Aden Aden" Tegurnya sembari menganggukan kepala sebentar dengan begitu sopan.

Sedangkan Lastri dan Kinara hanya tersenyum hangat sembari turut menganggukan kepala ringan, tanda memberi salam pada sekelompok orang yang kini mereka jumpai di perjalanan.

Ketiga pemuda tadi membalas dengan senyum yang tak kalah hangat. Sembari menoleh, mengekor langkah kaki ketiga wanita yang jalan berlalu. Kecuali Dimas yang hanya membalas dengan senyum seadanya.

"Lihatkan Dim Kinara begitu cantik" Cetus Arman ketika dirasa ketiga wanita tadi telah berjalan jauh dari pondok mereka.

"Lembut pula" Timbal Rio singkat yang tak mengubah posisi mata tetap menatap punggung Kinara yang kini berjalan menjauh.

Dimas menarik nafas kasar dan menghembuskannya kuat.

"Huufft, ternyata selama ini aku salah ya" Gerutu Dimas pelan sembari sedikit menunduk.

"Emang salah" Serobot Arman cepat sembari menepuk kuat pundak Dimas.

"Dim Dim, gimana toh. Ndak bisa bedain mana yang single sama istri orang" Tambah Rio. Kemudian ketiga pemuda tadi kembali tertawa ringan mentertawakan ucapan Dimas, yang bodohnya sempat membuat mereka percaya dan bertanya-tanya.

"Nah gimana menurut mu Dim, dia benar-benar cantik kan? Siapa yang nolak jadikan dia istri" Lanjut Arman bertanya.

Dimas yang tadinya menunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Menatap sekilas Arman dan kemudian menoleh ke arah Kinara yang kini sudah berjalan semakin jauh dari pondok mereka.

Dimas menatap punggung itu lekat, sembari berkata pelan " Ya, dia memang cantik" Dengan posisi kepala tak ubah tetap seperti semula setelah beberapa menit dia berucap.

Rio menatap heran, turut mengarahkan pandangannya searah dengan pandangan Dimas yang menatap lama Kinara.

"Dim, jangan bilang kamu juga sudah mulai jatuh hati" Cetus Rio selidik atas prilaku Dimas tersebut.

................................

Mentari kini mulai lelah, perlahan menurun meredupkan cahayanya yang terang berganti oranye.

Briyan menghempaskan tubuhnya kuat, diatas kasur single bed sebuah kamar yang bernuansa putih gading.

Ia menatap lekat langit di luar jendela yang menampilkan lukisan senja dengan begitu indah.

"Huufft, sudah seminggu dan tak ada hasil" Gumam Briyan lelah.

Sudah satu pekan dari hari kedatangannya untuk mencari istri sahabatnya ke desa ini, namun sampai hari ini tak pula ia temui hasilnya.

NIHIL, itulah yang dapat di gambarkan pada usahanya kini.

Selama sepekan, tak ada celah untuk ia berhenti mencari wanita tersebut walau hanya menanyakan namanya.

Sudah seperempat desa ia kelilingi sendiri dengan berjalan kaki, bertanya pada setiap warga yang ia temui.

Briyan berkeliling desa tanpa mobil sewaannya dan sang sopir. Kali ini Briyan memutuskan berjalan kaki demi mencari seseorang karena ia tak ingin melewatkan satu incipun dari tempat ini.

Bukan tak pintar dalam hal mencari, sebelumnya Briyan sudah ada rencana bertanya pada staf kelurahan di desa ini tentang kedatangan seorang wanita yang ber-migrasi dan menetap sejak dua tahun lalu. Tapi Briyan juga tau, itu akan menyalahi aturan dan dianggap mengganggu privasi di desa tersebut. Bisa saja Briyan di usir keluar dari desa itu setelahnya. Jangankan menemukan orang yang ia cari, bahkan ia harus angkat kaki dan perjalanan panjang nya ini harus berakhir sia-sia.

Tentunya Briyan tak mau ambil resiko demikian.

Namun dengan mencari tanpa petunjuk yang jelas begini, Briyan merasa seolah sedang berjalan di tempat. Tak mundur dan juga tak maju.

Briyan nampak putus asa, akan tetapi beberapa detik kemudian muka nya kembali menampilkan semangat

"Kamu tak boleh menyerah Briyan, masih ada tiga perempat bagian desa lagi yang belum kamu jelajahi" Gumamnya lagi sambil memejamkan mata kuat. Seolah meyakinkan dirinya yang saat ini mulai goyah.

"Aku harus mulai meminta bantuan pada warga di desa ini untuk dapat menemukannya, tapi siapa yang bisa membantuku. Aku pun tak kenal satu pun orang di sini." Pikir Briyan dalam hati. Matanya yang tadi terpejam kini mulai terbuka perlahan, menatap lekat langit-langit kamar yang telah ia sewa selama satu minggu ini.

Ia kembali menarik nafas kasar dan menghembuskannya kuat, kemudian tersenyum.

Fikirannya mulai berputar kebeberapa hari lalu, mengingat wajah cantik seorang wanita yang terkejut akibat ulahnya.

"Kurasa dia bisa membantu" Gumam Briyan, kali ini diiringi dengan senyuman di wajah tampannya.

"Dan siapa yang tau, dengan ini aku bisa mengenalnya lebih dekat" Ucap Briyan kembali sebelum ia berdiri mengambil handuk, dan memasuki kamar mandi yang berdinding kaca tersebut.

Sebelum ia benar-benar melangkah masuk, kembali ia tersenyum singkat sambil menggelengkan kepala pelan.

"Briyan, Briyan" Ucapnya menyebut nama sendiri kemudian menutup pintu dan membersihkan badannya. Guna meluruhkan seluruh beban dan lelahnya hari ini, yang ingin segera ia lepas dan hilangkan bersama tenggelamnya mentari.
.
.
.
.
.
Bersambung

(Not) Regret [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang