Joy mendekam di dalam kamar sejak kejadian semalam. Ia pulang lebih dulu, belum berani keluar kamar. Irene sudah mengetuk pintu berkali-kali, memberi pengertian sepanjang ia bisa dan menyuruh Joy keluar dari kamar. Surya sudah lelah dengan putri sulungnya yang termasuk manja bukan main. Apa boleh buat, Irene dan Surya tipe orang tua yang tidak pernah memarahi anak apalagi membentak. Mereka selalu membiarkan anak-anaknya melakukan hal sesuka hatinya, selagi masih dalam batas wajar. Surya dan Irene selalu mengancam dengan menyita segala yang mereka berikan untuk anak-anaknya, apabila Joy dan Yohan mencoba melawan mereka. Irene sendiri pernah menguji Joy dengan tidak memberi uang jajan, menyita aset pribadi Joy dan tidak memberi makan kepada Joy selama 1 hari. Setelahnya, Joy kapok. Dia memang kelewat nakal.
"Joy, keluar ya, Nak? Mama jelasin" ujar Irene memohon.
"Udahlah, Ma. Jangan dipaksa. Biarin aja" sahut Surya dari samping. Suaranya kencang, Joy bisa mendengarnya. "Kalau gak mau nikah sama Sehun, dia udah siap makan batu berarti" lanjut Surya membuat Joy menangis di dalam kamar.
"Aduh, jangan dong, Pa" gumam Joy meski tidak didengar orang tuanya.
"Papa..."
"Apa? Anak gak tau diuntung kalau dia mau nolak nikah sama Sehun. Apa papa salah kalau gak akan kasih uang jajan dan segala macam rupa untuk dia? Biarin aja. Malu-maluin kita banget"
Joy menangis dalam diam.
"Joy, udah dong ngambeknya. Mama jadi ikut sedih, nih. Mama mohon kamu keluar, Joy" ujar Irene kembali memohon.
"Gak mau. Papa jahat" jawab Joy pelan, tentu saja tidak bisa didengar Irene.
"Aduh, Pa! Harusnya papa itu cemas. Takut-takut Joy melakukan hal yang enggak-enggak" omel Irene.
"Enggak akan, Ma. Ini bukan masalah besar" ujar Surya.
"Bukan masalah besar buat lo, tapi buat gue iya!" bentak Irene.
Knop pintu berbunyi, membuat Irene dan Surya tersentak. Joy keluar dengan mata sembabnya. Irene menatap cemas Joy dan langsung menangkap pipi Joy.
"Sayang, kamu gak apa-apa, kan? Gak melakukan hal-hal yang aneh, kan? Mama kamu buat khawatir, tau"
Joy masih terisak.
"Kamu ngapain pakai nangis segala? Bisa merubah sesuatu?" tanya Surya ketus.
"Papa!" teriak Joy, tangisnya semakin pecah. Ia memeluk Irene erat.
"Nangis lagi. Papa capek sama kamu" ujar Surya. "Dari kecil, kamu minta apa saja papa belikan, kamu gak pernah papa marahin, papa sayang sama kamu. Bukannya papa menuntut atau minta balasan, tapi seenggaknya kamu kan bisa mikir. Kamu sekolah tinggi, sia-sia kalau gak biss mikir dengan baik" lanjut Surya sarkas.
"Udah, Joy. Jangan nangis" ujar Irene menenangkan.
"Udah besar jangan manja" sindir Surya.
"Papa, jangan gini, dong. Aku tuh lagi bingung" ujar Joy sambil berusaha menahan tangis. Ia juga kelihatan berantakan.
"Bingung kenapa? Bukannya kamu udah pasti nolak perjodohan ini?" tanya Surya.
Joy bungkam.
"Kamu tuh dari kecil hidup enak, Joy. Timbang disuruh nikah sama anak konglomerat aja susah" ujar Surya tajam.
"Pernikahan bukan sembarangan loh, Pa" balas Irene.
"Iya, papa tau. Salahnya nikah sama Sehun tuh apa? Dia baik, pintar, mapan dan idaman pokoknya. Cacatnya dimana?"
Joy masih terdiam. Sampai akhirnya buka suara, "aku...aku perlu pertimbangin semua, Pa. Gak bisa langsung terima" jawab Joy pelan. Surya menghela nafasnya, sedangkan Irene masih menenangkan Joy.
"Udah, ya. Cup cup" ujar Irene.
*****
Suasana kafe selalu menemani Sehun di kala sore. Walaupun duduk sendiri dengan laptop di depan mata, Sehun tidak peduli mau dilihat orang seperti apa. Di sekelilingnya, banyak pasangan berbagi cerita, kumpulan anak-anak gaul yang asik bergurau. Sedangkan Sehun, dia sendiri. Sebenarnya Sehun memiliki teman, tetapi memang dirinya lebih senang menikmati waktu sendirian dibandingkan harus berkumpul dengan mereka. Apalagi, setelah kejadian semalam. Benar-benar mengejutkan.
Sehun ini tipe jika sedang ada masalah, ia akan menyendiri di tengah keramaian, tetapi tetap memilih sendiri meskipun tidak ada masalah. Tergantung mood.
Orang tidak akan meliriknya sebagai lelaki tampan, kaya dan keren. Orang hanya akan berpikir jika Sehun ini adalah orang yang selalu membawa tas berat, hobi membaca buku, mencatat, mencari sumber bacaan dan pintar bukan main. Memang benar, dia peraih nilai tertinggi di universitas tempat ia menempuh pendidikan. Dia juga tidak suka main bersama teman-temannya dan memang tidak asik alias kaku. Teman-temannya sendiri mengakui itu. Ya meskipun begitu, Sehun ini anak konglomerat yang cukup membanggakan. Tidak disangka, ya.
Pikiran Sehun masih tertuju pada gadis cantik dengan mulut iblis di matanya. Sialan, kenapa harus Joyana? Ia sendiri tidak menyukai gadis itu karena sewaktu kuliah, hobinya hanya mengejek Sehun.
Baru pertemuan awal untuk perjodohan saja, Sehun merasa tidak siap. Belum lagi, Joy menolak Sehun mentah-mentah.
Sehun yang sedang mengetik pun langsung berhenti dan mendesah pelan. Rasanya lelah walau hanya sekedar memikirkan bagaimana nantinya dirinya dan Joy. Apabila ia menolak, jelas ayahnya akan marah. Namun, jika ia terima, apa yang akan terjadi nantinya? Sehun tidak bisa membayangkan untuk hidup dengan gadis seperti itu. Terutama, menerima setiap ucapan pedas Joy.
Memang, yang perlu Sehun lakukan hanya bersabar dan terus begitu. Ia yakin, semuanya akan indah pada waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What?
FanfictionReaksi Joyana Prastiwi Barata Hadi di pertemuan awal antara dirinya dan Sehun Virzha Jossiah : "Apa?! Sama cowok ini?!" Dah, gitu aja.