Seharian penuh Joyana di kediaman keluarga Sehun. Lebih suntuk dibandingkan biasanya. Ya, kesehariannya hanya diisi kumpul bersama teman-teman dan berbelanja. Tapi di sini, ia tidak bisa keluar. Bukan tidak bisa, tapu tidak enak saja rasanya kalau ia keluar rumah hanya untuk bermain. Ia harus menjaga citra sebagai putri sulung Surya.
Hari ini, kalau tidak menemani Sunny di dapur atau di taman, Joyana memilih keliling sendiri atau makan di kamar kalau tidak ada Sunny. Seperti itu. Rumah ini lebih sepi dibandingkan rumahnya. Bayangkan, sosok ibu di sini ternyata wanita karir. Sedangkan ibunya sendiri, cukup menjadi ibu rumah tangga. Jumlah pelayan di sini lebih banyak, tapi semua kaku seperti Sehun. Menyebalkan, kata Joyana dalam hati. Seluruh pegawai di rumahnya sendiri tidak sekaku ini karena Joyana sekeluarga sering kelewat santai. Sepertinya, Keluarga Jossiah memang mengutamakan attitude dan tata krama. Apalah daya Joyana yang pecicilan. Mungkin, kalau ceritanya ini Joyana yang ngebet nikah dengan Sehun bukan karena perjodohan, sampai dia melahirkan anak Sehun pun tidak akan menikah karena terhalang restu orang tua Sehun. Bisa jadi, kan. Joyana hanya membayangkan. Apa Joyana perlu bersyukur karena ia menikah dengan Sehun atas perjodohan? Ngomong-ngomong, Joyana berani mengakui dalam hati, bahwa Sehun memang tampan meski tetap saja kaku. Joyana nyaris saja membelai pipi Sehun kemarin. Dasar, jiwa tante girangnya perlu dikondisikan.
Joyana sedang menonton tv. Oh, bukan. Yang benar ditonton tv. Ini sudah pukul setengah 7 malam. Sunny masih ada urusan sepertinya dan Sehun tentunya belum pulang. Yoshua sedang kunjungan kerja ke luar kota. Joyana mendengkus merasa bosan.
Suara sepatu para pelayan di rumah ini terdengar sampai ke telinga Joyana. Mereka terburu-buru. Oh, ada seseorang. Joyana membenarkan posisi duduknya, paling tidak lebih anggun. Ia kira itu Sunny. Ternyata, Sehun. Joyana menoleh masih dengan posisi duduk di sofa. Pakaian off-shoulder nya berwarna putih mempertontonkan bahu putih mulusnya. Bahkan, Sehun sempat meliriknya meski secepat kilat. Tidak ada getaran apa-apa dalam diri Sehun waktu melihat Joyana, ya seperti yang biasanya terjadi. Joyana bingung harus apa saat ini. Makanya, ia tetap duduk sambil mengerucutkan bibirnya. Sehun langsung melangkah masuk ke kamar.
Tiba-tiba terpikirkan sesuatu dalam benak Joyana. Ia penasaran dengan rutinitas Sehun. Apa yang ia lakukan selama di kamar? Apa ia akan belajar atau tetap bekerja? Joyana merasa dirinya ini punya hak untuk penasaran. Ia calon istrinya, kan. Jadi wajar saja. Joyana berdiri lalu melangkah ke lantai 2. Tanpa ba-bi-bu lagi, Joyana masuk ke dalam kamar Sehun.
Kriett
Kosong. Sehun hilang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, Joyana tak peduli. Ia tetap masuk. Ia juga penasaran akan kamar Sehun. Ternyata, rapi. Tidak kalah rapi dari kamarnya sendiri. Joyana mengelilingi kamar itu. Melihat dekorasi interiornya. Ada foto-foto masa kecil Sehun sampai masa sekolahnya. Lucu waktu kecil, culun saat masa sekolah. Dasar. Ia menggunakan kacamata waktu SMA sepertinya. Sebenarnya, Sehun itu tampan sejak kecil. Maklum, orang tuanya sendiri sudah diyakinkan sebagai pencetus bibit-bibit unggul. Suara knop pintu kamar mandi terdengar, Joyana menoleh cepat. Sehun mandi. Hawa hangat terasa sampai ke Joyana, suara air terdengar jelas, setelahnya terpampang jelas sosok Sehun yang berbeda dari biasanya.
Joyana tercengang, ia sampai syok. Joyana menutup mulutnya tak percaya. Sehun berdiri di ambang pintu dengan penampilan luar biasa menggoda. Telanjang dada, hanya handuk yang melilit pinggangnya. Otot perutnya terpampang nyata, tubuhnya yang jangkung dan kelihatan kurus itu ternyata sangat atletis. Harta berharga macam apa ini yang selama ini Sehun sembunyikan?! Kaki Joyana terasa seperti jelly, ia jatuh di tempat. Tangannya memegang tepi meja. Sehun dengan cepat menghampiri Joyana untuk menahannya agar tidak jatuh. Terlambat.
Joyana pingsan, bersamaan dengan handuk Sehun yang merosot. Untungnya, Joyana sudah tidak sadar.
"Ya Tuhan! Apalagi sih ini?!" Sehun mengeluh. Namun demikian, ia tetap menggendong tubuh Joyana dan membawanya ke ranjangnya. Kenapa bisa Joyana pingsan begini? Memalukan.
*****
Sunny pulang pukul 9 malam. Tubuhnya terasa ingin ambruk. Ia harus segera beristirahat. Sehun baru saja akan kembali ke kamarnya dengan segelas air mineral di tangannya, waktu Sunny tiba. Wanita itu menanyakan keberadaan Joyana, dan Sehun menjawabnya dengan sebuah kebohongan tentunya.
"Dia bilang mau tidur. Jadi, udah di dalam kamar" katanya bohong.
Sunny mengangguk, "mami capek. Jadi mami mau langsung masuk kamar".
"Perlu diantar?" tanya Sehun menawarkan.
Sunny menggeleng, "gak usah. Kamu segera tidur sana" jawab Sunny.
"Iya. Kalau gitu, selamat malam, Mi. Selamat beristirahat" ujar Sehun lalu melangkah menuju kamar.
Di dalam sana, Joyana masih dengan posisi tiduran dengan mata terbuka. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar Sehun. Suara pintu tertutup pun tidak membuatnya menoleh. Ia malu.
Sehun meletakkan segelas air mineral di atas meja samping ranjang, sambil mengamati Joyana yang masih terdiam.
Sehun sudah kembali menggunakan kacamata dan saat ini ia menggunakan celana olahraga dan sweater. Joyana bingung, mau ia kemanakan mukanya saat ini?
Sehun duduk di sudut ranjang, masih memandangi Joyana. "Minum. Sudah saya bawakan air untuk kamu" ujar Sehun.
"Air got apa air tajin, Hun?" tanya Joyana ngawur dengan suara lirih. Pandnagannya masih tidak berani ia tuju ke arah Sehun. Terdengar suara tawa kecil Sehun. Ia menertawai Joyana? Gadis itu jadi semakin malu bukan main. Dasar bodoh, rutuknya dalam hati.
"Air WC, Joy" jawab Sehun tak kalah ngawur. Joyana terduduk dengan perasaan pusing bukan main di kepalanya. Berat sekali. "Besok daftar srimulat, yok!" celetuk Joyana tanpa ekspresi.
Sehun mengangkat satu alisnya, ia kembali tertawa. "Minum. Otakmu belum pulih" katanya.
Joyana mengambil gelas itu dan meneguknya sampai habis. Rasanya kembung dan kenyang jadi satu. Joyana masih duduk lemas. Memang tubuhnya ini terasa lemas.
"Kenapa kamu bisa pingsan?" tanya Sehun penasaran.
Deg!
Joyana membelalakkan matanya. Tidak mungkin jika ia jawab ini semua dengan kejujuran. Ambrol sudah nama baiknya. Ya memang sudah ambrol, sih. Joyana memikirkan sesuatu yang perlu ia siapkan untuk menjawab.
"Joy"
"Badan gue lemas. Kayaknya gara-gara telat makan, deh" ucapnya bohong.
"Kenapa bisa telat makan?"
"Soalnya, gue keliling rumah melulu" jawab Joyana cepar agar tidak terlihat sedang berbohong.
Sehun mendengus, "jangan norak sama rumah bagus" katanya.
"Enggak, kok! Cuman biar gak bosan aja" bantah Joyana.
"Kamu bosan di sini?" tanya Sehun.
"Enggak juga. Di sini enak, kok. Cemilannya banyak"
"Kamu terlalu banyak ngemil sampai lupa makan" ujar Sehun. Joyana diam saja. "Masih lemas?" tanya Sehun.
Joyana mengangguk, "iya. Kepala gue pusing" jawabnya.
"Kamu tidur di sini dulu aja. Biar saya tidur di kamar sebelah" kata Sehun sambil berdiri.
"J-jangan!" tolak Joyana.
"Kenapa?" tanya Sehun.
"Kalo gue ada butuh apa-apa, gue harus manggil siapa? Gue kan lagi gak bisa jalan cepat" jawab Joyana.
Sehun terlihat menimbang sesuatu. "Oke. Tapi, saya gelar kasur di bawah. Kamu tidur di atas aja"
"Gak apa-apa?" tanya Joyana.
"Enggak" jawab Sehun.
"O-oke"
Sehun segera menggelar kasur gulung untuk ia gunakan di lantai. Ia mengambil selimut di lemari. Joyana juga sudah tidur. Pura-pura tidur maksudnya. Sebenarnya, ia tidak bisa tidur. Detak jantungnya berdegup cepat. Pikirannya kembali kepada momen awkward tadi. Tubuh Sehun, penampilan Sehun yang sebenarnya--sial. Ia harus membuang pikiran itu jauh-jauh.
Tapi, bahkan Andra saja kalah. Tidak setampan Sehun.
Tiba-tiba, Joyana membayangkan apabila ia dan Sehun sudah menikah nanti. Tentunya, mereka akan hidup bersama. Tidur bersama, mandi bersa--Joyana menggeleng pelan dan mencoba tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
What?
FanfictionReaksi Joyana Prastiwi Barata Hadi di pertemuan awal antara dirinya dan Sehun Virzha Jossiah : "Apa?! Sama cowok ini?!" Dah, gitu aja.