• Short Story •

3. 🗒

   "Sebenarnya kita lagi berapa putaran lagi, sih?" Keluhku sambil berusaha mengatur nafas. "Satu kali lagi. Eh, ada Kak Zaen kesini, Nin!" Pekik tertahan teman binjasku kali ini.

   "Selamat Pagi!" Ucap kami berbarengan. "Pagi, Dek. Udah lari berapa putaran?" Tanya Kak Zaen memelankan langkah larinya menyamai langkahku yang berada di sebelah kirinya. "Siap, baru 2 Kak. Ijin, kurang 1," jawabku.

"Masa? Nggak keringatan tuh." Ia menoleh kearahku, aku menatap balik kearahnya. "Siap, ini nafas saya udah ngos-ngosan."

   "Jarang lari, ya kalau di rumah? Lagian, ada teknik khusus biar lari kamu kuat sampe 12 menit lebih," katanya. Aku meringis mendengarnya, "Ijin, saya kalo lari mah kalo ada binjas aja hehehe. Ijin, biar larinya kuat saya harus gimana?" Tanyaku.

   "Pertama, atur nafas. Kedua, ayunin kedua tanganmu seirama sama kaki. Ketiga, pas lari yang napak itu bukan seluruh telapak kaki. Tapi, cuma telapak kaki bagian atas yang dekat jari-jari. Kelihatannya capek, tapi itu yang bikin kamu tetep kuat lari sampe 12 menit lebih. Terus, besok Minggu pagi jam 5.30, kamu mau nggak lari sama saya di dekat ruko sebelum pintu masuk perumahan?"

Aku diam mendengar penjelasannya  namun sedikit tergagap menjawab pertanyaan Kak Zaen diakhir kalimat. "Ehm, Siap, Insyaallah saya usahakan," jawabku.

   "Kalau gitu, saya boleh minta nomor kamu? Takutnya ada sesuatu mendadak gitu." Tanyanya kemudian, "Siap, ini Kak Zaen, bulpennya." Aku berdecak pelan pada teman binjasku ini. "Oh, iya. Pinjem dulu ya, nomormu berapa?"

Dengan sedikit tidak enak aku mendikte nomorku teleponku pada Kak Zaen. "Siap, 085xxxxxxxxx, Kak."

Kak Zaen tersenyum, manis. Ralat, sangat manis bagiku, "Ok, makasih. Masuk sana ke lapangan apel sekolah, Saya masih kurang ini puterannya. Dah~"

   "Siap, Selamat Pagi." Sapa kami sambil memperhatikan punggung berkeringatnya yang mulai menjauh. Seperti tersadar aku segera menunduk sambil terus berlari dan memasuki portal menuju lapangan apel sekolah.