The Last

950 30 0
                                    

---[ THE LAST ]---

   "Ya, waalaikumsalam.""

   "..."

   "Siap, Pa."

   "..."

   "Nggih, nanti mas kesana,"

   "Siapa?" Tanya Rizqi pada teman seperjuangannya, Satrio. Satrio menoleh. "Papa lagi tugas, Mama dinas di RS luar kota. Mereka suruh aku jaga rumah."

Rizqi mengangguk paham. "Dari sini naik apa?" Tanya Rizqi setelah turun dari Bus Akademi. "Aku udah pesen taksi online, biar langsung ke rumah aja. Capek." Rizqi mengangguk mengikuti perkataan Satrio.

Tak lama sebuah taksi berhenti di depannya mereka pun segera menaiki taksi tersebut untuk segera pulang ke rumah.

---[🌻]---

Suara kendaraan berhenti dan percakapan samar terdengar di depan rumah. Aku mengintip di depan gorden. Siapa itu? Dahiku semakin berkerut mengingat 2 sosok tinggi yang sedang menenteng tasnya.

Karena semakin penasaran aku segera keluar dari rumah dan menghampirinya. Mungkin orang tersesat yang mencari alamat rumah, kataku dalam hati.

   "Assalamualaikum!" Sapa salah satu orang itu. "Waalaikumsalam?" Aku berjalan cepat ke arah orang itu, ternyata.

   "Mas Rio!" Pekikku kelewat senang. Aku memeluknya erat. "Kangen!" Ia terkekeh. "Wes, ayo mlebu dhisek," aku mengangguk lalu memeluk lengan kirinya.

   "Mas, awakmu kok gak ngomong nek jange mulih?" Tanyaku sambil menghidangkan teh hangat dan beberapa potong kue bronis.

Masih menyandarkan tubuh di sofa Mas Rio menjawab, "Surprise gitu lho." Aku berdecak lalu tersenyum. "Eh, kenalin. Konco kentel'e, Mas." Oh, aku sampai baru sadar, tamu yang dimaksudkan Masku ini adalah temannya.

   "Anindya Wiratama, dipanggil Dya. Mas sendiri?" Tanyaku sambil menjabat tangan besar yang terasa hangat dan nyaman. Eh?

   "Rizqi Setiawan, dipanggil sayang boleh kok!" Aku mengangguk tak mempermasalahkan, namun. "Itu tangannya biasa aja Riz," ujar Mas Rio mengagetkan.

Aku tersenyum kecil menurunkan tanganku. "Adek mau ke atas dulu. Nanti balik lagi," Mas Resa mengangguk, aku mencium sekilas pipi kanannya lalu menaiki tangga menuju kamarku.

---[🌿]---

  "Hey, sopo iku? Kok mirip Tya? Tapi kok de'e nyeluk awakmu Mas?" Tanyaku langsung begitu sosok cantik yang tadi aku katakan mirip Tya hilang di anak tangga.

Satrio malah terkekeh. "Adekku, Dya. Bukannya aku pernah cerita ya?" Aku mengangguk, lalu segera menoleh kaget. "Kapan?" Tanyaku agak kaget.

Sambil memakan bronis Satrio menjawab. "Dulu, awal masuk pendidikan." Aku berusaha mengingat. "Kebanyakan cewek sih, lupa 'kan?" Katanya sedikit mendorong pelipisku.

   "Jadi, Dya sama Tya itu sahabatan dari jaman SMP sampe di SMA ini. Emang dari sananya mereka itu mirip, tapi kalo diperhatiin teliti mereka itu beda. Tya lebih tinggi, lebih cantik, lebih pinter."

Aku memutar bola mataku jengah. "Iya, tau mah. Eh, adekmu cantik juga, ya? Boleh gak-"

   "Gak!" Aku menatapnya tajam. "Adekku bukan mainan. Kalo cari cewe buat mainan, cari yang lain. Jangan adekku!" Aku menatap sengit mata Satrio.

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang