10. 🗒

1K 32 0
                                    

   "Selamat malam. Dengan siapa, ya?" Aku mengangkat panggilan telepon dengan bingung. "Malam juga, Dek."

Tanpa sulit aku mengenal suara ini. "Boleh kita ketemuan?" Pintanya. Aku terdiam.

   "Ada sesuatu yang harus saya sampaikan ke kamu sebelum terlambat," katanya. "Di telepon saja." Sahutku cepat. "Sa-saya nggak bisa," ujarnya terdengar terbata-bata.

   "Ya atau tidak sama sekali!" Peringatiku. "Ok, kamu harus dengerin saya, jangan memotong perkataan saya terlebih dahulu."

Aku menunggu dalam diam. "Ini tentang permintaan saya, permintaan saya ke kamu buat nunggu. Saya memang pergi, tapi untuk kembali. Kembali ke kamu."

Hah maksudnya? Aku masih bingung. "Dek, Kamu mau nggak jadi Ibu Jala saya?" Aku masih terdiam karena bingung.

   "Nggak mau, ya?" Tanyanya sedih, "Nggak." Jawabku singkat. "O-oh kalo gi-"

  "Nggak mau kalo ngomongnya di telepon! Aku mau kamu ngomong langsung ke aku! Face to face!" Kataku sedikit kesal.

   "Eh! Tadi katanya di telepon saja?" Tanya membuatku semakin kesal dan malu. "Siapa yang bilang gitu? Kamu nggak romantis banget, sih!"

   "Iya, maaf, aku yang salah ngomongnya nggak romantis. Tapi kamu mau 'kan?" Aku berdecak pelan namun masih terasa malu. "Pake tanya lagi. MAU LAH!"

   "Masyaallah. Btw, pake aku-kamu? Manggilnya Mas-Dek, ya? Hehehehe." Aku kembali merasa pipiku memanas karena malu. "Kak Zaen mah."

Dan kemudian terdengarlah suara tawa orang yang aku tunggu selama beberapa tahun ini.

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang