Annoying Coach (Awal)

754 30 0
                                    

Nira 45'F
Online

Jadi ikut latihan?

Ofc
Ngumpul jam 5 sore kan?

Ok, c u

*****

Aku membawa seragamku sambil membenarkan kerudungku menuju joglo, tempat semua anggota pletonku berkumpul. Beberapa diantaranya juga ada yang baru selesai berganti seragam dan selesai melaksanakan sholat ashar.

   "Ok, udah semua? Kita langsung pemanasan?" Tanya dantonku. Semua anggota pleton mengangguk lalu berbaris rapi bersiap pemanasan dengan memutari lapangan sekolah 15 menit.

Setelah mengelilingi lapangan sekolah kami berjalan untuk melemaskan otot sebelum duduk berselonjor di sekitar bagian lapangan yang teduh. "Nir, nanti yang ngelatih coach siapa? Coach Safa 'kan?" Tanyaku sambil mengipasi bagian mukaku.

Nira menaikkan pundaknya, "Kayaknya sih bukan, coach Safa ada urusan jadi yang ngelatih coach Satria," jawabnya membuatku meringis. "Kak Satria kalo ngelatih seru tau, walaupun rada gimana gitu. Bawa santuy aja." Aku mengangguk walau tak yakin.

Benar saja, beberapa saat kemudian datanglah coach Satria yang masih memakai seragam PDLnya. "Selamat sore, putri laut. Udah pemanasannya? Sekarang ganti sepatu olahraga kalian pake sepatu PDL. Hitungan ke-10 harus sudah selesai. Satu!"

Aku mendengus dalam hati, untungnya aku membawa sepatu PDL. Aku dengan segera memakai sepatu itu, karena terburu-buru dan lama tak pernah menggunakannya, saat berdiri aku hampir terjerembab.

Bersyukur ada Nira yang disampingku menahan tubuhku. Aku tersenyum berterimakasih lalu segera berbaris rapi kembali.

   "Pimpinan saya ambil alih!" Semua suara berubah menjadi sunyi, hanya suara angin, dan hembusan nafas masing-masing yang terdengar.

Arah pandang kami lurus ke depan, dengan fokus dan pendengaran yang tajam, bersiap melaksanan instruksi dari danton kami, Nira.

  "Seluruhnya siap, gerak! Luruskan pada penjuru paling kanan, lencang depan, gerak!" Aku melirik kearah samping kananku sambil berusaha mengukur kelurusan barisan, setelah itu kembali fokus ke depan.

   "Tegak, gerak! Istirahat ditempat, gerak! Periksa kerapian, mulai!" Dengan gerakan kompak kami melakukan gerakan memeriksa kelengkapan, dimulai dari membungkuk memeriksa area bawah kaki lalu kembali berdiri tegak, kemudian mengambil sikap istirahat.

   "Selesai! Siap, gerak!" Aku merubah sikap istirahatku menjadi siap. "Oke, sekarang kita latihan defile per banjar." Semua menjawab siap pada coach Satria termasuk aku. "Tanpa penghormatan, sesuaikan intruksi. Bubar barisan, jalan!"

Aku langsung duduk di sisi lapangan yang teduh memperhatikan anggota pletonku yang memulai latihan defile. Hingga tiba saatnya banjarku yang melakukan latihan defile.

   "Hari ini banjar 2 lengkap, ya? Kemarin ada yang nggak masuk jadi bolong." Entah apa maksud coach Satria berbicara seperti itu aku tak tau, aku hanya terfokus pada instruksi.

   "Oh ya, nggak masuknya soalnya ijin. Ijin saudaranya nikah. Padahal yang nikah 'kan saudaranya kok dianya ikut nggak masuk. Kalo nggak masuk disana ngapain coba? Paling bagian ngehabisin makanan 'kan lebih baik ikut latihan disini aja. Ckck, dasar." Tanpa sadar aku kehilangan fokus, langkahku menjadi sedikit berbeda, kurang serempak.

   "Hei! B2 S2! Fokus! Gitu aja langsung oleng!" Teriakan itu membuatku mengatupkan mulut lebih rapat. "B2 S2 itu siapa, Nir, namanya?" Tanya coach Satria. "Fateha, mohon ijin," jawab Nira pelan yang masih terdengar.

   "Fateha! Lain kali lebih fokus! Jangan mentang-mentang kamu nggak ikut kemarin jadi kurang fokus kaya gini!" Kata coach Satria memperingatiku. "Siap, mohon ijin!" Sahutku tegas.

Latihan pun diakhiri tepat pukul setengah 7 malam, aku bersiap pulang begitu pula yang lainnya. "Nira! Udah dijemput?" Tanyaku sambil menghampiri Nira yang sedang membalas beberapa chat yang masuk.

   "Udah, bentar lagi nyampe," jawabnya. Aku menggigit bibir bawahku ragu, "Hm, ok. Kali aja masih lama dijemputnya. Ayahku jemputnya agak telat," ujarku.

Nira menoleh, "Masih ada yang lain, tuh, Nabila, Irene. Ah, Bang Satria juga tuh! Masih mau disini katanya." Aku memainkan ujung tali tas sepatuku. "Iya, deh," jawabku tak semangat.

Satu persatu teman-teman pletonku pulang atau sudah dijemput, tinggal aku yang masih menunggu di pos penjagaan sekolah. Aku berdecak saat ayahku belum juga menjemputku.

Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor ninja yang berhenti didekatku. "Belum dijemput, Dek?" Tanya Bang Satria. Aku tersenyum tipis, "Belum Bang, katanya ayah mau kesini tapi belum dateng juga."

Ia mematikan sepeda lalu menghampiriku, aku diam menatap gerak-geriknya. "Abang tungguin," katanya singkat lalu berdiri di samping kiriku. "Abang duduk aja disini," tawarku merasa tak enak membiarkan Bang Satria berdiri, ia menggeleng lalu membuka HPnya.

Beberapa menit berlalu, Bang Satria berjalan ke arahku dan berhenti dihadapanku. "Jangan lupa Sabtu besok kita latgab di Hasa jam 8 udah harus disana," ujarnya menunduk tepat didepan wajahku. Aku menatap wajah coachku itu lamat lalu mengangguk.

Tak lama sebuah lampu kendaraan membuatku menoleh, "Ayah lama banget, adek nungguin sampe lumutan nih," ucapku sebal saat ayahku sudah ada di dekatku. "Maaf, dek. Pas mau belok kesini ternyata macet. Maaf, ya?" Ayahku mengelus kepalaku lalu meletakkan tangannya di pundakku bersiap menaiki mobil jeep.

   "Selamat Malam, Kolonel Suryanto!" Sapa Bang Satria membuatku menoleh perlahan ke arah Bang Satria. "Eh, siswa Satria. Udah selesai pendidikannya? Terakhir waktu ketemu, kamu baru pendidikan 2 bulan, ya? Sekarang udah lulus."

Aku mendengus, menurunkan kembali tas sepatu yang aku peluk. Jika ayah sudah mengatakan lebih 1 kalimat pada orang yang ditemui maka dipastikan akan terjadi obrolan yang cukup panjang dengan orang itu.

   "Siap! Alhamdulillah sekarang saya sudah sersan dua. Ijin, ini adiknya Letda Faiz?" Ayah malah terkekeh sambil memukul pelan pundakku beberapa kali. "Iya, ini adiknya Faiz. Fateha namanya, udah kenal 'kan? Buktinya kamu sampe nungguin anak saya."

   "Siap, saya kasihan sama Fateha. Udah malam gini tapi belum dijemput, jadi saya tungguin. Saya awalnya nggak tau kalau Fateha anaknya Kolonel apalagi adiknya Letda Faiz." Jelas Bang Satria. Aku mulai kelelahan berdiri lalu menyenderkan kepalaku di lengan ayah.

   "Oh, begitu. Siswa ini ngelatih paskib anak saya, ya?" Tanya ayahku masih betah berbincang. "Siap, iya. Saya jadi coachnya mereka baru-baru ini. Ehm, ijin, Fatehanya kayanya udah capek banget. Ijin, apa tidak sebaiknya Kolonel segera pulang supaya Fateha bisa istirahat?"

Ayah menoleh ke arahku, "Adek ngantuk? Tidur di flat aja, ya? Udah malem, nanti kalo pulang malah tambah kecapekan." Aku mengangguk tak semangat. "Kalau gitu kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya, siswa? Dinas dimana kamu?"

   "Siap, di Rumkital Dr. Ramelan." Ayahku mengangguk lalu membawakan barangku meletakkannya di kursi depan, dan membaringkan tubuhku di kursi belakang. "Adek tidur aja, nanti ayah gendong masuk ke flat." Walau samar-samar terdengar Aku mengangguk.

Pandanganku mulai kabur menahan rasa kantuk saat ayah terlihat bertukar nomor telepon dan bercakap sebentar sambil menepuk pundak Bang Satria, lalu setelah itu aku terlelap dalam mimpi.

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang