4. 🗒

1.8K 30 0
                                    

   "Selamat Pagi. Ijin, saya minta maaf kalo Kakak nunggu saya lama. Sepeda saya perlu di pompa dulu." Sapaku sambil turun dari sepeda, menuntunnya dan memarkirkan sepedaku di dekat tempatnya duduk. "Santai aja, lagian jarak sini ke rumahmu cukup jauh. Saya maklumi. Kalau gitu ayo pemanasan, baru kita olahraga bareng." Ia berdiri sambil tersenyum, lalu kami memulai pemanasan dan lari memutari lapangan alun-alun.

Beberapa menit kemudian...

   "Ayo, Dek! Dikit lagi!" Teriaknya dari jauh yang masih terdengar olehku walau samar, "Hah, hah, si ap, sebentar lha gi, Kak." Aku memelankan langkah kakiku mulai berjalan santai.

Tak sangka ia malah berbalik menghampiriku, "Eh! Kok jalan? Lari lah! Ayo! Kakak bantu tarik tanganmu kalo gitu. Terus, Kita duduk disana nanti." Ajaknya, "Siap, Kak." Aku masih dengan nafas yang terputus-putus kembali berlari dengan tanganku yang tertarik olehnya.

Setelah duduk berselonjor...

  "Gimana? Bisa 'kan? Capek? Namanya juga baru latihan. Nikmatin aja prosesnya," katanya sambil meminum air putih dalam botol minum. "Kak, ijin minum!" Ijinku. Ia mengangguk, "Hm, habis ini makan yuk! Kita ke tempat bubur ayam langganan Kakak. Sekalian pulang ke rumah." Ajaknya.

Aku mengangguk semangat, "Siap, Kak. Tapi sepeda saya?" Tanyaku bingung. Ia menoleh sambil beranjak dari tempatnya berselonjor, "Biar tinggal aja, nanti diambil temen Kakak."

Aku ikut berdiri lalu berjalan sebelahnya, "Ehm, Siap Kak." Ia berhenti sesaat, membuatku ikut berhenti, "Biar makin seru, lari dari sini ke tempat yang jual bubur ayam gimana?" Ajaknya. "Siap, boleh Kak," kataku dengan anggukan semangat.

  "Ok, 1, 2, eh, kok malah hujan? Kalo gitu kamu naik punggung saya, biar cepet sampenya." Kak Zaen malah berhenti dan berjongkok didepanku  membuatku bingung, "Lho, Kak, mohon ijin?" Tanyaku.

  "Ayo kok! Cepetan tambah deres nih!" Serunya masih dalam posisi jongkok. "Ijin, Kak. Maaf kalo berat," kataku takut-takut. "Eh, kamu ini enteng tau. Nanti sampe disana makan yang banyak. Sekarang pegangan, saya mau lari." Aku mengangguk walau tak yakin ia melihatnya.

  "Siap, ati-ati Kak, jalannya licin," kataku mengingatkan. Dari atas sini aku dapat melihat senyumnya saat berkata, "Iya, Dek." Manis.

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang