Semenjak penyesalan lima hari gue diAlbert Einstein, perlahan-lahan gue kembali seperti dulu, kembali seperti Sri yang bodo amat sama pelajaran.
Gue mulai terhasut dan terbujuk rayuan setan, karena ngelihat gimana asiknya mereka bermain. Sehingga gue keluar dari zona aman gue. Gue ngelangkah keluar dari lingkaran merah yang gue buat sendiri.
Sampai-sampai gue udah nggak sadar bahwa virus belajar udah tersingkirkan dari otak gue. Dan kekuasaan diotak gue ini digantikan oleh virus gila.
Bahkan, sekarang kebiasaan yang gue males dari anak-anak udah jadi keseharian bagi gue, seperti mukul meja karena ngakak, ikut main ToD bareng anak-anak.
Tapi setidaknya gue sadar. Anak-anak Albert Einstein ini nggak sepenuhnya buruk seperti yang gue pikirkan. Mereka juga nggak 100% aneh dari pemikiran gue.
Mereka nggak ngeluarin taring tersembunyi seperti yang selama ini gue analisa. Mereka hanya mencoba jadi anak-anak remaja lainnya. Yang bukan hanya belajar tapi juga bermain. Nikmatin bagaimana indahnya masa SMP. Saat gue sadar itu, gue udah mulai ingin bersikap baik kepada anak-anak.
Gue menanam niat baik untuk pemikiran terhadap Albert Einstein. Gue mencoba mencari sisi baik mereka.
Karena gue tahu, selama ini gue cuma buang-buang waktu dengan selalu nyuri kesempatan buat mencari keburukan teman-teman kelas gue sendiri. Tapi menutup mata dan telinga buat segala kebaikan yang mereka lakuin.
Gue bener-bener bodoh!
Hari ini gue janji, gue hanya akan membahas gimana baiknya sikap anak-anak Einstein walaupun dengan otak buntu yang mereka punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
dead brain
Teen FictionSemua beranggapan kelas gue adalah perwujudan Albert Einstein. Pintar, berpendidikan, teladan, dan berbahagia. Tapi sayangnya anggapan mereka nggak benar walau satu pun. Menurut gue dengan ciri-ciri IQ jongkok, bar-bar dan bermasalah, sebenarnya kel...