Setiap kelas pasti punya lagu favorite. Entah kpop, rock, dangdut atau pun folk. Begitu juga dengan kelas gue. Walau jiwa kami terlihat cupu, tapi lagu favorite kami belum tentu folk. Mana ada yang nyangka kelas aneh ini punya lagu favorite dengan judul cendol dawet.
Lagu yang dipopulerkan oleh Alm. Didi Kempot itu sukses besar bikin jiwa alay orang-orang dikelas terbakar.
Gue yang awalnya nggak suka pun, jadi ketularan dan sering gebrak meja sambil goyang-goyang nggak jelas. Gimana ya sensasinya itu... enak banget tau!
Apalagi ngelihat satu kelas yang ikut konser dadakan. Cewek cowok sama aja reaksinya.
"CENDOL DAWET!" Nanab dengan sapu ditangannnya mulai beraksi ditengah kelas.
"CENDOL DAWET SEGAR!" Yuli langsung maju dan nyahut saat Nanab mengarahkan gagang sapu menuju dirinya.
"CENDOL! CENDOL!" Salma dengan kaki menghentak-hentak.
"DAWET! DAWET!" Diikuti Dinda, Rahmi, dan Ines yang bersemangat.
"CENDOL DAWET SEGAR!" Dipa maju dengan tangan yang meninju udara keatas.
"PIRO!" Rehan nyahut sambil tangan yang bergerak diudara layaknya diri dirigen. Lalu disahut kompak oleh satu kelas.
"LIMA NGATUSAN!"
Seakan merasa kurang nikmat Nanab berlari cepat menuju lantai persentasi dan berada tepat didepan kelas. "TERUS!"
"NGGAK PAKE KETAN!"
Merasa ikut terbakar gue merasa ada yang merasuki lalu berhitung sambil melompat-lompat tinggi. "JI RO LU PAT NAM PITU WOLU!"
Beberapa orang makin bersemangat, sementara lainnya hanya tertawa ngakak dan mendukung mereka agar bersuara lebih keras. "TA I TAN I TAN I TAN!"
Tio yang dari tadi hanya tertawa langsung menyambut dengan Adam disebelahnya, mengebrak meja sesuai irama.
GUBRAK GUBRAK BRAK!
Lagu Selesai. Satu kelas langsung tertawa ngakak bersama. Suhu yang awalnya biasa saja berubah meningkat membuat mereka berkeringat membasahi seragam.
"EH GUE REQUEST DONG!" Terlihat sekali bahwa wajah Salma masih bersemangat ingin menggoncang kelas. Namun ketika judul lagu ingin diucapkan, kami semua dikagetkan dengan pintu kelas yang tiba-tiba terbuka lebar dengan bunyi seperti sedikit dibanting.
Betapa kaget nya kami, saat tahu yang dobrak pintu itu adalah Buk Noliva. Guru perempuan dibidang olahraga yang garang banget kayak macan tutul. Dan setahu gue, guru yang satu itu punya dendam kesumat sama Einstein.
"Kalian bisa diam nggak?!
Hening.
"Nggak tahu disebelah itu ruang guru?! Didepan udah meja piket masih aja berisik. Kalian ini kelas Einstein tapi malah bikin rusuh! Kalian nggak malu apa?"
"Sekali lagi saya denger kalian ngerusuh, saya jemur dilapangan semuanya! Pintunya harus dibuka terus! Awas kalau ada yang nutup!"
Guru itu pergi menuju meja piket kembali. Dan selama itu nggak ada yang berani bersuara. Semuanya diam dan saling melirik satu sama lain. Tapi terlihat jelas raut wajah mereka menahan tawa.
Lalu dengan jahil dan merasa harus membuat penutup, gue memukul kecil meja. Dan tanpa diduga mereka semua tertawa begitu saja, tak peduli pintu kelas yang terbuka lebar dan tak peduli juga masih ada guru garang tadi yang berdiri tak jauh dari kelas.
Einstein memang begitu. Banyak yang gertak tapi tak ada yang membuat kami retak. Banyak yang mengancam tapi tak bisa membuat kami terancam. Einstein tak bisa dibuat takut, selama disekolah mereka hanya berusaha segan pada semua guru, sebab mereka hanya menghormati pada orang yang bisa menghargai.
KAMU SEDANG MEMBACA
dead brain
Teen FictionSemua beranggapan kelas gue adalah perwujudan Albert Einstein. Pintar, berpendidikan, teladan, dan berbahagia. Tapi sayangnya anggapan mereka nggak benar walau satu pun. Menurut gue dengan ciri-ciri IQ jongkok, bar-bar dan bermasalah, sebenarnya kel...