Arca Berjalan

88 23 4
                                    

Kalau didalam Kamus Bahasa Indonesia namanya Arca. Patung pemujaan gitu. Tapi kalau bahasa sehari-hari namanya Lingga. Berkilo-kilo meter jauh dari arti nama nya. Dia sama sekali nggak pendiam seperti patung, sama sekali nggak patut untuk dipuja, namun sangat patut untuk diubah menjadi patung.

Jadi, gue itu orang nya budeg, kurang bisa ngedengar suara orang. Tapi beda kalau orang yang gue dengerin Lingga. Gue bisa berubah seketika jadi Ngengat.
Lo tahu Ngengat? Hewan dengan pendengaran luar biasa. Bahkan bisa ngalahin kelelawar.

Kalau diingat-ingat gue sama Lingga ini bisa dikatakan nggak punya kedamaian mata. Karena setiap gue lewat didepan dia, matanya itu selalu juling kesamping ngelihat gue, maksud gue, sinis.

Gue bingung banget saat itu, kenapa Lingga selalu natap gue dengan cara seperti itu?

Pertanyaan itu nggak pernah terjawab sampai gue naik kelas 9. Tanpa diduga ternyata gue sekelas sama Lingga. DiEinstein, tempat itu jadi TKP gue mengenal Lingga.

Suaranya cempreng. Nggak bagus. Dan anehnya masih PD teriak. Dia satu-satunya anak Einstein yang paling gaje. Suka teriakin orang, padahal nggak ada masalah. Mulutnya kek suara burung beo, ngelihat apa-apa langsung koar.

Btw, Lingga dan Cindy itu temenan. Bisa dibilang komplotan aneh. Yang satu suaranya keselek air ketuban, yang satu lagi keselek pahitnya kehidupan.

Sampai akhirnya gue mulai terbiasa denger Lingga teriak. Gue udah selow kalau liat bibir Lingga nari-nari diatas penderitaan orang.

"OI LO PUNYA OTAK NGGAK SIH?!"

Kejadian ini udah lama, ketika di semester 2.

Saat itu gue lagi nulis, walau cuman coret-coret buku sih. Gue ngeliat Lingga yang natap Haris dengan mata melotot. Hm, kebiasaan.

"Apa lo? Ikut-ikut ae!" si Haris balas nyolot.

Lingga berdiri dari bangkunya, gue pikir dia bakal baku hantam sama Haris. Eh tau-taunya malah berhenti dibelakang, duduk disebelah Dipa yang udah berlinang air mata.

Gue baru sadar kalau tadi itu Lingga lagi belain Dipa. Pikiran gue yang kolot udah bikin gue ngerasa bersalah. Ternyata dia lagi belain Dipa. Lingga nggak senajis itu untuk ditebak. Dia orang baik. Gue aja yang terlalu buruk. Terlalu berburuk sangka ke dia. Hanya karena gue nggak suka teriakan, gue jadi nutup diri untuk ngintip tujuan baik dari semua teriakan Lingga.

Btw, selama ini gue nggak bisa ngeliat gambaran seorang teman. Dan ngeliat Lingga, gue jadi bisa lihat gimana sempurna nya seorang teman buat kita. Seseorang yang berani jadiin dirinya boomerang, hanya untuk jagain orang-orang terdekatnya.

dead brainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang