3. Pernikahan

186 25 1
                                    

Pernikahan merupakan suatu ikrar suci dalam hidup dua insan yang dipersatukan untuk bersama dan saling melengkapi.

Setelah semua pihak sudah siap, syarat dan rukun nikah sudah terpenuhi, maka dilaksanakanlah ijab kabul yang dipimpin oleh penghulu.

Bagi kebanyakan wanita pernikahan itu adalah hal yang didambakan, apalagi jika menikah dengan orang yang dicintai. Begitupun dengan Dira. Dia tersenyum manis saat melihat pantulan diri di kaca.

Suara para saksi dan tamu meneriakan kata "sah" membuat senyumnya semakin lebar. Jantung berdebar hebat dan tubuhnya gemetar, gugup. Ijab-kabul sudah selesai, pasti sebentar lagi dia juga akan dijemput oleh ammah.

"Sudah siap, Nak?" Nurul menghampiri dengan wajah semringah. "Suamimu sudah menunggu."

Dira menganggukkan kepala pelan. Mereka pun keluar kamar. Semua pandangan berfokus pada Dira,  mereka terkesima melihat penampilan pengantin wanita itu. Alza bahkan menatapnya tanpa berkedip. Dira duduk di samping Alza.

Selanjutnya acara penyerahan mahar dan pemasangan cincin. Kemudian langsung dilanjutkan dengan penyerahan buku nikah dari penghulu kepada kedua mempelai.
Setelah itu, acara nasihat perkawinan, dan doa yang dipimpin oleh penghulu.

Acara berikutnya, sungkeman. Terakhir, sesi foto bersama, dan menandai akhir dari serangkaian acara.

"Selamat, ya."

Dira menoleh, tersenyum kaku saat seorang wanita yang tak dikenal mengulurkan tangan. Dira membalas uluran itu sembari mengucapkan terima kasih. Wanita itu juga menjabat dan memeluk Alza. Ada desiran aneh di dada Dira, tapi dicoba untuk tetap tenang. Mungkin itu teman dekat Alza, begitu pikirnya.

Lebih menyebalkan lagi, Alza malah lebih memilih berbincang dengan wanita itu daripada menemani Dira yang kewalahan menerima kado dan jabatan tangan. Dira tetap tersenyum melayani tamu, beberapa teman sekolahnya dulu meminta berfoto dengannya. Dengan senang hati dia menerima dan memberikan senyum terbaik yang dimiliki.

***
Semilir angin malam menembus kulit. Dira mengeratkan jaket hitam dan menarik jilbab bulatnya hingga lebih menutup setengah tubuhnya. Dia berdiri di balkon, menatap ke arah jalanan sepi. Jam dinding sudah menunjuk ke angka 01.00, tapi rasa kantuk dan lelah seolah tak dirasakan. Sesekali diliriknya pintu kamar. Berharap seseorang yang dari tadi ditunggu segera datang. Setelah para tamu pulang, Alza pergi tanpa permisi. Kini sudah entah berapa jam, Dira masih setia menunggu dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Bunyi pintu terbuka, Alza muncul terhuyung-huyung.  Dengan cepat, Dira menghampiri dan mengambil jas yang tersampirkan di lengan Alza. Namun, pria itu menepis dan mendorongnya menjauh dengan kasar.

"Mas ... Mas dari mana sampai jam segini?" Dira memberanikan diri bertanya.

"Bukan urusanmu, wanita sialan!" seru Alza. "Minggir, enyahlah dari hadapanku!"

Alza menghempaskan badan di kasur, tanpa membuka sepatu dan mengganti pakaian matanya langsung tertutup, ia terlelap dengan cepat. Dira menahan napas sebisa mungkin, bau alkohol menyeruak dalam kamar mereka. Alza mabuk.

Tanpa membuang-buang waktu, Dira langsung melepas sepatu pansus yang melekat di kaki suaminya. Meski sempat kesulitan, akhirnya terlepas juga. Dira ikut merebahkan diri dengan hati-hati di kasur, takut membuat Alza terganggu. Mereka tidur dengan saling membelakangi. Tanpa terasa setetes cairan bening menetes di pipi wanita itu. Harusnya malam ini malam bahagia mereka, tetapi nyatanya malah berurai air mata.

Dira terbangun saat suara azan berkumandang. Ditatapnya Alza yang masih tidur nyenyak. Tangan Dira terangkat, berniat membangunkan. Namun, diturunkan kembali saat mengingat kejadian semalam. Mungkin Alza masih lelah. Begitulah pikirnya. Dia bergegas mandi lalu salat Subuh sendirian.

Setelah selesai salat, Dira langsung berkecimpung di dapur. Bi Ining tidak mengizinkan Dira melakukan pekerjaan dapur, dia takut dimarahi oleh tuannya. Namun, bukan Dira namanya jika hanya tinggal diam saja. Meski dia dulu manja, tapi bukan berarti dia tak bisa apa-apa.

"Non ... semalam gimana?" goda Bi Ining sembari menoel pinggang Dira.

"Gimana apanya, Bi?" Dira mengerutkan dahi, sama sekali tak paham dengan pertanyaan Bi Ining.

"Itu loh ...." Bi Ining sengaja menggantungkan kalimat, dia terkekeh geli.

Suara kucing membuat Dira tersentak. Di pikirkannya yang terbayang adalah Puti, kucing kesayangan yang masih tinggal di pondok. Dia berencana untuk menjemput Puti nanti jika Alza tidak sibuk.

Saat Bi Ining mengusir kucing itu, tapi Dira mencegahnya. "Jangan diusir, Bi."

"Biar aja, Non. Nanti tuan-"

"Bi!" Suara Adi menghentikan kalimat Bi Ining. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri tuannya.

"Ngomong sama siapa, Bi?" tanyanya. "Wah ... udah selesai semua, Bi! Hebat memang, Bi Ining mah."

Bi Ining tersenyum simpul, matanya tertuju pada Dira. "Bukan hanya saya, Tuan. Tapi Non Dira yang bantu makanya cepat selesai," tutur Bi Ining sembari menundukkan kepala.

Adi melotot. "Bi! Saya kan sudah bilang, jangan suruh Dira melakukan pekerjaan apa pun! Dia nggak boleh kecapean, nggak boleh lecet sedikit pun." Bi Ining semakin menunduk.

"Pa ... tadi itu keinginan Dira. Jangan salahkan Bi Ining. Dira yang mau bantu masak untuk Mas Alza dan papa," ujar Dira membela Bi Ining.

"Tetap saja, Ra. Itu salah Bi Ining." Adi kekeh menyalahkan wanita paruh baya itu.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah ribut! Ganggu orang tidur aja." Alza muncul dengan suara parau, khas baru bangun tidur. Mereka menoleh, Adi memandang putra dan menantunya bergantian.

"Baru bangun? Kamu itu udah nikah, Za. Bersikaplah menjadi imam yang baik. Kamu ini udah suami, jangan bersikap seperti masih lajang." Adi menasihati putranya.

"Iya, Pa. Sayang ... kamu ngapain di dapur? Kenapa nggak bangunin aku. Lihat kan, aku jadi diomeli papa gara-gara kamu," ujar Alza dengan wajah merengut.

Jantung Dira berpacu lebih cepat, pertama kali dipanggil sayang oleh lawan jenis dan yang paling membahagiakan itu adalah suaminya. Pipinya memerah karena malu.

Adi terkekeh geli, mentang-mentang pengantin baru seenaknya saja sayang-sayangan di depan orang tua. Dia menggelengkan kepala lalu beranjak pergi. Bi Ining juga ikut pergi menjauh dari pasangan suami-istri itu. Dira tersenyum, kemudian hendak berlalu. Namun, tangannya ditahan oleh Alza. Lebih tepatnya dicekal secara kasar.

"Sakit, Mas." Dira meringis.

Alza menarik paksa Dira ke kamar. Di sana dihempaskan wanita itu hingga terjerembab ke pinggiran tempat tidur. Alza menunjuk wajah Dira dengan ekspresi jijik, sedangkan Dira sudah berurai air mata.

"Jangan berani macam-macam di depan papa, ya! Jangan menceritakan tentang kejadian tadi malam sama siapa pun, kalau sampai kamu buka mulut ... kamu akan tahu apa itu namanya kehancuran!" ancam Alza. "Sama satu lagi, panggilan sayang tadi aku ambil balik. Kamu nggak pantas mendapatkan sebutan itu!" Alza berbalik hendak pergi, tetapi pertanyaan Dira malah membuat rahangnya mengeras.

"Tap-tapi kenapa, Mas?"

Alza berbalik dan ... plak!

***

Tbc ....

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang