7. Durian

176 22 2
                                    

Pagi ini Dira bangun lebih cepat mengingat keadaan rumah yang belum beres. Dia menyibak selimut dengan perlahan, takut mengganggu Alza yang masih terlelap. Namun, saat dia menggeser kaki ke bawah,  tangan Alza melingkar di perutnya. Sontak hal itu membuat Dira menahan napas.

Pelan-pelan digesernya tangan kekar itu. Namun, gerakannya malah membuat Alza terbangun. Dia menatap Dira dan dirinya lalu langsung duduk menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Kau! Ngapain di kamarku!" Suara Alza menggema dalam kamar.

"Apa? Kan kamu yang ajak tadi malam," balas Dira sembari membenarkan hijab.

"A -- pa? Aku yang ajak? Gak mungkin, aku masih setia sama Claudia," ujar Alza.

"Mas ... istrimu itu aku bukan Colodia!" Dira bangkit dengan mengentakkan kaki lalu ke luar.

Alza terdiam sesaat kemudian bergumam, "Colodia siapa coba? Heh, dia menghina nama Claudia, ya. Eh, kenapa aku jadi goblok, sih? Hadeh!"

Hari ini hari Sabtu, otomatis Alza tidak pergi ke kantor. Dira sudah menyiapkan sarapan nasi goreng campur ikan teri. Alza begitu menikmati makanan itu. Dira tersenyum puas.

Jam baru menunjuk ke pukul 10. 30, tetapi semua pekerjaan rumah sudah selesai. Saatnya mandi. Sambil bersenandung kecil Dira hendak mengambil peralatan mandi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ketukan pintu?

Siapa? Dira bertanya - tanya dalam hati. Dia memilih mengintip dari lubang kecil di knop pintu. Ah, itu Colodia! Dira melotot, dia harus bisa mengusir wanita itu sebelum dia bertemu dengan Alza, tapi caranya bagaimana? Dira berputar - putar, hingga tanpa terduga dia menabrak sebuah dada bidang. Dia meringis kecil sembari menyentuh dahi dan mengangkat pandangan.

Degh!

Alza berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi datar. Pria itu mendengus lalu melewati Dira untuk membuka pintu. Ah, sial! Dira gagal kali ini.

"Sayang! Bukanya lama banget, sih?" Claudia memasang wajah merengut. Bibirnya yang maju menambah tebalnya. Lipstik merah darah yang menempel bukannya membuat cantik malah terlihat norak.

Dira geli melihat penampilan Claudia dari atas ke bawah. Sungguh jelek! Begitulah suara hati Dira, tetapi anehnya sang suami masih juga suka nempel kayak cecak di dinding.

"Selamat pagi menjelang siang!" Suara serak-serak basah mengejutkan mereka. Ketiganya langsung menoleh. Di ambang pintu terlihat Jovan menenteng sebuah plastik tebal?

Dira mengendus-endus, mencium aroma yang semerbak. Detik berikutnya dia bersorak gembira, "Abang bawa durian!"

"Van! Buang nggak! Ini bau banget!" Alza berteriak sembari menutup hidung. Di belakangnya Claudia juga melakukan hal sama.

"Bau apaan, sih, Mas. Wangi gini, bikin ngiler tau!" Dira menghitung jumlah durian. "Ada empat! Wah, cukup nggak, nih?"

"Cukuplah, Dek. Gede-gede gitu," balas Jovan, "lagian si Alza kagak doyan durian."

Pandangan Dira beralih ke suaminya. Dia memutar bola mata saat melihat tangan Claudia merangkul mesra lengan Alza. Hih, ingin rasanya dia menggigit tangan wanita itu.

"Belah ini dulu, Bang!" Dira berseru gembira memilih durian paling besar yang akan dibelah.

"Siap, Komandan!" balas Jovan terbahak - bahak.

"Sayang, kita pergi aja, deh. Gak tahan bau beginian," bisik Claudia pada Alza.

Alza mengeram kesal. Dia juga ingin pergi, menjauh dari bau itu. Namun, kalau dia pergi Jovan makin bebas, dong mendekati Dira. Itu yang Alza pikirkan.

"Ayolah, Yang!" desak Claudia dengan rengekan kecil.

"Kamu duluan aja, deh. Nanti aku nyusul," ucap Alza menyarankan. Tatapannya tak lepas pada dua manusia yang asyik menikmati buah berkulit duri itu.

"Ih, kok gitu, sih. Aku ke sini mau jemput kamu, malah suruh pergi duluan." Claudia semakin manja. Dia lebih mengeraskan suara hingga membuat Jovan menoleh lalu lanjut makan durian lagi.

"Dek, ini duriannya beselemotan di pipi, loh!" Jovan mengusap lembut pipi putih Dira. Wanita itu hampir mengeluarkan bola mata karena terkejut.

"Woy! Berani banget kau nyentuh istriku!" bentak Alza sembari mendorong Jovan hingga tersungkur di lantai. Alza mengepalkan tangan, bersiap menghajar Jovan. Namun, dengan ligat Dira meraih tubuh suaminya dengan memeluk dari belakang. Waktu seolah terhenti, Alza terdiam. Jantungnya berdegub kencang, jauh lebih kencang daripada saat pertama kali bertemu Claudia.

"Ihh, apaan, sih, peluk-pelukan!" Claudia menarik kasar lengan Dira, tetapi Dira menggeleng. Dia malah semakin mengeratkan pelukan.

"Heh, wanita sialan! Lepaskan pacar gue!" bentak Claudia emosi.

"Pacar?" Jovan bangkit. "Jadi, kalian pacaran di belakang Dira, gitu?"

Mendengar pertanyaan itu Dira mengurai pelukan. Dia menatap Jovan dan Alza bergantian. Dia ingin berbicara, tetapi di mulut masih ada sebiji durian. Sayang dibuang, masih ada manis-manisnya.

"Bukan urusanmu!" Alza menarik tangan Claudia. Mereka ke luar rumah.

"Jadi, begitu?" Jovan menaikkan sebelah alis. Dia tersenyum manis pada Dira. Itu berarti itu masih punya kesempatan merebut wanita itu.

Dira mengeluarkan biji durian dari mulut. "Bang, belah lagi!" Dia seolah tak melihat apa-apa. Seperti angin lalu saja. Dia memang ajaib.

***

Alza melirik arloji di tangan kirinya. Sudah dua puluh menit dia berdiri di depan gerbang setelah Claudia pergi. Lima menit lagi Jovan belum peri juga, terpaksa dia harus mengusir pria itu.

"Abang pulang dulu, ya. Dadah Dek Ira." Suara Jovan terdengar dari ambang pintu.

Alza tersenyum sinis. Dia memasukkan kedua tangan kirinya kantong celana jeans. "Masih tau waktu pulang?"

Jovan menatap Alza dengan senyum mengejek. "Tentu saja aku tau jalan pulang. Pulang ke rumahku, dan ke sini juga."

"Maksud?" Alza mengeluarkan tangan dari kantong. Pandangannya berubah tajam.

"Istrimu baik, tapi akan lebih baik jika dia hidup bersama orang baik." Jovan tersenyum, terkekeh  lalu terbahak-bahak.

"Kurang ajar!" Saat Alza mengangkat tangan Jovan sudah berlari masuk ke mobilnya.

Alza bergegas masuk. Dia menutup hidung. Aroma durian masih memenuhi seluruh ruangan. Lagian Dira dan Jovan, kan membelah durian di ruang tengah. Empat buah durian ludes di perut mereka berdua. Eh, bukan! Lebih banyak untuk Dira pasti.

Dira terhentak saat Alza datang, dia hanya sendiri. Ke mana Claudia? Emang Dira peduli dia ke mana? Ya, nggaklah. Dira kembali melanjutkan makan durian terakhir. Satu biji lagi.

"Beresin semua, buru!" titah Alza, "jadi cewek rakus amat."

"Eh, Mas. Ini bukan rakus, cuma hobby!" bantah Dira tak terima dikatai rakus.

"Dih, hobby itu masak, menjahit, menanam bunga dan lain-lain," balas Alza lagi.

"Lah, itu bukan hobby, Mas. Itu namanya karier. Kalau aku hobby makan durian dan mencintai Mas Alza. Dahlah, mau buang sampah dulu." Dira melenggang pergi sembari membawa kulit durian yang sudah ditaruh di keranjang sampah.
"Dia bilang apaan tadi, ya?" Alza tersenyum geli. Dia baru saja diberi gombalan oleh sang istri. Ah, itu bukan gombalan, tapi kok manis, ya. Alza menggeleng. Dia sudah terpengaruh dengan wanita itu.

Saat dia akan duduk di sofa, hidungnya mencium sesuatu. Di memeriksa keseluruhan permukaan dan pinggiran sofa, tidak ada apa-apa. Hingga dia berkacak pinggang, tangannya menyentuh sesuatu yang lunak.

"Dira!"

***

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang