12. Bintang yang Terluka

161 16 1
                                    

Alza pulang dengan wajah kusut. Di teras Dira sudah menunggu. Entah sejak kapan wanita itu di situ. Alza sama sekali tak menatap Dira, langsung masuk ke rumah. Dira pun membuntuti dari belakang.

"Mas, tadi ke mana?" tanya Dira mempercepat langkah. Namun, terhenti saat Alza menutup pintu kamar. Dira terdiam di tempat.

Hingga beberapa menit lamanya barulah Alza ke luar. Dia sudah berganti pakaian. Lagi-lagi dia melewati Dira begitu saja.

"Mas mau ke mana lagi?" Dira terus mengikuti suaminya. Dia tak habis pikir melihat tingkah sang suami.

"Aku mau menginap di rumah sakit. Nggak usah tungguin." Alza masuk ke mobil lalu meninggalkan Dira sendirian.

Tubuh Dira merosot ke lantai. Matanya perih, sekuat tenaga ditahan cairan yang hampir jatuh. "Mas Alza, aku mencintaimu. Sangat." Air mata pun tak terbendung lagi, membanjiri pipi dan hijabnya.

Paginya Dira terbangun saat azan Subuh berkumandang. Dia baru sadar ternyata semalaman tidur di sofa. Dira melebarkan mata, tetapi rasanya berat. Ah, matanya bengkak akibat menangis semalam.

Dira mencuci muka menggosok gigi lalu berwudu. Dia pun melaksanakan salat dengan khusyuk. Doanya tetap sama mengharapkan keajaiban cinta dari sang suami. Keluarga yang saling menyayangi dan hidup bahagia.

Deru mobil membuatnya tersentak. Buru-buru dia mengintip dari lubang gagang pintu. Itu Alza. Dengan ragu Dira membuka kunci. Namun, dia tak membuka pintu, tetapi kembali ke kamar.

"Dira!" Teriakan Alza membahana. Dia menutup pintu lagi. Tanpa membuang waktu langsung saja dia masuk kamar. Di sana Dira duduk bersila dengan di atas sejadah. Dia menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan dzikir.

"Hari ini kita ke rumah papa." Itu saja kalimat yang ke luar dari mulut pria itu. Dia kemudian ke luar lagi.

Dira mengusap wajah. Ke rumah papa? Pasti ada apa-apa. Pikiran buruk mulai bermunculan. Namun, Dira menggeleng, mencoba menjernihkan pikiran.

***

"Apa!? Sertifikat perusahaan? Kamu gila! Itu sama saja kau ingin papa cepat mati!" Pak Adi bangkit dari duduknya. Dia menatap anak semata wayangnya itu. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Pa ... ini demi kesejahteraan hidup anak dan mantumu juga, kan?" Bahu Alza merosot. "Emang papa nggak mau anak dan mantumu bahagia? Katanya Dira menantu kesayangan."

"Iya, papa tau. Tapi, kan bisa--"

"Bisa sampai kami menderita gitu?" potong Alza dengan cepat.

Pak Adi menghela napas panjang. Dia menatap menantunya yang hanya diam. "Ya, sudah. Papa akan tanda tangani ... ini demi menantu kesayangan papa." Pak Adi tersenyum lebar.

Dira mengangkat wajah. Matanya berkaca-kaca. Bukan terharu, tetapi pedih. Itu tandanya dia juga akan berpisah dengan Alza, kan? Alza akan mendapatkan warisan lalu menceraikan dirinya.

"Heh, malah nangis. Papa udah janji sama sahabat papa dan juga pada diriku sendiri. Akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Dira," ucap Pak Adi lembut.

Dira sudah tak kuat menahan isakan. Dia menghambur ke pelukan papa mertua. Orang yang sudah dianggap seperti ayah kandungnya. "Papa." Hanya itu yang terdengar bersamaan isak yang kian menderu.

Sedangkan Alza menatap mereka tanpa berkedip. Hatinya terenyuh. Apa yang akan dilakukan sudah benar?

"Sebentar, ya. Papa ambil suratnya dulu." Pak Adi mengurai pelukan. Dia bangkit lalu bergegas ke kamar. Dira menghapus cairan yang membasahi pipi. Bagian depan hijab segitiga yang dikenakan juga ikut basah.

Tak lama kemudian Pak Adi kembali dengan sebuah map biru dan pulpen. Diletakkan di meja. "Coba baca!" titahnya pada Alza.

Pria yang mengenakan kemeja biru kotak-kotak itu langsung mengambil. Sudut bibirnya terangkat. "Ok, sesuai dengan janji papa." Alza kembali menutup map.

"Hmm." Sang papa hanya mendehem.

"Ya udah. Pulang, yuk!" ajak Alza. Dia bangkit dari tempat duduk.

"Pulang?" Pak Adi menaikkan sebelah alis. Tatapan tak suka terpancar jelas.

"Papa, kan tau aku harus ke kantor." Alza beralasan.

Dira menunduk. Dia tahu, Alza pasti tak sabar untuk pergi ke rumah sakit. Dira tahu, suaminya itu ingin menemui sang kekasih. Hati Dira seolah tertusuk belati. Sakit!

"Dira di sini aja. Nanti kalau kamu udah pulang dari kantor baru jemput. Kasihan dia sendiri di rumah. Di sini, kan ada papa dan Bi Ining," saran Pak Adi.

Alza terhenyak. Jika Dira tinggal di rumah sang papa, berarti dia tak bisa bebas pulang jam berapa saja. "Em, Pa. Nanti, kan aku pulang malam. Jadi, kalau Dira tinggal di sini takutnya-"

"Gak ada tapi-tapian! Pokoknya nanti kamu jemput Dira. Hari ini, kan Selasa. Biasa juga kamu pulang siang," omel Pak Adi. Dia menyuruh Dira istirahat di kamar lama Alza. Sedangkan Alza terperangah di tempat.

"Gimana, sih?" Dia mengepalkan tangan, kesal sendiri.

Di kamar Dira kembali meneteskan air mata. Pandangannya menyapu seluruh penjuru ruangan. Dia ingat, di malam pertama menunggu Alza yang pulang mabuk. Paginya dia mendapat tamparan keras di pipi.
Semua terkenang, sakit.

Wanita itu membuka lemari kain Alza dulu. Kosong, seperti perasaan pria itu padanya. Dira beralih ke laci. Di sana ada beberapa bingkai. Karena penasaran, dia pun mengambil.

"Mas Alza ... Colodia." Hanya itu yang terucap dari bibirnya yang bergetar. Terisak lagi dan lagi. Tubuh Dira luruh di lantai. Dari dulu Dira tak pernah memikirkan cinta, tapi sekarang saat dia mengenal cinta malah terluka.

Cinta itu aneh, bisa membuat tawa sesaat dan tangis sesak. Cinta bisa timbul dengan mudah, tetapi sulit berpindah. Bisakah cinta itu hanya indah tanpa gundah? Bisakah cinta berbalas tanpa membuat cemas?

Cinta ih cinta. Kau membuat semua gila. Kau merubah segalanya dalam waktu sekejab saja. Kenapa kau harus ada?

Dira menepuk-nepuk dada dengan keras. Sakitnya tetap tak sebanding dengan sakit dalam hatinya. Ketukan pintu membuatnya terlonjak dan buru-buru bangkit. Namun, saat bangkit dia lupa mengambil bingkai foto y abg tadi diletak di pangkuan hingga benda itu terjatuh dan pecah.

"Non Dira!" Seruan Bi Ining sembari makin kencang. Dia berusaha mendorong pintu, padahal tak dikunci. Hampir saja dia terpelanting di lantai. Beruntunglah berhasil ditahan.

Bi Ining menutup mulut dengan tangan. "Foto Den Alza dan Claudia pecah." Dia mendekat.

"Biar aja, Non. Nanti biar bibi yang bersihkan!" cegah Bi Ining saat melihat Dira memungut salah satu pecahan kaca. Naasnya jari telunjuk Dira berdarah.

"Non, hatinya berdarah. Eh, jarinya ...." Ucapan Bi Ining memelan.

Dira tersenyum miris. Hatinya memang sudah berdarah. Tak terasa tetesan bening kembali menetes.

"Maaf, Non. Bibi gak maksud apa-apa, tadi beneran lidah bibi keseleo." Bi Ining menyesali ucapan yang ke luar tanpa disaring.

"Gak apa, Bi. Ini sakitnya di jari bukan di hati, hehe. " Dira masih mencoba tertawa di antara air mata. Dia menyeka air mata, tapi darahnya malah menempel ke pipi.

"Darahnya malah merembes ke pipi, Non." Bi Ining bergegas ke luar. Tak lama kemudian dia kembali membawa kotak P3K.

Percuma diobati, sakitnya di dalam, Bi! Begitulah teriakan Dira, tetapi hanya dalam hati. Dia belum siap menceritakan pada siapa pun tentang kondisi hatinya. Tak ingin siapa pun tahu, kalau dia sedang terluka.

"Non ... tau nggak? Dulu itu Den Alza gak suka sama Claudia."

***

Jadi, dulu Alza suka sama siapa? Penasaran nggak? Tenang ... Di part selanjutnya Bi Ining akan bongkar masa lalu Alza. Hayoo ... desak Bi Ining wkwk

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang