29. Saudara

119 9 0
                                    

Setelah berperang dengan macetnya jalanan dan panasnya sang surya, akhirnya Alza tiba di rumah. Dia menenteng plastik putih yang berisikan beberapa es krim gandum cokelat, kesukaan Dira.

"Mas?" Suara Dira terdengar saat dia membuka pintu.

"Iya, Sayang," balas Alza lembut. Sekilas dilirik Jovan yang duduk santai di sofa. "Jovan kenapa ada di sini?"

"Elah, aku di sini buat nungguin kamu. Melaporkan apa yang terjadi tadi pagi. Nggak ada niatan gangguin istri kamu!" ketus pria itu sembari mengangkat kaki sebelah.

Alza duduk di sofa depan Jovan. "Harusnya memang begitu." Dia kemudian menoleh ke arah sang istri yang masih mematung di dekat pintu. "Sayang, ngapain di situ?"

"Kan, nggak diajak," tutur wanita itu sekenanya. Dia kesal, sudah menunggu lama. Giliran datang, malah diabaikan.

Dengan cepat, Alza bangkit. Menghampiri istrinya dan menuntut untuk duduk di sebelahnya. "Duduk sini. Oh iya, aku tadi beliin es krim kesukaan kamu." Dia kembali bangkit, mengambil plastik yang diletakkan di atas meja.

"Nanti aja," ujar Dira malas. Sesungguhnya dia kini lebih tertarik pada topik pembicaraan kedua pria itu. Tadi dia memaksa Jovan untuk bercerita, tetapi percuma saja. Pria itu terlalu pelit informasi, menurutnya. Entah karena sudah berjanji atau apa, Dira tidak tahu. Dia hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi.

"Gimana?" tanya Alza tanpa basa-basi.

"Hmm ... Om Adi sudah menyetujui, Tante Talia sudah dijebloskan ke penjara."

Kalimat itu sontak membuat Dira mengerutkan dahi, benar-benar tidak paham. "Maksudnya?" Dira tak tinggal diam.

"Em, kamu tanyakan aja sama suami kamu. Aku pulang dulu. Asalamu'alaikum." Jovan pamit, lalu bangkit. Dia melenggang keluar tanpa menoleh lagi.

Setelah kepergian Jovan, hanya ada keheningan. Alza tercenung, memikirkan kejadian demi kejadian. Sedangkan Dira menatap sang suami dengan ribuan pertanyaan. Dia sedang mencari kata pertama yang harus diucapkan.

"Kamu pasti mau nanya, siapa Talia, kan?" Alza melengos, memandang tembok putih rumah mereka.

"Memang dia siapa, dan apa hubungannya dengan kamu dan papa?" Dira ikut memandang tembok itu.

Alza memejamkan mata, menarik napas dalam. Setelah merasa agak tenang, barulah dia menoleh pada sang istri. "Dia adalah orang yang telah membuat mamaku meninggal. Dia yang sudah merebut kebahagiaan keluarga kami, menghancurkan kepercayaannku pada papa."

"Maksudnya?" Dira masih belum mengerti.

Alza tersenyum kecil, kemudian mulai menceritakan semua secara runtun. Di sela-sela ucapannya, dia beberapa kali menitikkan air mata. Mengenang keindahan bersama keluarga utuh, bersenda gurau. Namun, semua hancur kala datangnya wanita yang bermain belakang dengan sang papa.

Perlahan tangan mungil Dira mengamit tangan suaminya, menggenggam erat. Semua sudah berlalu, sekarang dialah menjadi teman hidup pria itu. Dira harus bisa menampung tangis, dan mengobati luka-luka yang pernah ada. Mereka pasangan yang tercipta untuk bersama, mereka telah menjadi satu. Harus saling mendukung dan menguatkan.

Terkadang masa lalu seseorang memang buruk, tetapi itu bukan alasan untuk tidak melanjutkan hidup dengan bahagia, 'kan?

"Satu lagi ... Claudia itu saudaraku, satu ayah denganku," tutur Alza lirih.

Dira menelan saliva dengan kasar. Itu benar-benar membuatnya terkejut, tak menduga sama sekali. Bagaimana mungkin, mereka pernah pacaran bertahun-tahun. Tanpa mereka sadari, ternyata saudara. Mungkin itulah alasan, kenapa Dira harus menikah dengan Alza. Sungguh, Maha Kuasa Allah.

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang