Alza melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia harus menyelesaikan masalah yang telah lama dipendam. Rasa sakit yang tersimpan, harus segera dibalas. Di sebelahnya Jovan hanya berdecak kecil sembari memperhatikan ke depan.
"Kenapa, sih, nggak kamu kasih tau Dira aja. Dia istrimu, kalau dia sampai tau dari orang lain bisa-"
"Mending diam, deh! Aku tau apa yang harus kulakukan, dan apa yang harus kutahan!" sela Alza dengan cepat.
"Ya, ya." Jovan memilih mengalah, percuma berdebat dengan orang yang sedang dipenuhi emosi.
"Kamu nggak akan mengerti, Van. Istriku punya hati lembut seperti sutera. Dia nggak mungkin setuju dengan keputusan ini."
Jovan mengangguk pelan, dia juga paham bagaimana sifat Dira. Wanita berhati mulia yang selama ini didamba. "Ya udahlah. Tapi ...." Dia menggantungkan kalimat, menunjuk wajah Alza. "Kalau Dira marah atau lainnya, aku gak mau tanggung jawab. Kamu harus selesaikan sendiri, jangan bawa-bawa namaku!"
"Tenang aja. Ini keputusanku, aku sudah memikirkan ke depannya." Alza menghela napas panjang.
Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, mereka pun tiba di kantor polisi. Tanpa membuang waktu, mereka segera menemui salah satu polisi yang tadi sudah dihubungi terlebih dahulu. Seorang muda yang seumuran dengan mereka, Mike sahabat mereka.
Di dalam ruangan itu, Alza mulai memaparkan semuanya. Beberapa hal yang selama ini belum bisa ditindaklanjuti, kini bisa dilaporkan Alza lagi. Apa lagi orang yang selama ini dicari ada di kota yang sama dengan mereka.
"Lebih baik sekarang aja kita pergi," usul Alza. Dia benar-benar tak sabaran ingin menjebloskan orang itu ke dalam jeruji besi.
Mike terlihat menekan beberapa tombol pesawat telepon. Dia berbicara baku pada seseorang di seberang, mungkin atasannya. "Ya sudah, ayo!" Mike menyetujui.
Jovan sendiri menggeleng, inikah keuntungan punya sahabat di bekerja di kepolisian. Mempermudah mereka melakukan segala yang berhubungan dengan tidak pidana. Coba kalau polisi lain, belum tentu bisa seluwes itu dalam merespons.
Alza dan Jovan berada dalam mobil yang sama, sedangkan Melki membawa mobil dinas beserta dua temannya. Mereka mengekor di belakang mobil Alza, pastinya tanpa membunyikan sirine.
***
Di rumah sakit, Pak Adi duduk di kursi dengan wajah kusut. Dia menatap brankar, di mana putrinya terbaring tak sadarkan diri. Semalaman dia terjaga, dia belum juga belum makan apa-apa.
Di tikar plastik yang digelar di lantai, Talia berbaring. Tertidur nyenyak karena semalaman menangis. Kelopak mata membesar, bibirnya memucat.
Bruk!
Pintu ruangan dibuka dengan kasar, dua pria datang dengan tatapan kebencian. Pak Adi terlonjak kaget saat melihat anaknya. Dia berjalan pelan, mencoba berbicara. Namun, apa yang didapat? Tepisan kasar dari Alza.
"Za, dengerin papa. Ini--"
"Apa? Papa mau bilang apa, ha? Cukup ya, aku udah muak dengan semua tingkah kotormu!" Alza sudah tak dapat menahan emosi. Benar-benar kecewa dengan apa yang ditemukan hari ini. Belum cukupkah sang papa menyakiti mamanya di masa lalu?
Pak Adi menggeleng. "Papa nggak pernah bermaksud-"
"Tutup mulutmu!" Alza berteriak.
Plak!
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kanan Alza. Dia memejamkan mata sesaat, lalu mendongak dengan senyum sinis. "Tampar, Pa! Tampar terus! Dulu dan sekarang, Papa memang nggak pernah sayang samaku, apa lagi sama mama!"
"Za, papa harus bagaimana agar kamu perca-?"
"Ma-mas, a-ada apa ini?" Efek dari keributan itu, tidur Talia pun terganggu. Dia bangkit dengan balutan selimut tipis yang tadi dikenakan. Berjalan ke belakang Pak Adi dengan tubuh yang bergetar.
"Aku nggak akan minta penjelasan apa pun dari Papa. Tapi ... wanita itu harus membayar semua perbuatannya di masa lalu. Dia harus membusuk di jeruji besi!" Alza menunjuk ke arah Talia.
Saat Pak Adi akan bersuara, tangan Alza terangkat. "Ingat, tidak ada yang bisa menghalangiku. Baik itu Papa, sekalipun Dira."
"Kita bisa bicarakan dengan cara kekeluargaan!" sanggah Pak Adi tak terima.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah memaafkan dia."
"Kalau kamu nggak memaafkan dia, apa mamamu akan kembali!?" Suara Pak Adi menggema di ruangan itu.
Alza tertegun, tatapannya memburam. Benar, kalau dia tidak memaafkan Talia, apa mamanya akan kembali? Tetesan bening mengalir ke pipi, tetapi dengan cepat disekanya. "Setidaknya kalau dia mendekam di penjara, aku bisa sedikit lega." Alza berbalik, meninggalkan ruangan itu.
Tak lama kemudian, Mike masuk bersama dua temannya. Mereka menghampiri Pak Adi, menunjukkan surat penangkapan Talia yang sudah terbukti membunuh Lisna, mama Alza. Pria paruh baya itu tak bersuara, membiarkan Talia dibawa oleh mereka. Bahkan dia tak mendengarkan suara wanita itu yang memohon agar dia membantu. Pak Adi berbalik, menatap Claudia yang tak kunjung sadarkan diri. Dalam hati dia berjanji akan merawat putrinya dengan sepenuh hati. Biarlah Talia mempertanggungjawabkan perbuatannya.
***
Alza masuk ke mobil, tak peduli pada Jovan yang memanggil-manggil. Dia memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tangisnya tak dapat ditahan, teringat semua tentang mama. Dia memukul setir beberapa kali. Tiba-tiba ponsel di kantong celana berdering, perlahan dia menepikan mobil.Di layar tertera nama istri tercintanya, dengan terpaksa dihentikan semua air mata. Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Biar bagaimanapun Dira tidak boleh tau kesedihan yang dirasa.
"Assalamu'alaikum, Mas."
Suara lembut dari seberang membuat hati Alza sedikit tenang. Dia menyunggingkan senyum kecil. "Waalaikumsalam, Sayang. Bentar lagi aku pulang, kok. Gak usah kangen gitu." Dia terkekeh kecil.
Sepuluh detik berlalu, tak ada suara lagi dari seberang membuat Alza menarik ponsel. Masih tersambung. Dia mengernyitkan dahi, kemudian kembali menempelkan benda itu di dekat telinganya. "Sayang, kamu dengar aku, kan?"
Isakan kecil terdengar, Alza memanggil-manggil nama Dira. Menanyakan ada apa dan kenapa dia menangis. Namun, bukannya mendapat jawaban tangisan Dira kian mengencang.
Alza membentak, "Sayang kenapa!?"
"Kamu di mana? Aku khawatir ... tadi aku ditelepon sama Jovan. Katanya kamu pergi sendirian dengan ugal-ugalan. Katakan, kamu di mana?"
Alza menyandarkan tubuh di kursi kemudi, menatap lurus ke depan. "Aku akan pulang. Jangan cemas, aku baik-baik saja. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu sahutan istrinya, Alza memutuskan panggilan. Dia mengusap wajah frustrasi, harusnya Dira tak perlu tau apa yang dirasakan saat ini. Bukan karena tak ingin berbagi, tetapi dia sudah terlalu sering membuat wanita itu khawatir.
"Dira ... maafkan aku. Aku bukan suami yang baik, tapi aku berjanji ... mulai hari ini semua akan baik-baik saja " Alza membuka kaca mobil, suasana sepi. Dia baru sadar, mobilnya terparkir jauh dari jalan raya. Perlahan dikeluarkan kepala dari kaca, panas.
Tak tahan dengan suasana itu, Alza kembali menutup kaca. Menghidupkan mesin mobil, lalu mengatur AC lebih tinggi. "Baiknya aku mampir dulu ke toko es." Dia berucap pelan.
***
TBC ....
Haiyo, akhirnya up juga
Sekadar info, dalam beberapa part ke depan KTH akan tamat 😉
Siap-siap aja ya🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...