24. Siapa Claudia?

114 12 0
                                    

Wanita bergaun kuning keemasan itu menatap pantulan diri di cermin. Dia merapikan penampilan, memutar tubuh ke kanan-kiri. Sudut bibir terangkat, lalu diamit tas tangan berwarna senada dengan bajunya. Setelah mengirim pesan pada seseorang, dia bersiap-siap. Sore ini dia akan bertemu dengan lelaki yang selama ini diidam-idamkan. Oh, bukan, tapi yang sempat dimiliki sesaat sebelum semua berantakan.

Sebuah taxi yang sudah dipesan online terhenti tepat di depan rumahnya. Setelah menginterupsi ke arah mana pergi, mobil itu mulai melaju. Selama perjalan dia tak henti-henti tersenyum. Kejadian kemarin merupakan sebuah kemenangan baginya. Ah, sebentar lagi dia 'kan jadi pengantin.

"Bahagia banget kayaknya,  Non," ucap supir taxi.

Senyum wanita itu memudar, dia berdecak kesal. "Mau tau aja urusan orang!"

Sesampainya di depan Rumah Sakit, dia mengambil ponsel dari tas. Mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada orang yang hendak ditemui. Namun, saat akan mengangkat tungkai kaki suara seseorang menghentikannya.

"Claudia!"

Wanita itu berbalik, menatap sinis ke arah orang yang memanggilnya. "Ada apa?"

"Clau ... mama minta maaf karena selama ini telah meninggalkanmu," ujar wanita itu. Dia meraih tangan Claudia.

"Ya sudah! Aku banyak urusan!" Claudia mengempaskan tangan Talia, mama kandungnya.

"Clau ... kamu ikut mama, ya. Kita pindah ke Paris."

"What the hell? Ikut anda? Sorry, ya, saya bisa hidup tanpa anda!" seru Claudia dengan tatapan tajam. Dia benci sang mama, tapi juga tak bisa membohongi hatinya kalau dia rindu. Rindu mama yang dulu begitu menyayangi, bukan setelah dia menikah lagi.

"Ma-"

"Stop, deh! Saya tidak butuh anda!" Claudia bergegas pergi, tetapi tidak ke dalam Rumah Sakit. Dia pergi ke kamar mandi. Di sana dia meringkuk, menangis sekencang-kencangnya. Dia memporakporandakan semua benda yang ada di sana.

"Aku benci!"

Di depan Rumah Sakit Talia masih berdiri, menunggu Claudia kembali. Namun, tanpa sengaja bertanya menangkap sosok yang sangat mirip dengan orang di masa lalunya. Apa dia anak yang dulu? Dia mengalihkan pandangan agar tak saling beratapan, pria itu juga tak memperhatikannya. Setelah agak jauh, Talia mengikuti dari belakang. Penasaran.

"Kita pulang, yuk! Di rumah ada temen kamu, kali aja jodoh." Di terkekeh geli.

Talia yang bersembunyi di balik mobil menggeleng kuat. Tidak mungkin! Anak itu suka kucing, dia alergi. Tak lama kemudian mobil itu melaju, Talia keluar dari tempat persembunyian. Pasti ada petunjuk di Rumah Sakit itu, dia bertekat mencari tahu.

"Maaf, Pak." Talia berjalan menunduk, hampir terjengkang saat menabrak tubuh besar. Dia meminta maaf tanpa mengangkat wajah.

"Iya, gak apa. Saya yang salah tidak memperhatikan jalan."

Suara itu. Talia mengenalnya. Perlahan wanita berambut gelombang itu mendongak. Napasnya tercekat, tak menyangka bertemu pria itu lagi.

"Mas Adi ...," lirihnya.

Lelaki yang dipanggil menoleh, dia mundur selangkah karena terkejut. Mereka kembali dipertemukan setelah dua puluh tahun berlalu. Kisah cinta mereka yang terlarang, membawa bumerang. Ya, itu adalah Adi dan Talia, papa Alza dan mama Claudia. Ada hubungan apa mereka di masa lalu?

"Ta-Talia ...." Suara Pak Adi sangat pelan. Tatapannya tak lepas dari wanita yang pernah mengisi hati, sekaligus menghancurkan. Wanita kedua yang pernah masuk ke hidupnya.

Talia berseru, "Mas Adi!" Dia maju selangkah, berniat memeluk Pak Adi. Namun, pria itu mundur dua langkah.

"Jangan mendekat! Cukup di masa lalu kita melakukan kesalahan, sekarang kita bukan siapa-siapa." Pak Adi menunduk. Jika mengingat masa lalu, dia melakukan begitu banyak kesalahan. Selingkuh? Ya, itu yang dilakukan.

"Mas ... apa Alza juga ada di sini? Dia sudah dewasa sekarang." Wanita itu tersenyum simpul.

"Pergi dari sini!" titah Pak Adi menunjuk pintu. Dia bertindak seolah sedang di rumahnya, tak sadar kalau itu rumah sakit. Talia juga langsung berbalik, berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Pak Adi masih bisa melihat wanita itu menyeka sudut matanya. Dia menangis.

Pak Adi menghela napas lega, aman untuk sementara. Bagaimana jika nanti Alza melihatnya? Alza sangat membenci wanita itu, karena Talialah pembunuh mamanya. Kenapa dia kembali? Pak Adi mengusap wajah dengan gusar, apa yang harus dilakukan?

"Pak Adi!" Seruan pria berkemeja abu-abu itu membuatnya tersentak. Segera dilihat, Adnan tersenyum lebar dengan napas memburu.

"Ada apa, Nan?" tanyanya dengan cepat.

"Bang Alza mana? Kak Dira sudah sadar!" Adnan berseru lantang, sangat bahagia.

"Alhamdulillah!" seru Pak Adi. Dia merangkul Adnan, mereka menangis terharu.

"Kita harus segera hubungi Bang Alza, Pak," kata Adnan sembari melepas pelukan, "Kak Dira memanggil-manggil namanya terus."

"Eh, tidak semudah itu!" Pak Adi mengetuk-ngetuk dagu. "Kita harus buat surprise."

"Surprise?" Adnan mengerutkan dahi, tak mengerti maksud papa mertua kakaknya itu.

"Iya." Pak Adi membisikkan sesuatu, keduanya tersenyum.

***

Mobil sedan hitam memasuki prakiraan Rumah Sakit. Angin malam menusuk sampai tulang belulang. Entah mengapa malam ini terasa dingin, mungkin sebentar lagi akan hujan. Nurul keluar sembari merapatkan jaket tebalnya, dia berdiri di dekat pintu. Tak lama kemudian, Alza juga keluar hany menggunakan baju kaos polos berwarna hitam. Dia seolah tak merasakan dingin.

"Za, pake jaket dulu. Ini dingin banget!" perintah Nurul.

Alza tersenyum lebar. Tenang aja, Mah, aku kebal."

"Ye, dibilangin ngeyel. Nanti gantian sakit sama Dira baru tau rasa!" omel Nurul, dia berjalan terlebih dahulu.

"Kalau bisa gantikan dia sakit, udah dari kemarin aku gantiin, Mah," lirihnya. Dia mengembuskan napas kasar, kapan istrinya membuka mata dan tersenyum lagi? Sungguh, dia sangat rindu.

"Malah bengong, ayo buru!" Nurul berteriak dari depan pintu Rumah Sakit.

Alza mengangguk, kemudian berlari menghampiri sang ammah.

"Suster, pasien yang tadi di ruang ICU ke mana?" tanya Alza saat mereka tiba di depan ICU. Sudah tak ada Dira lagi.

"Atas nama siapa, ya, Pak?"

"Nadira Surani," jawab Alza cepat.

"Em, beliau ada di kamar mayat, Pak. Permisi." Suster itu berlalu.

Suara petir menggelegar, tubuh Alza melemas. Tidak mungkin! Dia menampar pipi beberapa kali, dan berteriak kalau itu tidak benar. Nurul berusaha menenangkan, tetapi tak berpengaruh sama sekali. Pria itu meraung-raung di lantai.

"Za, jangan seperti ini. Lebih baik kita lihat ke sana." Nurul membantu pria itu berdiri, menuntunnya berjalan menuju kamar mayat.

Langkah Alza terhenti saat berada di depan pintu yang berpelangkat 'Kamar Mayat', tak sanggup mengangkat kaki. Namun, tangan Nurul menggenggam tangannya semakin erat, memaksa terus berjalan.

Ada beberapa brankar yang terisi mayat. Semua serba putih. Tiba-tiba lampu padam, gelap gulita. Alza tak dapat melihat apa-apa, tangan Nurul juga tak lagi menggenggam tangannya. Alza meraba-raba, tetapi yang terpegang malah kaki mayat.

"Mah! Ammah di mana?" Suara Alza menggema di ruangan itu. "Astagfirullah." Pria itu melafalkan ayat kursi untuk menenangkan diri. Dia memutar langkah, mencari jalan keluar. Saat tangan kekarnya berhasil meraih knop pintu, lampu kembali menyala. Di sudut ruangan seseorang berdiri menggunakan jubah putih dan kepala tertutup.

"Mau ke mana, Sayang?"

"Kyaa!" Tubuh Alza merosot ke lantai, tak sadarkan diri.

"Lah, kenapa?" Dira berbalik, berlari menghampiri sang suami. "Mas! Mas, bangun! Ini aku Dira."

***

Iseng amat :( ide siapa itu :(

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang