Dira mengemas semua pakaian mereka dari lemari ke koper. Bi Ining menatap nanar lemari yang kini telah kosong. Baru seminggu dia mengenal istri tuannya itu, tetapi dia sudah begitu sayang.
"Bi?" Dira menyentuh pundak Bi Ining.
"Eh, i-iya, Non. Maaf bibi terbawa perasaan," sahut Bi Ining sembari menyeka kedua sudut matanya.
Dira tersenyum kecil. "Papa di mana?"
"Di ruang keluarga, Non."
Dira ke luar terlebih dahulu. Di belakangnya menyusul Bi Ining yang menarik koper. Mereka berjalan menuju ruang keluarga, di mana Pak Adi sedang duduk termenung.
Dira duduk di samping ayah mertuanya. Pak Adi agak tersentak. Dia menatap Dira lama, kemudian tersenyum. Walau bagaimanapun dia sudah menganggap Dira putrinya. Jadi, wajar jika Pak Adi kurang setuju jika mereka pindah dari rumahnya. Namun, mereka sudah menikah, punya keluarga sendiri. Mereka juga ingin mandiri tanpa tinggal di rumah orang tua lagi.
"Alza sudah jemput?" tanya Pak Adi. Senyumnya belum luntur.
"Lagi di jalan, Pa." Dira tersenyum kikuk. Pak Adi mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan ke arah televisi.
Tak lama kemudian klakson mobil terdengar. Dira beranjak dengan berat, dia tahu itu Alza, suaminya. Pak Adi juga ikut bangkit mengikuti langkah kaki sang menantu. Alza muncul dengan penampilan masih rapi seperti tadi pagi. Hanya dasinya yang agak miring. Dira tersenyum tipis meraih tas kerja yang disodorkan Alza. Sudah seminggu menjalani hidup bersama pria itu membuat Dira sedikit mengerti, walaupun lelaki itu sama sekali tak berniat membuka diri padanya.
"Harus sekarang pindahnya? Besok pagi, kan bisa. Ini udah mau malam." Pak Adi berbicara dengan wajah penuh harap mereka menunda.
Alza menghela napas panjang. "Pa ... kami kan udah seminggu nikah dan tinggal di sini. Masa tinggal sama papa terus, apa kata orang kantor nanti? Apa kata tetangga, udah nikah masih numpang di rumah orang tua."
"Bukan gak boleh, tapi tunda sehari aja. Sekarang udah terlalu sore," bujuk Pa Adi. Memang di daerah mereka, bagi anak yang sudah menikah wajib pisah rumah dengan orang tua. Sekalipun itu anak tunggal, seperti Alza.
Pandangan Alza beralih ke Dira. Berubah tajam - seolah menyiratkan agar Dira bersuara, membuat sang papa mengerti. Dira menelan saliva dengan kasar. Menarik napas dalam, kemudian mendekat pada Pak Adi.
"Pa ... ini keinginan Dira. Janji deh, Dira dan Mas Alza akan sering berkunjung ke sini," ucap Dira dengan lembut.
Pak Adi menganggukkan kepala pelan dan menghela napas, dia percaya Dira akan menepati janji. Pria itu mengusap kepala Dira dengan lembut. "Ya sudah, kalian hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari papa kalau udah sampai. Sering-sering main ke sini."
Dira menganggukkan kepala setuju. Tanpa mereka sadari Alza menghela napas lega.
***
Magrib pun tiba, Alza bersikeras untuk segera pergi. Namun, Dira menolak, ia meminta agar mereka salat terlebih dahulu. Meski kesal, Alza juga mengikuti keinginan sang istri. Dengan wajah merengut dia mengimami istrinya. Dira tahu kalau Alza pernah masuk pesantren dulu. Pak Adi menceritakan banyak hal tentang kebaikan Alza. Namun, pada istrinya hanya Dira yang tahu dan merasakan semua.
Setelah selesai salat Magrib mereka pun pergi. Selama perjalanan hanya ada kediaman. Alza fokus menyetir, sedangkan Dira memikirkan masa depan mereka. Dia teringat kejadian seminggu lalu.
"Jangan berani berbicara padaku, aku jijik melihat wajahmu, apa lagi berbicara. Ingat kau hanya istri sementara!"
Dira menyentuh pipi yang terhampar lalu. Masa terbayang bagaimana sakitnya. Selama hidup itu pertama kali dia ditampar. Dari dulu Dira selalu disayangi, dan dimanjakan. Namun, hari itu orang yang diangggap penting dalam hidupnya telah menyakiti hati dan raganya.
"Turun!" titah Alza. Dia keluar terlebih dahulu. Dira tersentak, menoleh ke sekeliling. Suara azan terdengar lantang. Wanita itu melirik jam merah muda di tangan, sudah pukul 19.37. Berarti selama setengah jam hanya digunakan untuk melamun.
"Turunin semua barangnya! Malah bengong!"
Dira memasukkan semua barang ke rumah. Tatapannya menyapu seluruh penjuru ruangan. Tidak terlalu besar, tetapi elegan. Sebuah meja kaca bening di antara kursi sofa berwarna coklat muda. Rumah itu hanya satu lantai, berbeda dengan rumah mertuanya yang tiga tingkat.
Dira berkeliling, dia terpaku saat tiba di dapur. Semua peralatan memasak lengkap. Dia hampir saja memekik karena kegirangan.
"Sayang!"
Teriakan itu membuat Dira tersentak. Dia spontan berbalik hingga kepala terpantuk di tembok. Dira bergegas ke depan sambil mengusap kepala. Namun, apa yang dilihat saat itu membuat dunianya serasa runtuh. Pandangannya mengabur. Dadanya sakit, kepala ikut nyut-nyutan.
"Ka-kalian?"
***
Jam sudah menunjuk ke arah pukul 23. 00, tapi Alza belum juga pulang. Dira bangkit dari tempat tidur, dia berjalan ke pintu depan. Perlahan dibukanya pintu hingga menampilkan depan rumah yang sepi. Dira duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu jati. Dia memangku dagu dengan kedua tangan.
Suara klakson mobil melengking. Dira sontak berdiri dan melihat siapa yang datang. Bibirnya menyungginggkan senyum kecil dan membuka gerbang. Mobil Alza masuk garasi.
Dira mengunci gerbang kemudian mendekat ke arah suami. Namun, Alza berlalu begitu saja tanpa melirik sedikit pun. Dira memandang ke atas -- langit gelap, segelap kisah hidupnya kini. Bayangan kejadian beberapa jam lalu kembali menyerang.
"Sayang, aku kangen banget, tau!" Seorang wanita memeluk Alza dengan mesra. Alza membalas sembari mengecup pucuk kepala wanita itu. Bibir Dira hampir jatuh karena terkejut.
"Aku juga, Sayang," balas Alza manja.
Dira mendekat kemudian bertanya, "Di--dia siapa, Mas?"
Kedua orang yang sedang asyik bermesraan itu menoleh. Wanita yang memakai rok merah selutut itu tersenyum. Dia melepas tangan Alza dari pinggangnya.
"Hai, aku Claudia. Kamu lupa? Oh, iya, aku mantan Alza. Eh, bukan mantan, tapi masih pacar tersayang," ucapnya sembari tersenyum miring.
"Tapi dia suamiku," bantah Dira tak suka.
Claudia terkekeh, dia menatap Alza sebentar kemudian kembali berucap,"Dia memang suamimu, tapi aku pemilik hatinya."
Dira tak mau kalah. Dia bersikeras mengatakan Alza adalah suaminya.
Namun, saat Alza berbicara membuatnya terdiam. Tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
"Aku nikahi kamu cuma buat harta warisan yang kelak akan jadi milik kami berdua, dan kamu pastinya akan kubuang. Kamu itu cuma alat, karena papa suka padamu dan janji konyolnya pada orang tuamu!"
Alza mendekati Claudia dan meraih pinggang wanita itu. "Sayang, laper nih. Makan di luar, yuk."
Claudia menggangguk. Sebelum mereka pergi Claudia masih sempat menjulurkan lidah pada Dira. Di sana tinggallah Dira terduduk lemas dengan genangan air mata. Dia pikir Alza menikahinya karena cinta, tetapi ternyata demi harta warisan.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...