13. Malam Ricuh

152 16 0
                                    

Mobil milik Alza berhenti di depan gerbang. Dia membunyikan klakson beberapa kali. Karena tak kunjung ada yang datang, dia memilih turun dan masuk ke rumah mewah itu. Di ruang keluarga Dira dan Bi Ining duduk di ambal sembari menonton, sedangkan Pak Adi duduk di kursi agak jauh.

"Kalian gak bisa dengar, ya?" Alza mengomel.

"Bukan nggak dengar, tapi papa emang melarang mereka untuk membuka. Enak saja kamu!" Pak Adi berucap sembari membolak-balik lembar koran yang dipegang.

"Dira, ayo pulang!" ajak Alza,"aku udah capek, mau istirahat."

"Kalo capek tidur di sini aja. Apa susahnya," saran Pak Adi, dia bangkit dari tempat duduk. Berdiri di hadapan putranya.

"Ke mana kamu hari ini?" Pak Adi menatap tajam pada Alza.

Alza tergagap, "A-aku di kantor, Pa." Kenapa, sih?"

"Gak usah bohong! Kau pikir aku nggak tau? Suami macam apa kau ini! Kapan kau berubah, kapan Alza!?" Pak Adi menarik kerah baju anaknya itu.

Dira berlari mendekat, menghalau papa mertua yang hendak menyerang suaminya. "Jangan, Pa!"

Melihat mimik cemas wajah Dira, Pak Adi mengempaskan Alza. Alza tak berani mengangkat wajah. Dia paling takut kalau papanya sudah marah begitu. Emosi mereka tak jauh beda, tak memandang siapa yang berbuat salah. Tangan dan kaki akan cepat beraksi untuk menghajar.

"Pulanglah, bawa istrimu!" Pak Adi menggebrak meja, lalu menunjuk pintu depan yang masih terbuka. Alza mengangguk, menarik tangan Dira. Saat berada di ambang pintu, Dira berhenti. Dia melepaskan tangan dari kenalan Alza. Berbalik menghampiri Pak Adi.

"Pa ... kami pamit." Wanita itu mengulurkan tangan. Pak Adi menoleh, tersenyum kecil lalu menerima uluran tangan itu. Dira pun menyalam dengan hormat. Pak Adi harus mengaku, jika menantunya itu memang sangat spesial. Itulah sebabnya mengapa dia memilih Dira sebagai pendamping hidup Alza, tetapi apa yang dilakukan Alza? Pak Adi menggeram dalam hati, masalah ini harus segera dituntaskan.

"Hati-hati." Hanya itu kata y abg terucap. Pak Adi pun melangkahkan kaki menuju tangga. Dira mengangguk, lalu berbalik menghampiri sang suami yang masih setia berdiri di ambang pintu.

Selama perjalanan mereka hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Dira memandang ke luar kaca samping. Semua cerita Bi Ining tadi siang masih terngiang jelas.

"Dulu Den Alza nggak suka sama Claudia karena dia sudah terlalu agresif dan menor."

"Terus kok bisa pacaran, Bi?" Dira bertanya dengan antusias.

Bi Ining mengembuskan napas." Sebenarnya bibi juga gak yakin kalau Den Alza suka sama dia. Menurut bibi sih, Den Alza cuma kasihan. Wanita itu suka melukai diri sendiri, apa ya namanya? Selef, em selef--"

"Self harm, Bi." Dira menyela.

"Nah, itu, Non. Tuan Adi gak pernah suka sama dia karena tuan yakin wanita itu licik, pasti cuma mau harta mereka aja."

Tak terasa bulir bening mengalir, buru-buru Dira menghapus sebelum Alza melihat. Namun, Sayang ternyata Alza sudah memperhatikan sejak tadi. Dia mendehem dengan keras hingga membuat Dira menoleh.

"Kenapa kamu?" Alza bertanya dengan pandangan tetap fokus ke depan. Dira menggeleng sebagai jawaban. Setelah itu, kembali senyap. Hanya suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan.

"Ngapain itu orang di situ?" Alza membuka seat belt. Buru-buru turun saat melihat seseorang berdiri di samping mobil yang parkir di depan rumah mereka. Dira ikut turun untuk melihat.

"Ngapain kau ke sini!" hardik Alza. Dia mengepalkan tangan.

Orang itu pun menoleh, dia terkekeh kecil. Tanpa diduga pria itu melayangkan pukulan ke rahang Alza. Dia menggerakan dengan napas memburu. Alza terhuyung ke belakang. Dira berlari untuk membantu.

"Tujuanmu ke sini untuk bertarung? Ok, aku jabanin!" seru Alza. Dia menggulung lengan baju sedikit. Mengusap brewok, bersiap menghantam tubuh lawan.

Tiba-tiba Dira memeluknya dari belakang dengan isakan. "Jangan ... aku mohon! Kalian jangan berantam!"

Alza terdiam sesaat. Entahlah, isakan tangis Dira seolah meredakan emaosinya. Dia memejamkan mata, kemudian mengembuskan napas panjang. Perlahan dilepaskan pelukan sang istri dari pinggang. Dia menegakkan badan Dira, mereka saling berhadapan. Wanita itu menggeleng, melarang.

"Biarin aja kenapa, sih? Dia udah nyakitin kamu! Masih aja dipertahankan. Dira, harusnya kamu sadar. Yang sayang kamu itu banyak, tapi kamu malah membuang hidupmu bersama pria brengsek ini!" Pria itu mendekat, menarik paksa Dira.

"Jangan sentuh isteriku!" bentak Alza. Dengan gesit dia kembali merebut Dira. Memposisikan Dira ke belakang tubuhnya.

"Wah, isteri? Kapan kau menganggapnya istri? Sedangkan kau selalu sibuk dengan selingkuhanmu!" Pria itu mendengus.

"Kurang ajar kau, Jovan! Kau pikir, kau sudah lebih baik diriku? Cih!" Alza meludah. "Gak usah sok suci!"

Jovan tergelak," Aku emang gak suci, Za. Tapi setidaknya aku tidak pernah berkhianat, apa lagi pada istri. Kan, aku belum nikah."

"Pergi, Jovan! Pergi!" Dira berseru lantang, mengusir Jovan.

Jovan terdiam, tawanya hilang tak berjejak saat Dira memanggil nama tanpa embel-embel abang. Mungkin karena sudah terbiasa, jadi terdengar aneh baginya. "Jovan? Bukan lagi Bang Jovan?" Pria itu mencoba mendekat. Dira semakin beringsut di belakang Alza.

Bugh!

Satu pukulan tepat di rahang Jovan. Di terjengkang ke belakang. Tak membutuhkan waktu lama, dia kembali tegak. Darah mengalir dari sudut bibir, tetapi dia malah tertawa. Suasana kompleks sudah sepi, wajar saja sudah pukul 23.00. Jika mereka bersumpah darah pun, mungkin hanya Dira yang jadi saksi.

Benar saja, Jovan tak tinggal diam. Dia membalas pukulan demi pukulan. Tendangan keras dan semua jurus mereka keluarkan. Alza sempat kewalahan saat Jovan menghantam dadanya.

Dira panik, dia berlari ke sana ke mari untuk mencari bantuan. Namun, tak seorang pun ditemukan. Dira tak bisa melihat keduanya tetap seperti itu. Dia harus melakukan sesuatu.

"Lepaskan Dira atau kau akan mati!" ancam Jovan. Dia sudah berada di atas Alza, duduk di dadanya.

"Aku nggak akan pernah melepaskannya!" Alza berseru sembari tertawa. Darah Jovan mendidih, dia menginjak kepala Alza. Dia menggeram, berusaha sekuat tenaga menekankan lebih dalam sepatu sport yang dikenakan.

Dira tidak kuat melihat pemandangan itu. Dengan tangis yang kian deras, dia berlari menghampiri. Mendorong kaki Jovan dengan kuat hingga membuat pria itu terjengkang.

"Mas Alza!" Dira berteriak, menepuk-nepuk pipi sang suami.

Alza menatap wajah Dira nanar, kemudian tersenyum kecil. "Aku nggak apa-apa, gak usah cemas." Setelah berujar, Alza tak sadarkan diri. Dira berteriak memanggil nama Alza sembari mengguncang tubuhnya.

Tatapan Dira beralih ke pria yang berdiri di dekat mereka, dia bersikap seolah bukan dia penyebabnya. Dira bangkit, membuka sepatu pansus yang dikenakan. Dia menyerang Jovan tanpa henti hingga kepala pria itu benjol-benjol. Dira tidak peduli, dia marah dan kecewa. Hatinya sakit melihat keadaan Alza kini. Menahan rasa sakit saat sang suami bermesraan dengan wanita lain dia masih kuat, tetapi melihat Alza terkapar membuat dia seolah tak bernyawa. Wanita itu bisa terima dirinya dikhianati, tetapi tidak bisa melihat luka sang suami. Begitulah cinta Dira.

***

Haiu haiu ... Cinta Dira begitu rumit elah wkwk

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang