9. Puti

166 21 0
                                    

"Ammah jadi pulang hari ini?" Dira bertanya sambil menghidangkan sarapan bubur kacang hijau kesukaan Nurul.

"Iya, ammah udah kangen sama pondok," balas Nurul seraya menyendokkan bubur ke mulutnya.

Dira terkekeh kecil. Wajar saja menurutnya Nurul begitu. Biar bagaimanapun pasti lebih betah di tempat sendiri daripada tempat orang. Dia saja kadang rindu ke pondok, tapi dia juga sadar kini bukan lagi gadis. Dia sudah punya keluarga sendiri.

"Suami kamu mana? Belum bangun, ya?"

Dira menghentikan kunyahan. "Astagfirullah, aku lupa!" Dia bangkit dan bergegas ke kamar.

Di sana Alza masih bergeming dengan selimut. Mereka memang tidak tidur bersama tadi malam. Lantaran Nurul meminta Dira menemaninya. Dira duduk di pinggir kasur dan mulai mengguncang tubuh Alza.

"Mas, bangun! Udah siang," ucap Dira lembut.

Alza melenguh, menarik selimut hingga menutupi kepala. Dira berdecak kesal. Kalau hari libur, susah sekali membangunkan pria itu. Namun, kalau kerja dia selalu bangun sendiri. Aneh!

"Mas, ammah mau pulang, loh. Kita harus antar dia ke pondok." Lagi-lagi Dira mengguncang tubuh Alza. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

"Ha!?" Alza spontan berteriak dan membuka selimut. Dia duduk. "Beneran ammah pulang hari ini?"

"Iya," balas Dira singkat.

"Yes!" seru Alza sembari mengangkat kedua tangan.

"Yes?" Dira mengerutkan dahi.

"Lupakan! Oh, ya kamu masak biasa, kan?"

Dira menggeleng. "Aku masak bubur kacang hijau, kesukaan ammah." Dia bangkit hendak ke luar.

"What? Terus aku makan apa?" Alza memasang wajah merengut.

Dira berbalik, menatap suaminya sekilas. "Ya, makan apa yang ada aja." Lalu dia ke luar.

Alza mengusap wajah frustrasi. Dia alergi kacang hijau, bagaimana mungkin dia makan? Masa iya, pesan gojek?

"Mas! Cepatan, kita mau ke pondok lagi, loh!" Suara Dira setengah berteriak. Alza mendengus, dia bangkit dengan malas.

Di meja makan Nurul sudah selesai sarapan. Dira menyodorkan sepiring bubur. Namun, dengan cepat Alza menggeleng. Dira menatapnya heran.

"Kenapa?"

"Aku alergi kacang hijau," sahut Alza datar. Dira mengangguk pelan, merasa bersalah.

"Aku masakin nasi goreng, ya?"

"Gak usah." Alza bangkit, mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

"Udah biar aja, nanti dia makan di pondok aja." Nurul memberi saran. Dira hanya mengangguk.

***

"Kak Dira!"

Dira merentangkan tangan, menyambut sang adik yang berlari menghampiri. Mereka berpelukan, melepas kerinduan. Padahal baru seminggu tak bertemu.

"Kak, aku kangen banget," tutur Adnan.

Dira menyeka kedua sudut mata. "Kakak juga."

"Meong!"

Dira sontak melepas pelukan. Pandangannya langsung tertuju pada kucing putih yang juga menatapnya. Seolah kucing itu juga mengungkapkan bahwa dia juga rindu pada Dira.

"Puti sayang ... aku juga kangen kamu, tau. Beneran, gak bohong." Dira menggendong Puti.

"Ya Allah, aku selalu kalah saing dari kucing!" Adnan menggeleng, dia pun menghampiri Alza yang menatap mereka.

"Abang ipar," sapa Adnan ramah. Dia menyalam tangan Alza dengan takzim. Sedangkan Alza hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

"Masuk, yuk, Bang!"

Mereka pun masuk. Meninggalkan Dira yang masih sibuk menggendong Puti. Adnan mengajak Alza langsung ke meja makan. Nurul yang memberitahukan kalau suami kakaknya itu belum sarapan.

Di sana sudah terhidang nasi goreng dan ikan teri. Alza menelan ludah dengan cepat. Sungguh menggiurkan. Tanpa membuang waktu langsung saja diambil satu piring lalu disantap. Wah, dia sangat menikmati makanan itu. Apalagi perut yang keroncongan semakin meningkatkan selera makannya.

"Laper banget, ya, Bang?"

Alza tersentak. Dia bahkan tak ingat ada Adnan duduk di sampingnya. Dia tersenyum, lalu kembali mengunyah. "Iya, kakak kamu itu gak adil ta-u. Ma-sa dia cuma makin makan kesukaan ammah, sedangkan aku ale-rgi mak-anan itu. Te-ga sekali bukan? Ke-sel jadinya." Alza berbicara sambil mengunyah hingga suaranya tak terlalu jelas.

Adnan terkekeh,"Iya, iya, kunyah dulu, Bang. Nanti keselek."

Benar saja, belum tiga detik Adnan mengatakan itu Alza sudah terbatuk-batuk. Dia mengibaskan tangan,meminta bantuan. Segelas air putih tiba-tiba disodorkan. Tanpa melihat siapa yang memberi langsung saja diteguk habis.

"Maka--" Ucapan Alza terpotong saat melihat Dira bersedekap.

"Kamu ternyata," ucap Alza kemudian bangkit dari duduknya. Dia melewati Dira begitu saja. Wanita itu tercengang, mentang-mentang dia istrinya tidak perlu mengucap terima kasih begitu? Sedangkan Adnan menggeleng melihat kelakuan pasangan suami-istri itu.

Hari mulai petang, mereka bersiap pulang. Dira memeluk Nurul lama, dia terisak. Seperti akan berpisah selamanya saja. Dia juga memeluk Adnan. Menasehati sang adik agar belajar dengan baik biar bisa masuk perguruan yang diimpikan.

Alza tidak banyak bicara, setelah menyalam Nurul dia pun berjabat tangan dengan Adnan. Melihat keharmonisan keluarga itu membuatnya teringat akan sang papa. Sudah seminggu ini tak ada kabar. Apa dia baik-baik saja? Ah, sejak kapan Alza peduli?

"Kenapa, Mas?"

Alza tersentak saat Dira menyentuh lengannya. Dia hanya menggeleng lalu mulai melajukan mobil. "Gak ada."

Beberapa menit berlalu, tak ada percakapan di antara mereka. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara Puti membuat kericuhan.

"Meong ... meong!"

Alza menghentikan mobil secara mendadak. Untung saja mereka mengenakan seat belt dengan baik. Jika tidak pasti kepala mereka sudah terbentur ke depan.

"Ke-kenapa ada kucing?" Alza melotot tajam.

"Kasian, Mas. Di sana nggak ada aku. Dia pasti kesepian," seloroh Dira. Dia mengambil Puti dari kursi belakang. Mengelus kepalanya dengan kasih sayang.

"Ng-nggak! Ha-ha-cim!" Alza bersin-bersin. Dia paling tidak suka pada hewan itu. Kalau berada di dekatnya sesuka bersin-bersin.

"Mas, alergi bulu kucing, ya?" Dira mengembalikan Puti ke belakang.

"Tinggalkan di sini aja. Aku gak su-suka! Ha-hacim!" Lagi-lagi Alza bersin.

"Jangan, dong! Kasian kalau ditinggal sendirian. Nanti kalo ada kucing jahat gimana?" Dira mulai memelas.

"Sekarang gini aja, kucingmu yang ditinggal atau kau yang kutinggalkan!" bentak Alza. Dia sepertinya benar-benar marah. Giginya saja bergemeletuk dan brewoknya bergetar.

Dira menunduk, menahan cairan yang akan ke luar. "Jadi, aku hanya kucing bagimu. Aku tau kamu gak sayang sama aku, tapi apa kamu tega ninggalin aku sendirian di jalan sepi begini?" Dira mulai terisak. Dia tidak bisa meninggalkan Puti di tengah jalan sepi seperti itu. Namun, lebih tak mungkin lagi jika dia ikut ditinggal di situ.

"Malah mewek, itu ancaman. Apa susahnya ninggalin kucing, sih. Dasar cengeng! Lagian, ya, kamu mau kucingmu setiap hari kubotaki?" Alza menghela napas kasar. Dia melirik ke belakang. Puti duduk tentang sembari menjilati bulu kakinya. Alza bergidik ngeri. Sumpah demi apa pun dia tak sanggup hidup berdampingan dengan kucing, tetapi Dira malah sebaliknya. Apa harus dibawa ke rumah?

"Iya, udah. Kucingmu kita bawa ke rumah. Tapi ...." Alza menggantungkan kalimat, dia menunjuk Puti. "Dia harus jauh-jauh dariku. Kalau perlu dia tidur di luar. Maksudku buat kandangnya di luar."

Dira sontak mengangkat wajah. Senyumnya merekah. "Serius?"

***

Tbc

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang