Dira menutup mulut dengan sebelah tangan, menahan senyum. "Biasa aja, sih." Dia berjalan mengambil mukenah yang ada di atas kursi dan mengenakannya. Sedangkan Alza mengerutkan dahi, berjalan mendekati cermin yang terletak di dekat lemari. Kamar mereka terbilang cukup luas, berukuran 3 m x 4 m. Satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah lemari tempat pakaian, sebuah meja berlaci dan satu kursi plastik membuat masih banyak ruang kosong.
"Kurangnya di mana?" Alza berucap pelan sembari memperhatikan penampilan.
"Jadi salat nggak? Udah jam enam ini." Suara Dira sontak membuatnya menoleh. Kebingungan belum terjawab. Sudahlah, nanti saja. Dia pun menghampiri sang istri. Berdiri di depan dan mulai melaksanakan salat Subuh.
Alza bukanlah pria yang buta akan agama. Waktu berumur dua belas atahun dia masuk pesantren. Ya, dulu saat mamanya masih ada. Namun, setelah kepergian sang mama dia berubah. Ucapan papa hanya dianggap seperti angin lalu. Sekarang, dia ingin memulai semua bersama dengan Dira.
"Terima kasih telah mengunjungi dalam hidupku," kata Alza saat mereka sudah selesai salat. Dia mengulurkan tangan pada Dira.
Dira tersenyum, bahagia pagi ini. Semoga saja untuk selamanya. Dengan perlahan Dira pun mengamit tangan sang suami, lalu menciumnya. "Terima kasih juga, Mas."
"Makasih buat apa?" Alza menaikkan sebelah alis.
Dira mendehem, "Terima kasih sudah mau jadi imam salatku pagi ini, dan ...." Dia menggantungkan kalimatnya hingga membuat Alza menatap dengan serius.
"Terima kasih telah memilihku." Dia buru-buru bangkit, hendak melepas mukenah dan pergi ke dapur.
"Hei, mau ke mana?"
Sontak Dira kembali terduduk saat tangannya ditarik. Bukan di permadani, tapi di pangkuan Alza. Mata mereka terkunci satu sama lain. Tangan kiri Alza menahan punggung Dira, sedangkan tangan kanan Alza perlahan terangkat, membelai pipi Dira dengan senyum yang merekah.
"Sudah seharusnya aku melakukan itu. Kamu adalah isteriku kemarin, hari ini, dan selamanya."
Penuturan Alza membuat jantung Dira berdegub hebat. Dia menelan saliva dengan paksa. Pipinya memanas, pasti merah. Meski sudah beberapa kali bertatapan dengannya, tapi tetap saja Dira merasa aneh. Ah, mungkin cinta yang membuat semua menjadi begitu.
"Mas ... aku mau masak," ucap Dira pelan.
"Eh!" Sontak pria itu melepaskan tangan kirinya. Alhasil tubuh Dira terjatuh ke belakang.
"Auu."
"Heh, kok jatuh, sih?" Alza mencoba membantu dengan mengulurkan tangan. Namun, Dira sudah kesal langsung menepis kasar. Dia bangkit sendiri, menepuk-nepuk mukenahnya.
Tanpa kata dia melepas mukenah,meletakkan kembali ke atas kursi. Dia melenggang keluar tanpa melihat sang suami, mulutnya tertutup rapat.
"Sayang, maaf." Saat di ambang pintu masih bisa didengar kata maaf Alza, tetapi tak digubris. Biarkan saja, siapa suruh buat dia jatuh. Sebenarnya tak sakit, tetapi memalukan.
***
Sarapan sudah terhidang, seperti biasa nasi goreng kesukaan Alza. Dira berniat memanggil sang suami. Dia terlonjak kaget saat Alza berdiri di belakangnya.
"Kamu mandi, gih. Terus dandan yang cantik. Kita akan ke kantor," ucapnya kemudian berlalu ke kamar mandi.
"Ke-ke kantor?"
"Iya, aku mau kenalin kamu ke seluruh karyawan di kantor." Suara Alza menggema di kamar mandi.
Dira terbelalak dengan mulut menganga. Dia memang sudah pernah ke kantor keluarga Mahendra, tetapi tidak banyak yang mengenalnya. Sekarang Alza ingin mengenalkannya pada seluruh orang di sana. Duh, grogi pastinya nanti.
"Buru, udah jam berapa ini? Entar telat."
"Astagfirullah!" Dira memegang dada, terkejut dengan kehadiran Alza. Pria itu sudah selesai mandi, dia hanya berbalut handuk kuning.
"Sana!" Alza menggerakkan dagu, menunjuk kamar mandi.
"Iya, iya," balas Dira. Dia masuk kamar, mengambil baju.
Sepuluh menit berlalu, Alza sudah selesai siap-siap. Dia duduk santai di kursi ruang makan. Sesekali dia melirik pintu kamar mandi, istrinya lama sekali.
"Dira! Cepat dikit!" Alza berteriak sembari menyendokkan nasi goreng ke piring.
"Ini udah kelar." Suara Dira membuat Alza menoleh. Dia terdiam melihat penampilan istrinya. Menakjubkan! Wanita itu mengenakan gamis biru muda berbahan kain balotelli. Kain yang mempunyai tekstur mengkilat dan garis-garis. Dira suka kain balotelli karena tidak panas apabila dipakai. Sedangkan, serat kain balotelli memiliki tingkat kerapatan yang lumayan. Kain balotelli bersifat jatuh dan lemas hingga meskipun tebal, terbilang cukup ringan saat dipakai. Tak hanya itu, kain balotelli sifatnya tidak mudah kusut.
"Kenapa? Ada yang salah?" Dira menatap ragu pada pakaiannya.
Alza menggeleng. "Nggak. Lama banget!" Dia berbalik, dan mulai menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. Tanpa sepengetahuan Dira, Alza tersenyum kecil. Tidak ada yang salah, yang ada sangat cantik. Dia sudah tak sabar menunjukkan pada orang-orang, betapa beruntungnya dia menikahi wanita itu.
Jatuh cinta memang tak bisa memilih. Dia bisa hadir ke siapa saja, dan kapan saja.
***
Apa yang dipikirkan Dira benar-benar kenyataan. Jantung berdebar tak karuan, tubuhnya juga gemetaran saat Alza mulai memperkenalkan dia sebagai istrinya, GM perusahaan keluarga Mahendra.
"Wah, cantik banget. Soleha lagi."
"Iya, bener. Gak kayak pacarnya dulu, seksi dan gak punya tata krama."
"Serasi banget!"
"Cantik!"
Begitulah ucapan-ucapan karyawan setelah selesai perkenalan. Dira sempat melongo mendengar beberapa gunjingan yang terlontar untuk Claudia. Apa dulu semua karyawan kenal sama wanita itu? Dira menggigit bibir, entahlah rasanya ada kekesalan. Claudia masih jadi pacar sudah dikenalkan, sedangkan dia sudah menjadi istri sebulan baru diperlihatkan.
"Ayo, masuk!" Alza mengamit kemudian menggenggam tangannya.
"Eh!" Dira tersentak, menarik tangannya hingga terlepas."Em, iya."
Alza tersenyum, kembali mengamit tangan sang istri. Dikecup dengan lembut. "Jangan dilepas, banyak serangga di sini."
Dia tersipu, menunduk malu. Masih ada beberapa orang yang menatap mereka. Alza mengedarkan pandangan ke segala arah, lalu menepuk dahi pelan.
"Ayo, ah."
Mereka berjalan beriringan menuju ruangan Alza. Bibir Dira tak henti-henti menyunggingkan senyum dan berucap dalam hati, "Untuk pertama kalinya, aku tak perlu mencoba untuk bahagia karena saat bersamamu hal itu terjadi begitu saja."
Dari balik pintu keluar seorang wanita yang mengenakan dress sepaha. Dia tersenyum miring dengan tangan bersidekap. Dia mengibaskan rambut, semua terjadi di depan matanya. "Kita lihat saja sampai di mana kisah indah kalian. Ups!" Dia menutup mulut dengan jari telunjuk. "Bukan indah, tapi kisah yang malang. Aku Claudia tidak akan pernah diam selama apa yang kuinginkan belum tercapai."
Wanita itu menjentikkan jari, berseru girang, "Aha! Semua bisa dimulai dari hal yang kecil."
Claudia merogoh kantong tas selempangnya, mengeluarkan kunci yang dulu pernah diambil dari ruangan Alza. Berjalan mengendap-endap ke sebuah ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah tangan menepuk bahunya.
"Gawat ... aku ketahuan." Dia menutup mata. Perlahan berbalik untuk melihat siapa yang memergokinya.
"Mau ngapain?"
Claudia membuka mata pelan-pelan, kemudian melotot. "Kamu!"
***
Hai, aku kembali. Tebak siapa itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...