22. Serangan Claudia

134 14 2
                                    

Malam ini begitu menyebalkan, bagaimana tidak jika suami pergi meninggalkannya sendiri. Apa lagi hujan deras yang tiba-tiba turun dibarengi dengan petir bersahut-sahutan. Dia takut hanya bisa memeluk lutut di belakang sofa. Dari kecil, Dira memang begitu, takut petir.

Suara pintu diketuk membuatnya tersentak. Alza! Satu nama y abg terbesit. Tanpa membuang waktu, dia berlari membukakan pintu. Namun, dia terperanjat saat yang datang bukan suaminya.

"Hai." Claudia melambaikan tangan. Dia melepas jas hujan yang dikenakan.

Dira berdecak kesal. "Heh, Colodia, ngapain ke sini?"

"Mau ngasih kamu pelajaran," balas Claudia santai.

"Pelajaran a-"

Plak!

Satu tamparan di pipi kanan Dira. Wanita itu meringis, menatap Claudia dengan garang. "Apa-"

Lagi-lagi ucapan Dira dihentikan dengan tamparan di pipi kiri. Perih, itu yang dirasakannya.

Claudia tersenyum sini. Tangannya beralih ke jilbab bulat yang dikenakan Dira. Menariknya hingga terjuntai ke lantai. Sekarang wanita yang biasa tertutup itu sudah tak mengenakan jilbab.

Claudia masih tak bersuara, hanya tersenyum. Dia kembali bergerak, menarik rambut panjang Dira yang terikat di belakang. Tak hanya itu, Claudia juga memukul tubuh Dira dengan kayu sapu ijuk. Teriakan histeris, tangisan tak dihiraukan.

"Kau harus mati!" Claudia kembali menarik rambut Dira dengan kuat hingga banyak yang berjatuhan di lantai. Menampari wajahnya, hingga babak belur.

"Ayo, ikut!" Claudia menyeretnya ke kamar mandi, menyiramkan air dingin. Dira basah kuyup, tubuhnya menggigil. Lain lagi wajah dan rambut yang sudah hancur berantakan.

"A-apa sa-salahku?" Dengan tenaga yang tersisa, Dira mencoba bicara. Namun, Claudia malah tertawa, bahagia melihat keadaan Dira.

"Kau masih bertanya, apa salahmu?" Claudia menyunggingkan senyum sinis. "Karena kau itu wanita sialan! Perebut kekasih orang!" teriaknya.

Sakit di badan, dan dinginnya air yang mengguyur membuatnya tak kuat lagi, tubuh Dira tergeletak di lantai kamar mandi.

"Yah, segitu aja udah pingsan." Claudia mendengus. Niat untuk bermain-main sirna sudah. Bagaimana dia bisa bermain, sedangkan mainannya sudah rusak. Ya, dia menganggap Dira adalah permainan.

***

Di kantor, Alza mulai memeriksa semua berkas. Setelah mendapat kabar kalau ada yang hilang dari ruangan rahasia membuatnya buru-buru pergi. Dia bahkan tak sempat pamitan pada istrinya.

"Bagaimana, sudah ketemu?" tanya Alza pada seorang karyawan. Alza berdecak kesal saat mendapat balasan gelengan.

Alza membuka gorden kaca, hujan deras dan petir. Pikiran dan hatinya tak tenang. Dia merogoh kantong celana, tapi tak menemukan ponselnya. "Astagfirullah, ponselku ada di kamar."

"Pak, bisakah kita mencarinya besok lagi. Perasaan saya tak enak, Pak. Khawatir terjadi sesuatu pada istri saya, dia sedang hamil besar." Karyawan yang tadi menemani Alza menghadap, wajahnya pucat.

"Baiklah." Alza mengangguk, dia juga memutuskan untuk pulang saja.

Di perjalanan Alza mencoba menghubungi Dira. Namun, tak ada sahutan. Dia melirik jam tangannya, sudah jam sembilan. Mungkin Dira sudah tidur. Mencoba berpikiran porsi, tetapi hatinya tak bisa berbohong. Cemas.

"Sayang!" panggil Alza setelah sampai rumah. Dia bahkan belum memasukkan mobil ke garasi. Dahinya berkerut saat melihat keadaan ruang tamu yang berantakan. Ada banyak rambut berserakan.

"Dira!" Suara Alza bergetar. Dia membuka kamar, tak ada siapa-siapa. Dia panik.

"Dir-" Ucapan Alza terhenti kala mendengar desiran air di kamar mandi. Perlahan dia mendekat, dan mengetuk pintu. "Sayang, kamu di dalam?"

Tak ada sahutan! Alza sudah tak bisa tenang, dia mengusap wajah dengan kasar. Menarik napas panjang, dan mendobrak pintu. Pintu tak dikunci membuatnya terpelanting. Seketika dunia Alza terhenti saat melihat sang istri tergeletak pucat.

"Dira!" Pria itu merengkuh tubuh istrinya, menangis histeris. "Bangun! Siapa yang melakukan ini?"

Buru-buru dia mengangkat tubuh Dira. Berlari ke depan, meletakkan sang istri di kursi belakang. Alza melajukan mobil dengan sangat cepat, tak peduli ada apa di depannya. Yang penting dia bisa membawa Dira ke rumah sakit.

"Dira ...," lirih Alza saat Dira sudah masuk ruangan ICU. Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Tak habis pikir dengan kejadian ini. Siapa pelakunya? Di waktu yang bersamaan pula, ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan.

Dengan tangan bergetar, Alza mengeluarkan benda pipih itu dari kantong celananya. Claudia! Untuk apa dia menelepon? Apa jangan-jangan dia pelakunya? Buru-buru diterima panggilan itu.

"Halo. Katakan ada apa?"

"Malam, Sayang. Gimana keadaan istri kamu?" Suara di seberang terdengar sinis.

"Ha? Apa kamu yang melakukan semua ini?"

Claudia tergelak. "Wow! Kamu langsung tau? Pintar memang pacarku."

Alza bangkit dari duduknya. "Kurang ajar! Kalau sampai terjadi apa-apa pada Dira, kau tak akan selamat!" Suara Alza melengking, dia melemparkan ponselnya ke lantai. Tak peduli dengan tatapan orang sekitar yang menganggapnya aneh.

Tidak bisa dibiarkan! Alza bergegas menuju mobil. Dia akan memberi pelajaran pada wanita yang telah menyakiti istrinya.

Malam semakin larut, Alza mempercepat laju mobilnya. Dia pun sampai di depan rumah bercat biru muda. Ya, itu rumah Claudia. Dengan geram Alza mengamit sebuah kerikil. Dilemparkan ke kaca depan rumah itu hingga menimbulkan bunyi pecahan. Itu cara simple untuk membangunkan si pemilik rumah. Benar saja, tak lama kemudian seorang wanita berbaju tidur seksi keluar. Siapa lagi kalau bukan Claudia, karena hanya dia yang tinggal di sana.

"Wah, pecah. Sayang, kamu gak bisa ngetuk lebih lembutan gitu?" Claudia mendekati Alza, mengamit tangan pria itu.

"Kenapa? Kenapa kamu lakuin itu? Claudia yang kukenal gak seperti ini!" Alza mengempaskan tangan Claudia, sorot matanya tajam.

"Ya, itu Claudia dulu. Sekarang sudah beda! Beda, sejak kamu mencintai wanita sialan itu. Kamu melupakanku, dan mengingkari semua janjimu." Claudia tersenyum kecut. "Kamu berubah."

"Claudia ... aku minta maaf. Aku nggak bisa kembali padamu, karena tidak ada cinta untukmu. Aku baru mengerti cinta setelah aku mengenal Dira. Dia adalah cintaku ... jodohku." Suara Alza melemah. Dia mencoba meredam emosi.

Claudia tertawa, menunjuk wajah Alza. "Cinta? Kamu pikir aku nggak cinta sama kamu? Kalian pikir, bisa bahagia dengan menyakitiku? Jangan mimpi!"

"Claudia ... aku mohon, jangan ganggu Dira lagi. Aku 'kan berikan apa pun yang kamu inginkan." Alza merendah. Dia akan melakukan apa pun, asal Claudia tidak menyakiti istrinya.

Tawa Claudia terhenti, dia menatap Alza dengan serius. "Apa pun?"

Alza mengangguk ragu. Entah apa yang akan diminta wanita itu. Dia siap melakukan atau memberikan segalanya, asalkan Dira tetap aman, dan bisa bahagia. Bukankah cinta itu pengorbanan?
Ya, cinta membutuhkan pengorbanan. Karena dalam hubungan asmara itu tidak sendirian. Suami istri adalah sebuah kesatuan di mana harus menghadapi segalanya bersama-sama. Tidak boleh egois dengan mementingkan diri masing-masing. Terkadang pengorbanan harus dilakukan demi kebahagiaan pasangan. Ya, Alza hanya ingin Dira baik-baik saja.

Claudia tersenyum lebar, mengitari tubuh Alza. Kesempatan emas baginya, untuk mendapatkan apa yang diincar selama ini. "Ceraikan Dira!"

***

Hayoloh, dilema Alza. Apa yang akan dilakukan? Masa iya ceraiin Dira? Huwaa, nggak setubuh!

Eh, setuju maksudnya bisa.

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang