6. Alza cemburu?

217 24 0
                                    

"Eh, Mas, silakan duduk," sapa Dira sopan.

"Makasih. Oh ya, namaku Jovan. Namamu siapa?" Pria itu mengulurkan tangan.

Dira menoleh ke kanan - kiri, tidak ada yang memperhatikan. Dia menyatukan kedua tangan di depan dada. "Maaf, Mas. Kita bukan muhrim, jadi tidak boleh berjabat tangan. Namaku Dira, istri mas Alza," terangnya.

Jovan mengangguk dan menarik tangan kembali. Dia kemudian duduk di kursi yang telah disiapkan. Dia memperhatikan Dira dengan seksama, sungguh wanita idamannya. Sayang sekali wanita itu sudah menikah. Andai dulu dia yang terlebih dahulu bertemu Dira mungkin cerita mereka berbeda lagi.

Dira bermaksud akan pergi, tapi sebuah tangan menariknya hingga terduduk di kursi sebelah Jovan. Dira meronta - mencoba bangkit. Namun, dengan sekuat tenaga Jovan menahan.

"Mas, nanti timbul fitnah yang nggak-nggak!" tegas Dira.

"Ok ok, akan kulepas, tapi jangan pergi! Duduklah sebentar, kita bercerita." Jovan menatap penuh harap.

Dira pun melunak, dia mengalah duduk di kursi agak jauh. Namun, Jovan masih saja mendekat. Dira akhirnya memilih diam.

"Umur kamu berapa?"

"Dua puluh tahun," balas Dira singkat. Sesungguhnya dia tak nyaman sekarang.

"Masih muda. Gimana kalau kamu panggil aku Abang aja, trus aku panggil kamu adek. Gimana, setuju nggak?" Jovan memberikan saran. Dia menaik - turunkan kedua alis.

Bagus juga. Tidak sia - sia dia kuliah empat tahun di Harvard. Apa hubungannya coba? Entahlah, padahal sudah lama dia menjomlo. Ternyata jiwa menggodanya masih menempel saja. Sama istri orang lagi.

"Ya, ok. Jadi, kita kek abang-adek, ya? Alhamdulillah, aku jadi punya abang!" seru Dira kegirangan. Dia sudah lama ingin memiliki abang angkat, tapi belum ada yang pas. Kalo ini entah mengapa dia ingin saja Jovan jadi abang angkatnya.

Jovan tersenyum simpul. Sebenarnya maksud dia tadi bukan abang angkat, tapi biarlah Dira senang padanya saja sudah syukur.

"Permisi!" Seorang pria tiba - tiba hadir di antara mereka. "Sayang, tolong ambilkan aku minum, dong. Haus, nih."

Dira mengangguk dan bangkit. Lalu Alza pun duduk di kursi yang tadi ditempati istrinya. Jovan mengalihkan pandangan sembari menggeser tempat duduk - menjauh dari Alza.

"Jangan ganggu istri gue!" tegas Alza.

Jovan menoleh. "Aku cuma ngajak ngobrol. Nggak boleh?" Dia menaikan sebelah alis.

Alza tersenyum sinis. Dia bisa menangkap aura wajah Jovan. Dia tahu sebenarnya temannya itu tertarik pada Dira. Harusnya dia senang, itu bisa jadi alasan untuk berpisah, tapi entah mengapa dia tak suka melihat Dira dekat dengan pria lain.

"Tentu saja tidak boleh! Karena-"

"Mas, ini minumnya." Dira menyodorkan segelas sirup pada Alza. Pria itu menerima dengan senyum merekah, mengejek Jovan.

"Kok Alza doang, aku mana?" Jovan tak mau kalah.

"Sebentar, Bang. Biar Dira ambil lagi." Dira berlalu meninggalkan mereka berdua. Alza yang tadi hendak meneguk minum jadi terhenti. Tatapan tajam diarahkan pada Jovan, sedangkan yang dilihat hanya nyengir.

"Kenapa? Seram amat kek kompor meledak," kelakar Jovan sembari terkekeh.

"Kau!" Alza meremas gelasnya, dia hampir saja mengempaskan. Namun, suara Dira menghentikannya.

"Mau ngapain, Mas?" Dira menyodorkan segelas sirup pada Jovan. Pria itu tersenyum menang kemudian meraih gelas yang disodorkan Dira.

"Makasih, Dek," ucap Jovan tersenyum.

"Sama-sama, Bang," sahut Dira membalas senyum.

Alza bangkit, meletakkan gelas yang sudah kosong dengan asal di meja. Dia pergi menuju belakang, mungkin kamar mandi. Dira mengerutkan dahi, bingung melihat tingkah Alza. Namun, Jovan mengajak mengobrol membuat dia tidak terlalu mengingat Alza. Mereka bercerita tentang makanan kesukaan, hobby dan sebagiannya. Sesekali mereka tertawa bahagia. Ada banyak kesamaan di antara mereka.

***

Alza mengusap wajah frustrasi. Dia membasuh muka dengan kasar. Kesal sekali dengan kejadian yang baru saja terjadi. Kenapa lagi dia bertingkah aneh seperti tadi.

"Kurang ajar!" Dia memukul wastafel dengan kuat, tapi kemudian meringis. Tangannya memerah.

"Kenapa, sih?" Dia menjambak rambutnya yang agak panjang. "Masa iya, aku cemburu sama wanita itu? Kan, gak lucu! Tapi ... kenapa aku gak suka liat mereka bersama. Apa lagi tatapan Jovan itu .... " Alza mengepalkan tangan. "Jangan - jangan dia suka beneran pada istriku!"

Heh, Alza menutup mulut sendiri. Dia baru saja menyakiti Dira istrinya? Hah? Apa semudah itu rasanya timbul? Tidak! Tidak mungkin! Dia menggeleng, di hatinya masih Claudia dan tetap Claudia, tapi kenapa sekarang?

"Mas ... teman - teman kamu udah mau pulang, loh." Alza tersentak. Dia tahu itu suara Dira. Dia bercermin lagi, merapikan penampilan.
Alza pun ke luar dengan wajah datar. Sekilas dia menatap Dira yang menatapnya ramah.

Alza berlalu begitu saja, menghampiri teman - teman yang sudah kumpul di teras. Mereka menggerutu kesal saat Alza datang. Sudah tengah malam, tetapi kepulangan mereka tertunda karena Alza yang tak terlihat.

"Dari mana aja, sih. Udah lumutan, nih nungguin kamu. Istri ku sudah lelah," ucap Leon dengan kesal. Mukanya terlihat kusut, di sampingnya sang istri hanya diam.

"Maaf, tadi aku sakit perut," kata Alza beralasan. Dia memasang wajah memelas.

"Dah, lah! Pulang, yuk," ajak Lisa. Mereka pun berpamitan.

"Abang pulang, ya, Dek," pamit Jovan pada Dira. Dira tersenyum hangat.

"Kalau pulang, ya pulang aja! Ngapain pamit ke biniku!" Alza menarik Dira ke belakangnya. Teman - teman yang melihat pun meledakkan tawa. Fiks, Alza cemburu!

"Aku pamitan sama adek akulah, gak seneng?" Jovan tetap mencoba mendekati Dira. Namun, Alza mendorongnya hingga hampir terjengkang.

"Pergilah! Bikin kesal aja!" seru Alza menarik tangan Dira masuk. Dia menutup pintu dengan keras. Masih terdengar teriakan Jovan dari luar yang meneriakkan nama Dira.

"Dek Dira, abang ganteng pulang dulu. Babay!"

Dira tersenyum mendengar ucapan Jovan itu. Namun, di sampingnya Alza menatap garang seakan bersiap menerkam. Perlahan senyum itu memudar, bersamaan dengan Alza yang pergi ke kamar.

"Mas ... itu cuma --"

"Cuma apa? Cuma panggilan sayang atau cuma rasa terpendam!?" Alza menyerang tanpa menoleh. Dia mengeluarkan satu bantal dan selimut tipis. Ditaruhnya di atas sofa.

"Nih, kamu beresin semua ruangan ini. Baru kamu tidur di sini. Aku lelah, ngantuk juga!" Alza menutup pintu kamar. Sedangkan Dira menganga, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Berantakan! Dia juga lelah, kapan dia bisa istirahat kalau dia harus membersihkan tempat itu dulu.

Dira mendekat ke pintu. Mengutuknya secara perlahan. "Mas ... aku juga ngantuk. Masa aku harus bereskan tempat ini dulu. Nanti aku bisa pingsan, Mas," ucap Dira dengan nada memelas.

"Bodo amat!" Terdengar suara pekikan Alza dari dalam. Dira memayunkan bibir. Dia melirik pakaiannya juga belum terganti. Bagaimana ini? Dia berdecak, matanya berkaca. Bersiap akan mengeluarkan cairan. Namun, derit pintu membuatnya langsung menyeka kedua sudut mata.

"Masuk! Bereskannya besok aja!"

***

Ciee mulai - mulai ada apa? Wkwk

Tbc ...

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang