15. I Love You

159 18 2
                                    

Sudah sejam lebih Alza menunggu, tetapi Dira tak kunjung kembali. Dia khawatir. Ke mana wanita itu pergi? Beberapa kali Alza turun dari brankar, mondar-mandir. Namun, bukannya tenang malah semakin cemas. Hingga derit pintu membuatnya terlonjak dan spontan menyebut nama Dira.

"Dira?" Dua wanita paruh baya menatapnya bingung. Alza menggigit bibir, takut buka mulut.

"Kenapa dengan Dira? Owalah ... kamu dah kangen aja. Baru juga ditinggal," kata Nurul dengan senyum tertahan. Sedangkan Bi Ining terkikik geli.

"Em ... maksud ammah apa?" Alza duduk di atas tempat tidur karena kakinya mulai pegal berdiri sejak tadi.

"Dira tadi dah bilang ke ammah kalo dia pulang duluan. Mau surprise katanya." Nurul menatap Alza dengan senyum manis. "Makasih ya Nak Za, kamu udah sayang sama Dira."

Napas Alza tercekat. Sayang? Dia memaksakan bibir tersenyum. "Iya, sama-sama, Mah."

Alza menunduk, menatap lantai keramik putih. Dia mengenang semua perlakuannya pada Dira. Tamparan, bentakan? Itu yang selama ini diberikan, tetapi wanita itu selalu terlihat gembira di depan keluarga mereka. Kenapa?

"Ada masalah?" Suara Nurul menginterupsi. Alza mengangkat wajah tinggi, ke langit-langit. Dia melebarkan kelopak mata agar bisa membentuk cairan bening.

"Bi Ining, kamu beli buah-buahan dulu, gih!" titah Nurul. Dia bangkit, mengambil uang dia ratus ribuan dari tas lalu menyerahkan pada Bi Ining.

"Baik, Bu." Bi Ining pun ke luar.

Nurul menghela napas, kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Alza. Pria itu masih menatap ke atas.

"Cerita sama ammah, ada masalah apa? Ammah tau, kalian sedang tak baik-baik saja." Nurul menatap pintu kamar dengan tatapan kosong. Tadi saat dia pergi ke rumah mereka, dia memergoki Dira menangis. Nurul tau, Dira tidak akan bercerita kalau itu masalah perasaan. Dia wanita yang tertutup masalah itu. Dira hanya punya sedikit teman, satu sahabat. Ke mana pun pergi, pasti bersama sahabatnya itu. Sekarang? Dira sendiri.

Nurul sengaja membatalkan niat bertemu Dira. Dia memilih menemui Alza, karena Nurul yakin semua jawaban ada pada pria itu. "Kamu nggak mau cerita sama ammah? Ya, udah gak apa." Nurul turun dari brankar.

"Ammah ... aku minta maaf." Ucapan Alza sontak membuat Nurul menoleh.

"Aku belum bisa bahagiakan Dira. A-a-ku malah membuat dia terus menangis." Alza menunduk, air mata tak dapat dibendung. Sedangkan Nurul terdiam, menunggu lanjutan ungkapan Alza meski hatinya nanti sakit mendengar itu semua.

"Tapi, Mah." Alza menaikkan pandangan, menyeka cairan yang membasahi pipi. "Sekarang aku sadar ... kalau aku sayang banget sama Dira, cinta sama Dira." Dia menatap sang ammah.

Nurul tersenyum kecil, menepuk pundak Alza. "Ammah tau, tapi kamu juga harus tau hati wanita itu rapuh. Mungkin dia bisa memperlihatkan senyum setiap saat, tetapi hatinya? Kita tidak tau. Saran ammah, sebelum terlambat perbaiki semua!"

Alza mengangguk. "Pasti, Mah. Terima kasih."

Pintu terbuka, keduanya menoleh. Bi Ining muncul membawa kantong kresek hitam. Dia menyunggingkan senyum kecil. Alza menyeka sudut mata yang masih berair, menarik napas kemudian tersenyum lebar yang dibuat-buat.

***

Di rumah Dira tak henti-hentinya menangis. Meratapi nasib rumah tangga yang diyakini akan segera bubar. Dira cinta sama Alza, tetapi Alza? Dia malah memilih kekasih tak halalnya.

Ketukan pintu membuatnya tersentak. Dia bangkit dari lantai. Ya, dia menangis sembari memeluk lutut di lantai. Dira membuka pintu tanpa peduli itu siapa dan bagaimana penampilannya.

"Dek, kamu ... astagfirullah! Dira kamu kenapa!?" Jovan berteriak histeris saat melihat penampilan wanita itu.

"Gak kenapa, Bang. Oh ya, ada apa?" Dira bertanya dengan lemah.

"Gak usah bohong! Katakan, ada apa?" Jovan memegang kedua pundak Dira, menatap dalam mata sembab itu.

"Aku lelah," kata Dira, "pergilah, Bang. Mau istirahat dulu."

"Dira ... katakan ada apa?" Jovan merengkuh tubuh Dira, memeluk erat.

Mata Dira melotot, dia mendorong paksa tubuh Jovan. Namun, sayang tenaganya tak berpengaruh sama sekali. "Lepas, Bang. Lepas!" Dira terisak. Perlahan dia menyembunyikan wajah di dada bidang pria itu, meluapkan segala kesedihan di sana.

"Jangan nangis, aku ada di sini." Jovan mengusap kepala yang dibalut hijab merah maroon itu. Tangisnya semakin menderu.

Wanita yang harapannya terasa hilang, hati sedang tersayat, amarah dan rasa kecewa tengah berkecamuk dalam benaknya. Dira yang sedang melawan semua perasaan menyebalkan yang muncul, hanya karena cinta yang seharusnya indah, harus terasa menyakitkan.

Ketika kamu patah hati, mungkin kamu merasa dirimu terjatuh ke dalam jurang yang dalam, atau entah dari ketinggian mana kamu terjatuh. Maka jatuhlah! Biarkan tubuhmu mendarat di tempat terendah itu karena yang diinginkan semesta darimu hanyalah jatuh. Maka jatuhlah! Jangan pernah melawan gravitasi.

Semua hal di dunia ini membutuhkan proses. Tidak ada hal di dunia ini yang terjadi dalam semalam. (Mungkin) proses yang seperti ini adalah cara berdialog Tuhan denganmu. Dia sedang berbicara denganmu tentang arti hidupmu. Dia mau kamu merasakan sakit ini untuk mengetahui maksud baik dibaliknya. Maka terimalah dirimu yang sedang sakit. Terimalah dirimu yang sedang jatuh. Terimalah dirimu yang sedang terluka, dan terimalah dirimu yang tidak sempurna kemudian maafkanlah dirimu seutuhnya, atas semua kebaikan dan kekuranganmu. Cintailah dirimu sendiri.

"I love you."

Satu kalimat itu berhasil membuat tangis Dira terhenti. Dia mendorong tubuh Jovan sekuat tenaga. Tatapan mereka bertemu, tetapi beda arti. Jovan menatap dengan segenap rasa cinta, sedangkan Dira muak.

"Pergilah!" hardik wanita itu, napasnya memburu. Dia takut, dengan kejadian saat ini semua tambah runyam. Cukup Alza saja yang membuatnya tersiksa, yang lain jangan.

"Dira ... aku cuma pengen kamu lihat aku, lihat cintaku. Hanya aku yang mencintaimu dengan tulus. Tolong!" seru Jovan. Dia berniat meraih tangan Dira, tetapi wanita itu menepis cepat.

"Nggak, Bang! Cukup sudah, pergilah!" Bola mata Dira berkaca-kaca, bersiap menumpahkan cairan lagi. Lagi dan lagi.

Jovan menggeleng. "Aku nggak akan pergi sebelum kamu mau menerimaku. Aku mohon ... lepaskan dirimu dari belenggu Alza dan kita mulai hidup baru. Akan kupastikan kebahagiaan untukmu," tutur Jovan, matanya pedih membendung air mata dari tadi.

"Aku menganggapmu hanya sebatas abang, tapi kalau terus seperti ini lebih baik kita tidak usah ada hubungan. Anggap saja, kita tidak pernah kenal. Pergi!" Dira menunjuk gerbang dengan pandangan ke bawah.

Suara tepuk tangan membuat mereka menoleh. Seorang wanita berpakaian sexy muncul tanpa diundang. Dia mengotak-atik ponselnya kemudian menunjukkan sebuah foto yang membuat Dira terperanjat.

"Apa-apaan ini?" Dira mencoba merebut ponsel itu. "Claudia, kasih ke aku!"

"What? Kasih ke kamu?" Tawa Claudia meledak. Dia menunjuk wajah Dira. "Kita lihat saja, Jalang! Bagaimana ekspresi suami yang melihat foto istrinya pelukan dengan pria lain?" Claudia tersenyum sinis, kemudian melenggang pergi.

"Claudia!" Dira akan mengejar, tetapi Jovan malah menahan.

"Sudahlah. Biarkan saja," kata Jovan lembut.

Plak!

***

Hai balik dengan Dira, hehe

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang