Alza tersentak, tak menyangka mendapat serangan seperti itu. Dia menghentikan mobil, lalu memutar tubuh hingga menghadap Dira. "Ya, nggak gitu juga. Maksudku pria yang tak ada hubungannya sama kamu, misal si Jovan gitu."
Dira mengangguk paham. Siapa juga yang menyimpan nomor Jovan. Dira sudah menghapus nomor pria itu, menganggap tak pernah kenal. Namun, ini kesempatan dia membalas perbuatan Alza yang bikin dia cemburu. Ah, ide yang tak buruk.
"Em, gimana, ya. Jovan itu, kan abang aku. Jadi, wajar aja aku save," kata Dira.
"Gak ada abang-abangan! Pokoknya hapus!" Alza menoleh ke belakang. Dia menggerakkan tangan, mengambil ponsel Dira yang terletak di kursi. Setelah berhasil mengambil, dia langsung membuka dan mengotak-atik benda itu. Namun, dahinya berkerut saat tak menemukan kontak yang bernama Jovan.
"Siapa namanya?" Dia melirik istrinya yang menatap ke luar kaca.
"Liat aja sendiri!"
"Gak ada. Pasti kamu ganti namanya, kan? Siapa!?" Pria itu berucap dengan ketus. Dia tak terima jika istrinya beneran mengganti nama Jovan agar tak diketahui orang lain.
Dira berbalik, menatap sang suami yang masih menatap layar ponsel. "Cari aja sampe ubanan! Sini ponselku!"
"Nggak, bilang dulu siapa namanya!"
"Sayang," balas Dira sekenanya.
"Sayang? Keterlaluan!" Dengan cepat Alza mengotak-atik ponsel itu lagi. Sedangkan Dira mengulum bibir, menahan agar tak tergelak.
Beberapa detik kemudian, Alza tersenyum penuh kemenangan saat menemukan nama yang dimaksud. Namun, matanya memicing. Sederetan nomor itu tak asing. Ya, itu nomor dia sendiri. Dia melemparkan ponsel itu kembali ke belakang, kemudian memutar tubuh istrinya hingga mereka berhadapan. Tawa Dira pun meledak, dia menutup mulut saat tatapan Alza berubah tajam.
"Nakal, ya. Mau kugigit?" Alza mendekatkan wajah, jarak mereka tinggal dua senti meter.
Dira menelan saliva dengan kasar, tubuhnya menegang. Perlahan, dia memejamkan mata. Embusan napas Alza menyeruak, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ngapain, sih?" Satu jawilan lolos begitu saja ke hidup mancung Dira. Sontak dia membuka mata, Alza sudah bersiap untuk menjalankan mobil kembali.
Astagfirullah. Dira menutup wajah dengan kedua tangan. Panas. Duh, mau ditaruh di mana mukanya. Malu. Sedangkan Alza terkekeh geli, lalu melanjutkan perjalanan mereka yang tak jauh lagi.
"Sayang, kamu masak, ya. Laper banget, nih," tutur Alza saat mereka masuk ke rumah.
Dira mengangguk, perutnya juga dari tadi sudah berdendang. Dia bergegas ke dapur. Bingung mau masak apa karena belum belanja. Dengan ragu, Dira mengambil dua bungkus indomie. Dira mulai mengiris bawang putih dan merah secukupnya, dan sedikit sayur putih. Dira kemudian memanaskan minyak. Setelah itu menumis sampai harum. Semoga saja suaminya suka.
"Masak apa, Yang?"
Dira tersentak saat sebuah tangan melingkar di perutnya. Jantungnya berdegub kencang, bahkan gerakan menggoreng bawang sempat terhenti sesaat. Dia menghela napas pelan, kemudian lanjut menambahkan air ke kuali untuk kuah indomie. Alza menyandarkan dagu di kepala Dira, lalu dikecup lembut. Aroma masakan menyeruak membuat hidungnya mengendus-endus.
"Hmm ... jadi tambah laper," ujarnya seraya terkekeh.
"Lepasin, deh. Aku gak bisa bebas gerak!" celetuk Dira. Tangan kiri mencoba melepaskan lingkaran tangan Alza.
"Iya, iya." Alza menurut, dia melangkah ke meja makan. Menunggu di sana.
Beberapa menit kemudian, Dira sudah menghidangkan makan siang dengan indomie kuah. Awalnya dia ragu saat memasak indomie, tapi melihat begitu antusiasnya Alza makan membuat dia yakin kalau kali ini selera mereka sama.
"Jangan sering-sering, ya! Gak sehat makan ini." Alza memperingatkan di sela-sela mereka makan.
***
Ketukan di pintu depan membuat mereka saling menoleh. Siapa yang bertamu sore begini? Dira mengisyaratkan agar Alza saja yang melihat. Pria itu pun bangkit, berjalan cepat untuk membuka pintu.
"Sia-mau apa kau!?" Suara Alza terdengar membentak. Dira buru-buru menghampiri.
Di depan pintu Jovan berdiri santai dengan tangan masuk ke kantong celana. Dia tersenyum saat melihat Dira. "Aku mau nemuin Dira."
Dira melirik sang suami yang sudah mengepalkan tangan. Dira takut, di antara mereka akan ada kekacauan lagi seperti waktu itu. Dia pun maju, menggeser tempat Alza ke belakangnya.
"Ada apa, ya?" tanya Dira sekenanya.
Pria yang mengenakan baju batik itu tersenyum manis. Tangannya tergerak meraih wajah Dira, sontak wanita itu mundur hingga menabrak Alza.
"Ups, sorry. Aku gak maksud menyentuh istri orang, aku hanya ingin berbicara dengan adik, dan ... sahabatku." Jovan menatap pasangan suami istri itu bergantian.
Alza tak tahan lagi. Tangannya sudah gatal ingin mengeluarkan bogem mentah pada wajah pria itu. Namun, baru saja melangkah maju dia dikejutkan dengan tangan Dira yang menggenggam erat tangannya. Wanita itu menggeleng, melarang.
"Aku minta maaf sama kalian berdua. Aku tau, mungkin terlalu besar kesalahan yang kuperbuat hi ngga sulit bagi kalian memaafkan," tutur Jovan sembari menunduk,"aku ter-obsesi memiliki Dira, hingga aku tega menyakiti sahabatku sendiri. Za ... aku tidak akan mengganggu kalian lagi." Jovan mendongak, tersenyum kecil.
Menganga. Itulah yang bisa dilakukan Dira. Antara percaya dan tidak. Seperti mimpi. Perlahan dia menepuk-nepuk pipi, membuktikan kalau itu benar terjadi. Sakit. Itu bukan mimpi!
"Terus, aku harus percaya?" Alza tersenyum sinis. Kedua tangannya didekapkan di dada.
"Terserah, sih, mau percaya atau nggak. Yang penting aku sudah katakan." Jovan berbalik, hendak pergi.
"Sekali sahabat selamanya akan sahabat!"
Jovan terpaku mendengar kalimat itu. Dia menutup mata, ingin menangis. Itu adalah iyel-iyel mereka dulu waktu masih sekolah. Itu kalimat yang sering mereka ucapkan ketika persahabatan mulai banyak masalah dan saling menjauh.
"Sekali sahabat selamanya akan sahabat! Apa kalian tak dengar?" Suara berat kembali datang. Tiga orang pria datang menghampiri. Siapa mereka? Ya, itu Mike, Leon, dan Indra. Masih ingat mereka, kan?
"Kalian itu seperti anak kecil yang berebutan mainan, terus saling bermusuhan. Yang satu tak mau berbagi, dan satunya tak sadar diri." Mike menarik Jovan untuk berbalik. "Sekarang, katakan! Apa kalian tak ingin lagi bersahabat?"
Alza menoleh ke Dira, mengamit tangan, dan menggenggam tangannya. "Selama dia mengganggu hubungan kami, aku tidak akan pernah memaafkannya!"
Jovan menghela napas kasar. "Kan, aku udah minta maaf. Aku menyesal, dan aku sudah berjanji tidak akan pernah menggangu hubungan kalian lagi."
"Aku nggak percaya."
Kepercayaan adalah sebuah keyakinan pada karakter, kemampuan, kekuatan, atau kebenaran seseorang terhadap sesuatu. Di dalam sebuah kepercayaan akan selalu ada harapan dan ekspektasi.
Saat kepercayaan itu rusak, maka membutuhkan waktu untuk memulihkannya kembali."Dia akan membuktikan ucapannya." Indra memegang pundak Jovan. "Sama seperti saat dulu, Leon yang tak percaya padamu karena Ina suka padamu."
"Kenapa bawa-bawa istriku?" Leon menyipitkan mata, tak suka. Kenangan masa lalu jika diungkit akan malah membuatnya malu.
"Contoh, Leon. Itu aja gak boleh." Indra terkekeh geli.
"Aku pasti membuktikan itu!" Jovan mendekati Alza, menepuk pundaknya.
"Kalian mau di sini aja?" Dira yang sedari tadi diam pun berbicara.
"Eh, gak usah. Nanti ada yang cemburu," kelakar Mike diikuti gelak tawa mereka semua.
***
Wah, persahabatan yang keren. Uwu
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...