"Nah, taruh kucingmu di sini aja." Alza mengambil sebuah kardus berukuran sedang. Di dalamnya ditaruh kain tebal sebagai alas.
"Tapi dibawa ke rumah, kan?" tanya Dira ragu. Dia tak ikhlas jika Puti tidur di luar.
"Ya, nggaklah! Dia tidur di luar,"sahut Alza kemudian masuk ke rumah. Dira menatap nanar kardus berwarna coklat itu. "Masa kamu tidur di situ." Dira mengusap kepala Puti dengan lembut.
"Taruh dia di samping biar gak kehujanan kalo seandainya hujan."
Dira tersentak, dia menoleh pada Alza yang sudah kembali. Dia mengenakan masker hitam yang hanya memperlihatkan mata besarnya. Dia mengulum bibir untuk menahan senyum.
"Kenapa senyum?" Alza menatapnya tajam. Buru-buru Dira menggeleng.
"Coretan tarok! Udah mau gelap ini," lanjut Alza mengomel, " belum mandi lagi."
Dira ini meletakkan Puti dalam kardus. Meski sempat meronta, tapi akhirnya patuh juga. Puti memalingkan wajah, persis seperti ana kecil yang merajuk. Saat Dira akan mengusap kepalanya, Alza mengangkat kardus itu dengan wajah yang dijauhkan. Sedangkan Dira kembali menarik tangan dengan kesal.
"Letak yang bagus!" titah Dira dengan tangan di pinggang.
Alza menoleh sekilas lalu berujar, "Iya, bawel."
Malam ini seperti biasa, setelah selesai salat Magrib Dira menyiapkan makan malam. Meski hanya sayur kangkung dan ikan akhir, tapi dia sangat puas bisa masak sendiri untuk suami. Banyak di luar sana istri yang tak tau masak sama sekali, hingga kalau makan harus pergi ke luar. Bagi Dira itu hanya membuang duit saja.
"Kamu masak apa?" tanya Alza keluar dari kamar mandi. Dia masih mengeringkan rambut dengan handuk.
Dira menunjukkan menggunakan dagu. "Liat aja sendiri!"
Gerakan Alza terhenti. "Makin lama makin resek, ya? Istri macam apa kamu ini?" Alza duduk di kursi. Sementara handuk diletakkan di atas kursi sebelahnya.
"Astagfirullah, Mas. Handuknya kenapa ditaruh di situ? Ada tempat handuk di sana, apa susahnya berjalan dikit. Suami macam apa kamu ini?" Dira mengomel. Dia sengaja mengulang kalimat Alza dengan mengganti istri menjadi suami.
"Makan aja, deh. Bawel kek mak-emak!"
Dira menaikkan sebelah alis, kemudian berbicara agak pelan, "Kan, emang aku nanti jadi mak anak-anak kita."
Uhuk!
Nasi yang sudah setengah kunyah ke luar dari mulut Alza. Pria itu melotot, sedangkan tangannya meraba-raba. Mencari minum. Dira berdecak, lalu menuangkan segelas air putih dan menyodorkan pada suaminya.
"Makanya hati-hati!"
Alza meneguk isi gelas sampai ludes. Dia menggeleng frustrasi. Untuk hanya keselek ringan, coba kalau sampai gimana-gimana. Bisa innalillah dia, kan? Mereka akhirnya melanjutkan sesi makan tanpa suara. Seolah tak terjadi apa-apa baru saja. Meski jantung keduanya bergemuruh hebat.
***
Alza memutar-mutar tubuhnya. Kadang menyamping kadang telentang. Sedangkan di tikar bawah Dira tidur nyenyak. Mereka memang tidur sekamar, tapi tidak seranjang. Baru tau, ya? Itu terjadi sejak malam pertama mereka menikah hingga pindah rumah.
Alza duduk, menatap wajah Dira yang adem. Selama ini Alza yak pernah menyadari ternyata tidur pun Dira tetap mengenakan hijab. Meski agak berbeda dengan hijab yang dipakai kala siang. Alza sama sekali belum pernah melihat sehelai rambut wanita itu. Tanpa disadari, sudut bibir Alza melengkung.
Dia turun dari tempat tidur, bergerak sangat hati-hati. Dia merebahkan diri di belakang Dira. Tak butuh waktu lama saat Alza memejamkan mata, dia pun terlelap.
"Kya!"
Alza tersentak, dia langsung duduk dengan mata yang masih terpejam. Dengan perlahan dibuka matanya. Terlihat Dira sudah berdiri dengan memeluk selimut. Alza ikut terlonjak, kemudian menoleh kanan-kiri.
"Apa, sih?" Alza menarik selimut dari pelukan Dira. Namun, yang didapat malah dorongan keras hingga dia mencium lantai.
"Kamu macam-macam, ya? Astagfirullah, aku ... aku ternoda." Dira mengeratkan selimut ke dadanya.
Alza bangkit dengan memegang bibir. "Istri durhaka! Aku ciuman sama lantai!" teriaknya lantang.
"Makanya jangan kurang ajar!" balas Dira tak kalah lantang. Dia hendak pergi. Namun, Alza sengaja menarik ujung selimut hingga membuat Dira terjerembab. Dia meringis kesakitan.
"Sakit, kan? Tau rasa!" Alza melenggang pergi. Sebelum dia menutup pintu dia sempat berbalik. "Aku gak Ada ngapa-ngapain kamu. Gak usah ge er, deh!" Lalu terdengar suara pintu dibanting.
"Mana kutau. Ya, Allah lindungilah hambamu yang polos ini." Dira menengadahkan kedua tangan ke atas. " Aamiin." Dia kemudia mengusap kedua tangan ke wajah.
Hingga Dira selesai masak dan menghilangkannya, tetapi Alza tak kunjung terlihat sejak kejadian tadi Subuh. Dira mencari di balkon, di kamar mandi tak kunjung bertemu. Dira hampir menyerah, pagi-pagi sudah pusing mencari suami sendiri.
"Meong!"
"Bego banget, sih!"
Dira menajamkan pendengaran. Itu suara Puti dan siapa? Dira berjalan tergesa ke samping rumah. Sesampai di sana dia sangat terkejut saat melihat seseorang mengenakan topeng mencoba mencengkeram Puti. Dira langsung mencari alat agar bisa menghajar orang itu.
"Nah ini," ucap Dira kegirangan. Dia mendapatkan sebilah kayu yang tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Dira mengendap-endap, mendekat.
Pukulan Dira salah sasaran. Niatnya dia memukul punggung, tetapi yang kena malah bokong. Orang itu berteriak terkejut bercampur kesakitan. Dira masih mengacungkan kayu, bersiap menghantam lagi. Namun, suara orang itu membuat Dira terpaku.
"Ini aku!" Orang itu buru-buru membuka topeng. Dia tak lain adalah suami Dira sendiri, Alza Mahendra.
Wanita itu menggigit bibir. Sekarang dia ketakutan.
"Mau pukul lagi? Pukul sini!" Muka Alza memerah, dia marah. Dadanya naik-turun dan brewoknya bergetar.
"Ma-maaf. Kupikir tadi maling," cicit Dira. Dia menunduk, kayunya jatuh di tanah.
"Maling? Kau pikir siapa yang akan maling kucing sejelek ini?" Terdengar langkah menjauh. Alza masuk ke rumah. Dira memberanikan diri menaikkan pandangan. Setelah merasa aman, dia bergegas mendekati Puti.
"Kamu gak apa-apa, kan? Maaf ... aku benar-benar gak sengaja. Lagian salahmu sendiri, ngapain pake topeng. Aku, kan jadi ngira maling," ujar Dira seolah berbicara pada Alza padahal di depannya adalah Puti.
"Meong!"
"Tututu ... baik banget deh. Makasih udah maafin aku. Sayang kamu." Dira menggendong Puti, lalu mengusap-usap kepalanya.
"Buatin nasi goreng! Aku lapar." Suara Alza menginterupsi, Dira menoleh sekilas kemudian menatap Puti dengan pandangan memelas. Sejak kapan pria ketus itu di situ? Apa dia mendengar semua ucapannya? Astagfirullah, kesialan apa lagi yang akan menimpa Dira?
"Cepatan, dah. Aku mau ke kantor, nih!" Lagi-lagi Alza menitah.
Dira meletakkan Puti kembali ke kardus. Dia merapikan hijab bulatnya, kemudian berjalan mendekati Alza. Mereka saling menatap sesaat, sebelum kemudian Alza masuk duluan. Dira mengepalkan tangan. Mau dibuat ke mana wajahnya? Malu!
Namun, lagi-lagi langkah Dira terhenti. Alza sudah mengenakan pakaian kerja. Itu berarti dia sudah mandi? Pasti dia tak mendengar monolognya tadi, kan? Kapan dia mandi? Belum sempat mengingat apa-apa, Alza kembali berseru dari meja makan.
"Lama amat, sih!"
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...