23. Tangisan

126 13 1
                                    

Alza kembali ke Rumah Sakit sudah jam 05.00 dini hari. Dia kacau, jalannya saja seperti orang mabuk. Dia tidak minum! Hanya saja hancur. Dengan retina yang memerah, Alza mencoba menatap Dira dari balik pintu kaca. Pria itu menekan dada kuat-kuat, buliran bening mengalir begitu saja. Sakit!

"Ceraikan Dira!"

Alza melotot, tak percaya Claudia akan meminta hal itu. "Kamu gila! Itu tidak mungkin!"

Claudia tersenyum menyeringai. "Ya, gak masalah, tapi ... nyawa Dira, dan perusahaan keluarga Mahendra ada di tanganmu. Kamu tau, aku udah berhasil mengambil sertifikat, dan beberapa berkas penting perusahaan besar kalian itu. Jadi, kapan pun aku mau kalian bisa hancur. Coba bayangkan, ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan." Senyum itu berubah menjadi gelak tawa.

"Kurang ajar! Kembalikan!" hardik Alza, napasnya memburu karena emosi.

"Akan kukembalikan setelah kamu menceraikan wanita sialan itu, dan menikahiku. Paham?"

Semua perkataan Claudia terngiang-ngiang di telinga Alza. Tubuhnya merosot ke lantai. Apa yang harus dilakukan? Kenapa semua begitu sulit. Dulu, dia menyia-nyiakan kebersamaan mereka. Sekarang saat cinta sudah berada dalam genggaman, dia dipaksa untuk melepaskannya?

"Dira ... maaf, aku gak bisa menepati janjiku." Suaranya melemah.

"Za!"

Alza menoleh, Jovan sudah datang. Dia sengaja memanggil pria itu untuk menemaninya. Tak tak tahu harus pada siapa lagi dia meminta bantuan.

"Ada apa sebenarnya?" Dia bertanya sembari membantu Alza berdiri, lalu menuntunnya duduk di kursi besi panjang.

"Sakit, Van." Suara Alza semakin kecil.

"Iya, aku tau Dira sakit. Kamu tenang aja, berdoa agar Dira baik-baik saja. Dia wanita yang kuat, aku percaya itu," ujar Jovan menyemangati. Dia juga tak tau apa yang terjadi pada Dira, Alza hanya mengatakan dia sakit.

Pria berewokan itu kelelahan, matanya saja sudah sembab. Dia menatap Jovan lama, kemudian tersenyum kecil. Saking kecilnya, hanya dia dan Allah yang tau.
"Van, jika suatu hari aku meninggalkan Dira, aku mau kamu berjanji selalu ada di sisinya."

***

Semua keluarga sudah mengetahui kabar sakitnya Dira. Termasuk Fitri, sahabat Dira dari kecil. Dia datang bersama beberapa teman kampusnya, termasuk Adnan. Mereka menatap sendu wanita yang terbaring lemah di ruang ICU.

Apa yang bisa mereka lakukan? Hanya berdoa, dan menangis. Adnan menatap Alza lama. Dia belum pernah melihat ekspresi seperti yang ditunjukkan. Adnan melihat luka yang sangat dalam di sana. Dalam diam pria jangkung itu berdoa, agar semua tetap baik-baik saja.

"Nan," panggil Fitri. Dia memperhatikan Adnan yang menatap abang iparnya.

"Eh, iya, Kak." Adnan gelagapan. Buru-buru menyeka sudut matanya.

"Itu suami Dira?" Dia menunjuk dengan dagu.

"Iya, Kak," balas Adnan.

Fitri mengangguk paham. "Dia sepertinya terpuruk banget dengan keadaan Dira sekarang."

Alza memejamkan mata, dia mendengar pembicaraan mereka. Namun, dadanya serasa kembali ditusuk oleh belati. Dia terpuruk, sangat terpuruk. Bukan hanya tentang keadaan Dira sekarang ini, tetapi juga keadaan hubungan mereka setelah wanita itu sadar. Alza sudah memutuskan, memilih jalan terbaik untuk semua.

Ting!

Satu pesan masuk ke ponsel yang terletak di kursi. Tak peduli itu pesan siapa, Alza tetap pada posisi. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Di layar tertera nama wanita yang selalu mengganggu hidupnya. Mau apa lagi dia? Apa dia yang kirim pesan tadi? Jangan-jangan dia berulah lagi.

Alza menyambar benda pipih itu, dan segera membuka pesan. Benar! Itu dari Claudia. Alza menggeser layar, dan membuka aplikasi whatsapp. Sepuluh pesan berentetan dari Claudia.

[Sayang]

[Balas]

[Aku jumpai kamu ke Rumah Sakit, ya]

[Gak dibalas berarti iya]

[Otw]

Alza memijat pangkal hidungnya. Pesan itu dikirim dari setengah jam yang lalu. Saat membaca pesan selanjutnya, Alza terbelalak.

[Aku sudah di depan, kamu di mana?]

"Bang Alza, pulanglah dulu. Biar aku gantikan jaga Kak Dira," sentak Adnan. Entah sejak kapan dia berada di sebelah.

"Em, baiklah." Alza pun bangkit, berjalan pelan. Dia sebenarnya tak ingin meninggalkan Dira, tetapi kalau sampai Claudia tiba di sana masalah akan semakin runyam. Tanpa disadari air mata mengalir begitu saja, jika waktu bisa diulang kembali mungkin dia lebih memilih tidak bertemu Claudia, apa lagi memasuki kehidupannya.

"Mau ke mana?" Suara serak membuat Alza tersentak, dan segera mendongak. Di sana ada Pak Adi berkacak pinggang.

"Papa ...," lirihnya.

"Kenapa? Kau masih tak mau memberitahukan papa masalahmu? Sampai kapan kau memelihara gengsimu itu?" Pak Adi menurunkan tangan, mengalihkan pandangan ke atas. Dia menarik napas panjang.

"Kau pikir, papa nggak peduli samamu? Kau selalu saja menganggap dirimu hebat, tak membutuhkan orang lain." Pak Adi melanjutkan perkataannya.

Saat kecil, jika ada masalah, anak selalu mengadu pada orang tua. Alza juga dulu seperti itu. Namun, semua berubah saat sang mama meninggal. Bukan benci papa, tetapi kekecewaannya terlalu besar jika diungkapkan.

Hari ini, Alza bisa melihat aura kesedihan yang mendalam di wajah pria berumur enam puluhan tahun itu. Dia rindu masa-masa mereka bersama, berrsenda gurau lagi.

"Pa ... maafkan aku. Aku-"

"Jangan menyalahkan dirimu atas kejadian ini. Papa sudah menduga semua ini terjadi," sela Pak Adi cepat. Dia mengembuskan napas panjang. "Dan tentu saja papa tidak bisa diakali." Dia tersenyum.

Alza mengerutkan dahi. "Maksud papa?"

Pak Adi berjalan mendekati kursi panjang yang tak jauh dari mereka. Dia melambaikan tangan, mengajak Alza menghampiri. Alza yang tak paham sama sekali hanya menurut.

"Maafkan papa, sebenarnya sertifikat perusahaan yang waktu itu kuberi bukan asli."

"Maksud papa?" Alza semakin tak paham.

Pak Adi pun tersenyum. Dia menceritakan kalau dia sudah merencanakan pemalsuan sertifikat itu. Karena dia tahu, Alza bukan mengincar hartanya. Apa lagi Dira? Pak Adi mengenal anak itu dari kecil, tahu bagaimana sifatnya. Claudia? Bagi Pak Adi hanyalah seekor kutu yang selalu mencari keuntungan di mana-mana. Wanita yang tak jelas keluarga, dan hidupnya.

Dalam diam Alza bernapas lega. Satu masalah selesai. Namun, jika Claudia tahu masalah ini dia pasti mengamuk dan melimpahkan semua pada Dira. "Tapi, Pa ...." Alza menggantung kalimat, miliknya berubah cemas.

"Apa? Pak Adi menatap serius. Keriput di pipinya semakin terlihat.

"Kalau Claudia menyakiti Dira, bagaimana?"

Pak Adi terkekeh. "Hei, Dira itu menantu kesayanganku. Pastinya tak 'kan kubiarkan dia dalam masalah."

Setelah perbincangan itu, Alza pulang ke rumah. Dia membersihkan diri dulu agar lebih segar. Berjalan dengan senyum kecil menghiasi bibirnya. Sesekali tangan kekar itu mengusap brewoknya yang agak berantakan. Kapan pun Dira tersadar, dia harus melihat suaminya tetap tampan. Begitulah kata hati Alza. Mengingat wanita itu membuatnya kian merindu. Rindu senyuman, nasi goreng buatannya, dan sebagainya. Ah, Alza jadi lapar jika mengingat itu cara wanita itu memasak.

"Meong!"

Alza terlonjak kaget, hampir menabrak mobilnya sendiri. Seekor kucing hitam terlihat lemas, mungkin tak makan beberapa hari. Dengan sekuat tenaga, Alza memberanikan Dira mengangkat hewan itu dengan menahan napas. Untungnya si kucing hanya diam, hingga Alza bisa lebih leluasa membelai bulu halusnya.

"Kita pulang, yuk! Di rumah ada teman kamu, kali aja jodoh." Alza terkekeh geli, kemudian masuk mobil. Dia pulang membawa harap Dira akan segera bangun, dan seekor kucing hitam jantan.

***

Baru up setelah sekian lama :(

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang