30. Bulan dan Madu

183 11 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah tiga hari kepergian Pak Adi dan Claudia. Kini mereka tinggal di rumah keluarga Mahendra. Ya, Alza mengajak sang istri kembali ke rumah itu. Rumah besar dan mewah, tempat dia lahir dan tumbuh. Kini mereka tinggal bertiga, tentunya bersama Bi Ining.

Dengan senyum menghiasi bibir, Alza berjalan pelan menghampiri Dira yang duduk di kursi taman. Wanita itu tampak serius memandang bunga mawar merah yang hampir layu karena teriknya matahari.

Dar!

Tanpa aba-aba Alza menepuk bahu istrinya pelan dengan suara seperti petir. Dira yang kaget sontak bangkit dengan wajah pucat. Sedangkan Alza terbahak-bahak melihat ekspresi sang istri, bahkan sampai memegang perut. Dira tak terima, dia berlari mengambil sapu lidi yang terletak tak jauh dari mereka. Membalas perlakuan Alza, mengejar pria itu hingga memukul bokongnya menggunakan sapu lidi.

"Ampun, Sayang. Ampun." Alza memohon dengan tawa yang masih menggelegar. Dia menyatukan tangan di dada. "Aku minta maaf, ya. Duh, sakit." Dia mengusap bokongnya yang tadi jadi sasaran empuk sapu lidi Dira.

"Makanya jangan cari masalah!" hardik Dira. Dia mengempaskan sapu tadi dengan kesal, lalu berniat masuk rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan, Alza kembali mengejutkannya. Pria itu menggendong paksa, layaknya anak yang merajuk dan ayah yang berusaha membujuk dengan menggendong.

"Mas, turunin!" pinta Dira dengan tangan menepuk-nepuk dada bidang suaminya. Dia meronta, tetapi terasa percuma. Pria itu malah mengeratkan pegangan hingga sampai di ruang tamu.

"Berat banget, sih. Kamu makan batu, ya?" celetuk Alza setelah menurunkan Dira.

"Makan tiang, makan rumah, makan besi! Puas!?" Dira meremas tangan ke udara, lalu berbalik. Meninggalkan sang suami yang lagi-lagi tergelak. Sedangkan Bi Ining menonton dari pintu belakang, dia menggeleng sembari tersenyum manis.

Alza menetralkan napas, dia berjalan ke ruang keluarga. Duduk di kursi dengan tangan mengambil remote dari meja. Menekan tombol merah, dan mulai menatap layar hitam. Namun, dia kembali mematikan alat elektronik itu karena tak kunjung menemukan siaran yang bagus.

"Den." Suara Bi Ining membuatnya tersentak. Pria itu tersenyum kikuk ketika wanita paruh baya itu menatapnya dengan serius.

"Ada apa, Bi? Uang belanja masih ada, kan?" Alza menduga Bi Ining kehabisan uang belanja.

"Ihh, bukan. Uang belanja sampai setengah tahun ke depan masih cukup ini. Bibi cuma mau kasih saran. Em ...." Bi Ining menggantungkan kalimat, sekilas memandang pintu kamar atas.

Alza yang penasaran dan tak paham pun mengerutkan dahi-ikutan mendongak. "Apa, sih, Bi?"

"Gini ... Aden kan, udah nikah ... berapa bulan, ya? Enggak kesepian gitu?"

Pria itu kian memperdalam kerutan di dahi. Tak mengerti dengan maksud sang bibi. Dengan tarikan napas pelan, dia pun bangkit. "Aku mau mandi dulu, Bi. Nanti kalau ada penting, bilang langsung aja. Enggak usah kode-kodean, kayak ABG aja." Alza berjalan menuju belakang-kamar mandi.

"Siapa yang kode?" Bi Ining menggaruk kepalanya.

***

Alza memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Setelah mendapat kabar ada kesalahan dalam laporan bulanan perusahaan membuatnya tak bisa diam. Dia harus mengetahui apa yang terjadi. Biar bagaimanapun, perusahaan keluarga mereka adalah amanah yang diberikan sang papa. Dia harus mengatur semua tetap baik dan berjalan semestinya.

Sesampainya di sana Alza bernapas lega, sudah ada Jovan. Tentu saja sahabatnya itu sudah menyelesaikan masalah sebelum tangan Alza melayang. Semua karyawan pasti tahu apa yang akan terjadi jika sampai manajer itu turun tangan. Tanpa terkecuali, semua terkena imbasnya.

"Makasih udah selesaikan semua. Pusing." Alza memijat pelipis dengan kuat.

"Santai aja. Enggak ada yang curang, cuma sekretaris kamu tuh yang kurang teliti. Ganti aja kali, ya. Udah kelamaan, bosan juga aku liatnya," tutur Jovan sembari menggulung lengan baju kemejanya.

Alza mendehem. "Mungkin." Dia mengangkat bahu.

"Sama satu lagi! Sekali-kali cobalah refreshing bareng istrimu. Masa terus sama kantor, lama-lama Dira bosan sama kamu. Bau berkas terus. Sudahlah, aku mau pulang." Jovan melenggang keluar dari ruangan itu.

"Bau berkas?" Alza mencium bajunya, mengangkat tangan dan mencium ketiaknya. "Enggak, deh." Dia menggeleng, lalu bergegas keluar juga.

Selama perjalanan pulang, Alza memikirkan apa yang dikatakan Jovan. Sepertinya mereka memang butuh jalan-jalan. Dia mengembuskan napas pelan, saatnya mencari tempat yang indah untuk kencan. Ya, kencan dengan istri tercintanya.

[Tempat bulan madu yang indah di mana?]

Satu pesan WhatsApp berhasil dikirim kepada seseorang. Pria itu tersenyum lebar, sudah saatnya mereka memikirkan masa depan.

"Beneran? Kok aku enggak dikasih tau, sih? Jahat banget kalian."

Sayup-sayup Alza mendengar Dira berbincang dengan seseorang. Melihat motor beat biru yang terparkir, dia tahu siapa yang bertamu. Perlahan diayunkan masuk ke rumah. Namun, dua wanita yang tadi asyik bersenda gurau menjadi terdiam saat Alza menyapa. Apa lagi Dira yang langsung memalingkan wajah.

"Hai, Fit," sapa pria itu dengan senyum manis.

Wanita yang disapa pun tersenyum sembari mengangguk canggung.

"Lagi bahas apa, sih? Kayaknya seru banget," ujar Alza. Dia meneguk teh manis di meja yang tinggal setengah gelas. "Oh ya, Fit ... ini udah malam, loh. Pulang sendirian?" Alza melirik arloji yang tersemat di pergelangan tangan kanannya.

"Em, nanti aku dijemput, kok," balas Fitri. Sekilas dilirik Dira yang tampak kesal.

"Ya udah, aku mau istirahat dulu. Capek banget." Alza bangkit sembari mengibaskan tangan ke wajah. Sebenarnya bukan pipinya yang panas, tetapi hati. Panas dicuekin sang istri. Dia menapaki tangga satu persatu dengan entakan. Menahan dada yang bergemuruh, ingin meledak dari tadi.

Setelah kepergian Alza, Dira bangkit dengan napas memburu. "Iss, kok malah dicuekin. Harusnya dia minta maaf, dong!"

"Sesekali cobalah mengalah. Kamu yang dekati dia," saran Fitri. Dia mengamit tas tangan yang diletakkan di sofa. "Aku pulang dulu, Jovan udah di depan. Bye." Wanita itu berlalu tanpa ada niat membantu sahabatnya. Tak lama kemudian terdengar bunyi mobil menjauh. Dira tak tahu dan tak mau tahu kapan Jovan tiba. Yang dipikirkannya saat ini, bagaimana cara membujuk Alza.

"Terserah nanti mau gimana, coba aja dulu," katanya pada diri sendiri. Ditarik napas dalam, lalu diembuskan perlahan.

Dengan segenap keberanian dan rasa cinta, akhirnya Dira sampai di kamar bernuansa biru itu. Kamar yang terbilang luas, dan lengkap. Di dinding ada beberapa foto pernikahan dan foto bersama keluarga.

Wanita berjilbab merah muda itu menghela napas lega saat mendapati sang suami sudah tertidur. Pria itu tidur menyamping dengan membelakangi pintu. Perlahan Dira naik ke kasur, menyelimuti diri. Pastinya dengan tubuh menyamping juga. Jadilah mereka tidur saling membelakangi. Namun baru saja akan memejamkan mata, sebuah tangan melingkar di perutnya.

Sekuat tenaga ditahan agar tidak berteriak. Sungguh, itu akan sangat memalukan jika terjadi. Perlahan digerakkan tangannya untuk melepas pelukan sang suami. "Mas, geli."

"Hmm." Hanya dibalas deheman.

Dalam hati, Dira berdoa agar pria itu segera nyenyak. Namun apa yang didengar setelah itu membuat dunianya diguncang.

"Bagaimana kalau kita bulan madu ke Bogor?"

"Hah? Bulan dan Madu?" Sontak Dira berbalik, hingga mereka saling berhadapan.

"Bulan madu, Sayang. Bulan dan Madu itu nama tetangga depan. " Pria itu terkekeh kecil, lalu mengecup kening sang istri. Setelah itu dia pun terlelap, sedangkan Dira menelan saliva dengan paksa.

***

TBC.




Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang