Alza memasuki gedung PT Mahendra dengan sedikit terseok karena bokong yang masih sakit. Pukulan Dira tadi sangat keras hingga masih membekas sakitnya. Para karyawan menyapa ramah, tapi hanya dibalas anggukan kecil. Dia membuka ruangan pribadinya, tetapi terhenti di ambang pintu. Betapa terkejutnya Alza saat melihat wanita mengenakan dress sepaha duduk di kursinya dengan gaya sebelah kaki di atas kaki lainnya. Perempuan itu selalu masuk dan berbuat semaunya.
"Claudia? Ngapain kamu di sini pagi-pagi buta?" Alza berjalan mendekat.
"Apa? Harusnya aku yang nanya. Ke mana kamu dua hari ini? Nomor tidak aktif. Oh ... jangan-jangan kamu honeymoon, ya, sama istrimu?" Claudia bangkit lalu mengelilingi Alza yang masih berdiri.
Pria itu menggaruk tengkuk yang tak gatal. Honeymoon? Jangankan pergi, memikirkan dan merencanakan saja dia tak pernah. "Kamu ngomong apaan, sih?"
"Aku ngomong apa yang aku pikirkan!" Suara Claudia naik beberapa oktaf. Dia sepertinya cemburu atau marah.
Alza menggaruk-garuk hidung. "Gini, ya, Claudia. Aku emang udah nikah sama dia, tapi bukan berarti aku mau nyentuh-nyentuh dia." Dia mengganti posisi, duduk di kursi. Sedangkan Claudia menatap tak percaya dengan bibir sedikit terbuka.
"Apa lagi? Ke luarlah! Aku mau kerja," ujar Alza sembari menghidupkan komputer yang ada di meja. Dia mulai mengotak-atik file yang baru dibuka.
"Kamu ngusir aku?" tanya Claudia menunjuk diri sendiri.
"Hari ini papa akan ke sini. Mau disemprot? Kamu tau, kan papa gak pernah suka sama kamu. Apa lagi sekarang ini aku udah nikah. Nanti malah memperkeruh suasana." Alza berbicara tanpa menoleh. Terdengar wanita itu berdecak kesal. Dia menyambar tas tangan yang terletak di atas meja lalu ke luar.
Alza mengembus napas lega. Sebenarnya sang papa tak ada janji mau datang. Itu hanya akal-akalan saja agar Claudia cepat pergi. Entahlah, rasanya tak nyaman kalau ada wanita itu sekarang. Apa rasa Alza yang berubah? Alza menepis pertanyaan itu. Mana mungkin hubungan yang dua tahun lalu dibangun penuh cinta berubah hanya karena Dira. Wanita biasa itu. Biasa? Tepatnya biasa yang bisa bikin binasa.
Saat Alza akan kembali melanjutkan pekerjaan, gawainya berdenting. Dengan cepat dia merogoh kantong celana dan membuka pesan yang baru masuk. Pesan dari orang yang tak pernah dibayangkan. Itu kali pertama wanita itu mengirim pesan atau pun berkomunikasi melalui ponsel. Anehnya, mereka tak pernah saling berbagi nomor ponsel. Dari mana dia tahu nomor Alza?
[Mas, hari ini aku mau ke kantormu. Kamu mau makan apa]
Dengan ragu Alza pun membalas. [Ikan jair masih ada? Masak itu aja].
Alza meletakkan ponsel di meja. Dia menyentuh dada yang bergemuruh. Namun, tiba-tiba sebuah tangan putih menyambar ponsel itu dari meja. Alza terbelalak saat melihat Claudia membaca pestanya pada Dira.
"Owh, jadi gitu? Sekarang kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang sudah dua tahun menemanimu? Di mana hati nuranimu? Kamu mau aku mati, ya?" Claudia mengedarkan pandangan. Tatapan dan langkahnya tertuju pada gunting yang ada di dekat lemari berkas. Dia menggores pada pergelangan tangannya sendiri.
"Claudia! Jangan gila!" teriak Alza. Dia buru-buru mengambil gunting itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Darah mengalir deras dari pergelangan tangan wanita itu. Tubuh Claudia bergetar, air mata mengalir ke pipinya. Sembari sebelah tangan menopang tubuh Claudia, Alza menghubungi ambulans agar bisa membawa Claudia ke rumah sakit.
***
Sudah tiga jam Dira duduk di sebuah kursi dalam ruangan Alza. Setelah bertanya pada staf di mana letak ruangan manejer dia langsung masuk. Bekal yang dibawa dari rumah bahkan sudah dingin. Ponsel suaminya itu juga tinggal di situ. Sulit untuk menghubungi.
Dira melirik jam tangan. Sudah pukul empat sore. Apa tadi dia kelamaan? Dira memang terlebih dahulu salat Zuhur baru berangkat. Apa Alza sudah makan siang?
Namun, saat akan bangkit tatapan Dira terhenti pada sebuah benda tajam yang terletak begitu saja di lantai. Selain itu, darah yang terbilang cukup banyak memancingnya mendekat. Darah apa itu? Dira mulai bertanya-tanya dalam hati. Pikirannya sudah buruk, dia menduga seseorang telah melukai Alza.
"Mas ... Alza?" Dira spontan menyerukan nama suaminya saat mendengar pintu terbuka.
"Maaf, Bu. Saya akan membersihkan ruangan ini," ucap pria yang mengenakan pakaian OB.
Dira mengangguk pelan. Dia meraih kotak bekalnya. "Kamu tau Mas Alza ke mana?"
"Pak Alza ... ke rumah sakit, Bu. Tadi dia bawa perempuan yang berlumuran darah. Sepertinya dia mau bunuh diri," terang OB itu.
"Siapa wanita itu?" tanya Dira penasaran.
OB itu tampak berpikir sesaat kemudian berucap, "Kalo nggak salah namanya Claudia."
Claudia? Wanita itu lagi! Rahang Dira mengeras. Sampai kapan suaminya mencintai wanita lain. Padahal jelas-jelas dialah kekasih halalnya. Apa memang Dira harus menyerah? Sakit! Hanya itu yang dirasa saat ini.
"Bu? Ada masalah?" OB itu menyentaknya. Dira menggeleng kemudian ke luar ruangan.
Di rumah sakit Alza tak berhenti mondar-mandir. Sudah tiga jam Claudia tak juga sadarkan diri. Semua salahnya!
Alza terlalu cemas tadi, dia bahkan tak membawa ponsel. Bagaimana dia akan mengabari Dira? Wanita itu pasti khawatir.
"Pak Alza, Ibu Claudia sudah siuman." Suara dokter membuat Alza tersentak. Buru-buru dia masuk demi melihat keadaan Claudia.
Di sana wanita itu masih terbaring lemah. Wajahnya pucat. Alza mengusap pipinya, tetapi dia menepis kasar. Masih marah.
"Maafkan aku. Aku janji gak akan buat kamu kecewa lagi. Aku sayang kamu," ucap Alza lembut.
Claudia menggeleng dengan pandangan ke langit-langit. "Kamu bohong! Mana janji kamu? Katanya akan menceraikan wanita itu. Aku butuh bukti!"
Alza mengeram pelan. Dia sudah berjanji memang pada wanita di depannya itu akan meninggalkan Dira. Namun, tak semudah yang dibayangkan. Papanya tak kunjung menandatangani surat warisan, jika dipaksa, kan nanti bisa curiga. Alza menangkup pelan wajah Claudia hingga mereka saling bertatapan. "Sabar, Sayang. Aku pasti meninggalkan dia dan menikahi kamu." Lagi-lagi Alza berjanji.
"Benar?" Seperti biasa Claudia akan luluh. Alza mengangguk ragu. Claudia tersenyum lebar, dia meraih tangan kekar Alza lalu menciumnya. Meski agak risih, Alza membalas dengan senyum.
"Buat aku mana?" Claudia menaikkan sebelah alis.
"Apanya?" tanya Alza bingung. Matanya sampai menyipit.
"Kiss, Baby. Di sini!" Claudia menunjuk dahinya. Alza tersentak, dia menggeleng lemah. Dia masih sadar dan ingat sudah punya istri. Namun, paksaan dan ancaman Claudia membuat pertahanannya runtuh.
Namun, nasip baik mungkin masih berpihak padanya. Saat akan mengecup dahi Claudia seorang suster tiba-tiba masuk dan semua bubar.
"Saya periksa dulu ya, Bu, keadaannya."
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...