8. Kedatangan Ammah

172 23 1
                                    

"Apa sih, Mas? Aku kan udah bilang lagi buang sampah. Udah kangen aja," seloroh Dira dengan senyum tertahan. Namun, senyumnya berubah tegang saat melihat ekspresi Alza yang menyeramkan. Pria itu sudah tidak mengenakan baju.

"Liat ini! Bajuku jadi kena makanan busuk kamu itu. Sekarang juga cuci!" titah Alza sambil menunjuk baju yang terletak di lantai.

"Iya, iya," ucap Dira menurut. Dia mengambil baju itu, lalu membawanya ke belakang.

Alza berdesis. Sekarang dia sudah sangat terlambat makan siang dengan Claudia. Wanita itu pasti nanti marah-marah. Alza langsung masuk kamar dan mengambil baju kemeja dengan asal. Dia mengenakan dengan terburu-buru hingga tak memperhatikan kancing yang tak sesuai dengan lubang masing-masing.

Saat membuka pintu, Alza terlonjak kaget melihat Ammah Nurul berdiri dengan sebuah tas tangan. Wanita berumur setengah abad itu tersenyum geli melihat ekspresi Alza.

"Kenapa terkejut gitu? Ammah emang sengaja mau kasih surprise. Eh ... kalian lagi apa? Kok baju kamu gitu?"

"Apa?" Alza melihat bajunya. "Astagfirullah!" Dia berbalik, membenarkan kancing baju.

"Dira mana?" Ammah langsung menyelonong masuk. Dia memperhatikan rumah. Sederhana, tapi elegan. Itu yang ada dalam benaknya.

"Mah!" Teriakan itu membuat Nurul terlonjak. Dia menahan dada, jantungnya hampir copot mendengar suara Dira yang berlari dari belakang.

Mereka berpelukan hangat, melepas kerinduan. Sedangkan Alza berdiri dengan merengut, gagal sudah rencananya makan di luar.

"Mas gak jadi pigi?" tanya Dira setelah mengurai pelukan. Pria itu menggeleng lemah.

"Mau pergi ke mana dia?" Nurul penasaran. Dia meletakkan tas tangan hijau miliknya, lalu mendekati Alza. Nurul menaikkan sebelah alis, sedangkan Alza mendehem.

"Ke rumah temen, Mah. Ada acara," jawab Alza gugup.

"Owh, ya udah. Pigi sono!" Nurul berbalik hendak duduk di sofa.

Alza tersentak, tersenyum girang. Namun, saat dia melangkah ke luar suara Nurul menghentikan.

"Jangan harap nanti pintu terbuka. Ammah akan kunci kamu di luar, tidur di luar aja!"

Apa? Alza berbalik, menghampiri Nurul. "Maksud ammah?"

Nurul bangkit-- berkacak pinggang. "Punya otak, kan? Mikir!" Dia duduk lagi. "Ammahnya datang malah ditinggal. Gak sopan!"

Dira terkikik melihat tingkah sang ammah. Dia membawa baki berisi dua gelas sirup stroberi. "Minum dulu, Mah. Nggak capek ngomel mulu."

"Ya, capek. Tapi untuk kebaikan kalian, ammah kuat." Nurul menyambar segelas sirup dan menghabiskannya. Sedangkan Alza masih berdiri di tempat semula, diam membisu.

"Mas, minum dulu!" Dira menghampiri sang suami. Dia mengajak agar pria itu duduk di sebelah Nurul. Namun, Alza hanya menggeleng. Dia melangkah masuk kamar. Di sana dia menggerutu kesal. Mengganti kemeja yang dikenakan dengan kaus oblong hitam lalu kembali ke luar.

***

Malam ini kesialan Alza masih berlanjut. Dia sama sekali tak diijinkan memegang gawai oleh Nurul. Dia seperti orang bodoh yang menurut saja. Sedangkan kedua wanita itu selalu bercengkrama.

Pikiran Alza pergi ke Claudia. Bagaimana wanita itu? Sudah berapa kali dia menelepon? Pasti sering? Hanya menelepon sih lumayan, bagaimana jika Claudia datang ke rumah? Astagfirullah, dan Ammah? Bisa gawat.

Alza mengetuk-ngetuk dagu. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terjadi sesuatu. Namun, saat bangkit terdengar ketukan di pintu depan. Alza gemetar, tatapannya tertuju pada Dira. Seolah berharap wanita itu mengerti bahwa dia dalam zona tak aman.

Dira mengerjab beberapa kali setelah mendapat tatapan Alza. Pasti Claudia! Itulah yang ada di pikirannya. Bagaimana jika Claudia membuat ulah? Ammah bisa murka nanti.

"Siapa, sih bertamu malam-malam.gini?" Nurul melirik Alza dan Dira bergantian. Dia bisa melihat keduanya dilanda ketegangan. Dia jadi semakin penasaran dan nekat melihat siapa yang datang.

"Itu pasti Claudia, gimana, dong?" Alza berbisik pada Dira.

Dira mengendikkan bahu. "Mana kutau, salah mas ngapain ngajak ke sini. Udah tau ada ammah!" Dira berbicara pelan, tapi penuh tekanan.

***

"Jadi, kamu abang angkat Dira?" Nurul mulai menginterogasi Jovan.

"Iya, Tante," balas Jovan ramah.

"Eh, jangan panggil tante. Panggil ammah aja, lebih bagus. Lagian kalo kamu abang angkat Dira berarti kamu juga ponaanku." Nurul menatap Jovan. Entahlah, seperti tak asing wajah itu.

"Ini minumnya, Bang," ucap Dira menyodorkan segelas sirup. Jovan mengangguk sembari tersenyum kecil.

Agak jauh dari mereka, Alza berdiri dengan raut wajah kesal. Dia seperti pengawal yang sedang menjaga tuannya padahal dia pemilik rumah.

"Mas, ngapain di situ? Duduk sini, cerita-cerita!" ajak Dira melambaikan tangan.

Dasar pencitraan! Alza menggerutu dalam hati. Dia kesal pada Jovan yang mencari muka di depan Nurul. Harusnya, kan Alza yang lebih dekat dengan sang ammah. Lah, sekarang Jovan juga ikutan memanggil Nurul dengan sebutan ammah.

"Sini kamu!" Nurul menitahkan Alza mendekat. Dengan berat hati pria itu pun melangkah mendekat. Dia duduk di sebelah Jovan, sedangkan di sebelah Jovan ada Dira. Menyebalkan bukan? Yang punya istri siapa yang dekatan siapa.

"Kamu harusnya seperti Nak Jovan ini. Dah baik, ramah, suka durian juga kek Dira. Jadi, nggak susah buat nyatuin." Nurul mulai memanasi Alza. Dia sudah tau dari Adi Mahendra kalau sebenarnya Alza tidak mencintai Dira. Lebih tepatnya belum. Nurul tau, seiring berjalan waktu rasa itu akan tumbuh dan semakin besar di antara mereka. Sekarang dia butuh umpan untuk memancing emosi Alza. Jovan!

"Maksud ammah apa? Harusnya Dira nikah sama Jovan gitu? Ya, udah nikahkan aja sana!" Alza bangkit. Dadanya naik-turun karena emosi.

"Lah itu, kan cuma pendapat ammah. Belum tentu juga Jovan dan Dira mau. Emosi kamu ini juga perlu kamu kendalikan. Jangan seperti macan kelaparan. Kamu udah nikah, bukan lajang lagi. Harusnya yang kamu pikirkan itu istri dan masa depan kamu. Ngerti nggak, sih?" omel Nurul panjang lebar. Napasnya ikut memburu, terbawa suasana.

"Udah, Mah. Kenapa jadi emosi gini, sih. Ammah ke sini karena kangen sama Dira, kan? Ya, udah sama Dira aja, jangan bawa-bawa Mas Alza." Niat hati ingin melerai, tapi apalah daya mereka jadi salah paham.

"Oh, ya udah. Belain suami kamu aja, sana!"

"Oh, mentang-mentang ada Jovan, jadi aku gak boleh dibawa-bawa, gitu? Dasar istri durhaka!"

Dira menganga. Sekarang apa lagi? Ammah dan suaminya sama-sama keras. Mana mungkin ada yang mau kalah. "Bukan gitu, Mah-Mas."

"Lalu apa!?" kata mereka serempak.
Dira menepuk dahi, bingung harus mengatakan apa.

Jovan yang dari tadi diam akhirnya bersuara." Maksud Dira itu kalian--"

"Gak usah ikut campur!" Keduanya kembali berseru kompak membuat Jovan langsung bungkam.

"Ya, udah gini, deh. Aku gak belain siapa-siapa. Nggak ammah atau pun mas. Anggap aja, Dira nggak dengar apa-apa. Lalu kalian lanjut perdebatan. Selesai!" Dira bangkit hendak bangkit. Namun, dengan ligat pula Alza menahan. Dia menarik tangan wanita itu dengan lembut.

"Maaf."

***

Tbc ...

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang