Seperti biasa, setelah salat Subuh bersama mereka membaca beberapa ayat Al-Qur'an. Kehidupan Alza benar-benar membaik setelah menikah dengan Dira. Dia kembali seperti dulu, saat masih di pesantren. Mereka kini menjalani hidup dengan damai tanpa mengingat luka di masa lalu.
"Mau ke mana?" tanya Alza saat melihat Dira bangkit dan mengganti mukenah dengan hijab bulat polos.
"Mau ke dapur, bantuin bibi. Emang kenapa, Mas?" Dira menoleh sekilas, lalu berjalan ke pintu.
"Kamu nggak pura-pura lupa, kan?"
Pertanyaan Alza sontak membuat langkah wanita itu terhenti. Dia berbalik dengan kerutan di dahi. "Apanya?"
Terdengar desisan kecil dari bibir pria itu, dia bangkit menghampiri sang istri. "Enggak usah pura-pura lupa, deh."
Dira menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Jujur, dia bingung harus mengatakan apa. Dadanya sudah berdegup lebih kencang. "Em, iya ... ini sekalian mau beres-beres sama bibi." Dia bergegas keluar sebelum singa menerkam.
"Ok," ucap Alza pelan sembari tersenyum kecil.
Di dapur semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh Bi Ining. Wanita paruh baya itu tengah menyuci piring. Dira langsung bertindak, mengambil sapu lidi dari balik pintu. Tanpa membuang waktu, dia pun menyapu lantai dapur.
"Eh, Non. Jangan kerjain itu, bibi nggak mau. " Bi Ining merebut sapu yang ada di tangan Dira.
Tak terima, Dira kembali ingin merebut. Namun, usahanya sia-sia saat tangan kekar mengunci tangannya ke belakang. Karena kesal, wanita itu mendongak. Sang suami hanya cengar-cengir.
"Kenapa, sih? Masa rebutan sapu sama bibi, mending rebutin aku," kata Alza dengan tingkat kepercaya dirian di atas rata-rata.
"Dih, males banget!" tandas Dira dengan wajah merengut.
"Em, Bi, apa udah siap semua?" tanya Alza mengalihkan pembicaraan, tetapi tangannya masih mengunci tangan sang istri.
"Udah, Den. Tinggal pergi," sahut Bi Ining diikuti kekehan kecil.
Dira setengah menganga, tak menyangka persiapan mereka sudah matang. Apa hanya dia yang belum sama sekali bersiap?
"Sayang, bisakah tanganku dilepas dulu?" Dira berucap dengan gaya orang yang menderita. Suaranya memelas.
Perlahan pria itu mulai melepas tangan istrinya. Tak lupa pula dibalikkan terlebih dahulu. Mereka saling menatap. "Hari ini akan menjadi sejarah untuk kita. Bersiap-siaplah!" Alza menjawil hidung sang istri pelan, kemudian melenggang pergi.
***
"Ayo, Non!" teriak Bi Ining dari teras, sedangkan yang dipanggil masih sibuk dengan cermin."Aku harus pakai yang mana?" Wanita itu sudah mengeluarkan berpuluh-puluh gamis, tetapi tak kunjung merasa tepat. Dia bingung harus menggunakan gaya apa. Dia bahkan tak tahu ke mana mereka sebenarnya. Alza tidak memberitahukan lokasi yang hendak mereka tuju.
"Sayang, udah?" Suara Alza terdengar dari balik pintu.
"Masuk aja, nggak dikunci."
Alza melongok, terkejut saat melihat penampilan Dira yang belum berganti. "Kenapa belum siap juga? Astaghfirullah, sebenarnya kamu ngapain dari tadi?" Pria itu mengomel.
Alza tak tinggal diam, dia mengobrak-abrik lemari. Pada akhirnya pilihan jatuh pada gamis bermotif bunga-bunga warna merah muda. "Pakai ini aja." Disodorkan pakaian itu dengan sedikit kesal. "Banyak banget baju kamu di situ, tapi bingung mau pakai pakai. Heran, deh sama perempuan zaman sekarang. Pakaian kamu mau dibawa mana?"
"Udah dibawa sama bibi. Aku mau ganti baju dulu." Dira bergegas ke kamar mandi.
Sang suami hanya menggeleng, kemudian mengamit benda pipih milik Dira dari atas meja. Tujuannya hanya satu, bermain game.
Setelah semua beres, mereka pun berangkat. Namun, Dira tak langsung masuk ke mobil. Hingga membuat Alza berdecak kesal. "Kenapa lagi?"
Wanita itu tersenyum kecil. "Nungguin Fitri, dia ikut sama Jovan," bebernya.
"What? Kamu ajak mereka?" Alza mengepalkan tangan ke udara. "Itu akan menggangu acara kita, Sayang!"
Dira mengangkat bahu. "Semakin ramai semakin seru. Kena--Fitri!" Tanpa peduli ekspresi sang suami, dia berlari menghampiri sahabatnya yang baru tiba. Mereka saling berpelukan dan tertawa bahagia, sedangkan Alza menatap Bi Ining dengan wajah cemberut.
"Sabar, Den. Semua ada waktunya," ejek Bi Ining dengan senyum yang ditahan.
Tak lama kemudian, Jovan juga tiba dengan ransel hitam di punggung. Dia sengaja tak membawa kendaraan sendiri dengan alasan menghemat. Padahal kenyataannya karena ingin waktu pulang nanti bisa bersama dengan Fitri. Sungguh pria modus.
Selama perjalanan empat insan itu tertawa bahagia, bercerita tentang hari-hari lucu mereka. Berbeda dengan satunya, fokus menyetir-wajah ditekuk. Dalam hati dia merutuk, semua yang diangankan pasti gagal karena orang asing yang ikut dalam acara mereka.
"Sayang." Suara lembut dari sebelahnya membuat Alza menoleh sekilas. Dia masih tak terima.
"Maaf," ujar Dira lagi. Kali ini dengan tangan memegang kedua telinganya. "Mereka nggak akan buat masalah, aku janji." Kini wanita itu pun membentuk jari seperti huruf v ke dekat pipi.
"Hem." Alza mendehem, kemudian tersenyum kecil. "Kamu gak salah. Mungkin benar juga, sih. Semakin ramai semakin seru."
"Tentu saja, apa lagi ada aku!" celetuk Jovan dari belakang diikuti oleh tawa mereka.
Alza memutar bola mata dengan malas. Perlahan tangan kirinya bergerak meraih jemari sang istri, lalu menggenggam erat. Wanita itu sedikit tersentak, tetapi pada akhirnya bergelayut di lengan Alza.
Cinta itu memang ajaib. Kisah mereka yang dimulai dengan kebencian dan amarah tak disangka kini menjadi indah. Bahkan lebih indah dari yang terbayangkan. Alza menatap jalanan ramai kendaraan. Mengingat-ingat kejadian di masa lalu yang pernah mereka hadapi.
"Sayang?" Dira menegakkan badan dan menatap suaminya.
"Hem, kenapa?" tanya Alza dengan tatapan masih ke depan.
"Setelah pulang dari Bogor, kita jemput Puti, ya. Aku kangen sama dia," tutur Dira dengan suara yang sengaja dilembutkan. Berharap Alza akan setuju, kucing kesayangan tinggal bersamanya.
Alza terdiam. Jujur, dia masih belum yakin bisa beradaptasi dengan makhluk berbulu itu. Pasti dia akan bersin atau gatalan. Namun, jika dia menolak keinginan istri apa akan dicap sebagai suami tak bisa membahagiakan istri?
"Ya udah, kalau nggak mau juga gak masalah." Wanita itu memajukan duduknya, mendekatkan wajah ke kaca depan. Dia bersenandung kecil, seolah ingin meredakan kekecewaan.
"Ya udahlah, Za. Nanti aku buatin kandang kucing, jauh dari jangkauan kamu. Jadi, kamu gak perlu takut alergi," usul Jovan. Dia berbicara dengan hati-hati.
Apa salahnya dicoba, kan? Alza lagi-lagi mendehem. Niatnya menarik perhatian sang istri, tetapi wanita itu tak menggubris. Alza membunyikan klakson berkali-kali, bukan karena ada kendaraan di depan. Apalagi kalau bukan untuk mengejutkan Dira? Wanita itu terlonjak mundur ke belakang.
"Gak bisa pelan-pelan apa!?" Suaranya terdengar kasar.
"Kalau pelan-pelan namanya berbisik, Sayang." Ucapan Alza malah membuat penumpang belakang tergelak, sedangkan Dira memajukan bibir dengan kesal.
"Lusa kita jemput Puti, ya."
"Ha?" Dira memutar tubuh 180 °, menatap tak percaya pada suaminya. "Beneran?"
Alza menaikkan sebelah alis. "Emang aku pernah bohong sama kamu?"
"Huwa! Makasih, Sayang!" Tanpa aba-aba, Dira langsung memeluk Alza hingga pria itu dan lainnya berteriak karena ada truk dari depan mereka yang melaju kencang.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...