Jovan menyentuh pipi kanan yang tertampar. Sedikit sakit. Pandangannya berubah tajam, mendorong dan m menyudutkan tubuh Dira ke tembok. "Aku tidak main-main, Dira. Kupastikan kalian akan berpisah!" Jovan menaikkan dagu Dira dengan kasar.
"Kau akan menjadi milikku," lanjutnya kemudian mengempaskan tangannya. Dia berbalik, lalu pergi.
Sepeninggalan Jovan, wanita itu langsung masuk ke rumah. Air mata tak henti-hentinya menetes. Dia mengempaskan diri di sofa. Semua terlalu berat untuk dihadapi. Kenapa semua terjadi? Kenapa dia masuk ke jurang kehidupan ini?
"Kenapa!?" teriak Dira sembari mengepalkan tangan ke udara.
Dira bangkit, pikirannya kacau. Dia berlari ke belakang. Matanya tertuju pada pisau cutter yang terletak di dekat rak piring. Dengan langkah memelan, Dira mengambil benda itu. Tangisnya menderu, untuk apa dia ada di sini? Lebih baik dia pergi saja untuk selamanya.
Pisau yang biasa digunakan memotong bawang kini beralih ke pergelangan tangan kirinya. Tinggal dua senti meter lagi. Namun, dering telepon rumah membuat dia terlonjak kaget. Cutter terjatuh di lantai. Dira tersadar. "Astagfirullah ... apa yang telah kulakukan?" Dia mengusap wajah, menyesal.
Telepon kembali berdering. Dengan langkah gontai Dira menghampiri. Meski agak ragu, tapi akhirnya diterima juga.
"Halo." Suara parau dari seberang membuatnya tertegun. Jantungnya berdegub dengan cepat.
"Halo, Dira ...." Suara dari seberang memelan. Dira mendehem, menetralkan suara.
"I-iya, Mas," sahut Dira. Tetesan bening kembali mengalir.
"Kamu ke sini, ya! Hari ini aku pulang, bosan di sini." Terdengar kekehan pria itu.
Dira menyeka air mata. "Iya, Mas." Dia meletakkan telepon, tubuhnya luruh ke lantai. Andai tadi pisau itu bener-benar menggores tangannya, bagaimana?
Setiap orang yang hidup di dunia sudah barang tentu akan mengalami masalah dalam kehidupannya. Ada yang ringan ada pula yang berat. Yang menjadi persoalan adalah ketika manusia menghadapi suatu masalah yang dianggapnya berat sehingga acapkali merasa tidak kuat memikul beban tersebut. Akhirnya mengambil tindakan keliru dengan cara bunuh diri karena menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik untuk melepaskan impitan masalah yang menimpanya.
Tindakan bunuh diri jelas tidak dengan serta merta menyelesaikan masalah. Dalam pandangan Islam tindakan tersebut adalah tindakan yang diharamkan dan masuk kategori dosa besar.
Logika sederhana pelarangan ini adalah bahwa nyawa adalah milik Allah sehingga kita tidak memiliki hak apapun atas nyawa kita. Sedangkan dosa orang yang melakukan bunuh diri lebih besar dibandingkan membunuh orang lain, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.
"Sungguh orang yang melakukan bunuh diri dosanya lebih besar dibanding orang yang membunuh orang lain," (Lihat Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Darus Salasil, juz III, halaman 239).
"Astagfirullah ... Astagfirullah ...." Dira melantunkan istighfar berkali-kali. Sungguh dia menyesal, hampir saja dia melakukan dosa besar.
Suara azan berkumandang. Dira melirik jam tangan, sudah waktunya salat Zuhur. Dira bangkit, berjalan agak terhuyung ke kamar mandi. Kepalanya pusing. Setelah selesai wudu, Dira pun melaksanakan salat dengan khusyuk. Memohon ampun atas segala kekhilafan.
"Meong!"
Dira mengusap wajah, dia menoleh ke samping. Puti menggigit-gigit ujung mukenahnya. Wanita itu tersenyum, mengangkat kucing itu ke pangkuan. Seperti biasa, Dira akan berbincang. Menceritakan perasaan, dan keluh-kesahnya. Puti merupakan salah satu makhluk paling penting baginya, karena hanya Puti yang akan diam saat dia bercerita.
"Puti ... aku sayang dia, tapi dia nggak. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengalah dan pergi? Tapi hatiku ... pasti terluka. Puti, kamu tau, kan kalau aku mungkin nggak bisa hidup tanpa dia. Yah, dia hidupku walau kutau, dia ingin hidup dengan orang lain. Aku lelah," ungkap Dira sembari mengusap-usap kepala Puti. Kucing itu beringsut lalu menutup mata. Merasakan perlakuan yang selalu penuh kasih sayang dari tuannya.
***
Di rumah sakit, Alza tak bisa tenang. Sejak menelepon Dira sejam yang lalu, rasa cemas kian mendera. Apa lagi mendengar suara sang istri yang serak, seperti baru selesai menangis.
"Za, makan dulu!" titah Nurul, dia menyodorkan semangkuk bubur.
Alza menggeleng." Nggak, Mah. Aku nggak lapar, mau nunggu Dira aja." Tatapannya tak lepas dari pintu.
"Makanya kamu makan dulu, nanti saat Dira datang kamu punya tenaga untuk ngomel," saran Nurul. Dia meletakkan mangkuk itu di atas meja.
"Iya, Den, Non Dira paling gak bisa liat aden sakit. Nanti dia sedih," timpal Bi Ining.
Lagi-lagi Alza menggeleng. Mengambil ponselnya lalu mendial nomor Dira. Tak ada sahutan. Alza turun dari brankar, berjalan cepat ke pintu. Di luar, dia menoleh kanan-kiri. Di pikirannya hanya ada Dira.
Nurul dan Bi Ining saling berpandangan. Mereka bingung mau melakukan apa. Percuma juga, apa pun yang mereka sarankan tetap saja ditolak. Nurul ikut bangkit, mengawasi Alza dari belakang. Pria itu seperti anak ayam yang kehilangan induk, semua tempat dijalani. Sedangkan bibirnya tak henti-henti menyebut nama sang istri. Kini dia sudah tiba di lantai bawah.
"Mas ... kenapa di sini?"
Suara lembut itu membuat langkah Alza terhenti. Buru-buru dia berbalik hingga berhadapan langsung dengan wanita yang mengenakan gamis merah hitam kotak-kotak dengan balutan hijab segitiga hitam. Wanita itu memegang ranjang makanan.
"Akhirnya, kamu datang juga!" Alza berseru lantang. Senyumnya mengembang.
"Mas, kenapa ke luar? Ada yang mau diambil?" Dira bertanya tanpa ekspresi. Senyumnya seolah hilang tanpa jejak.
"Aku kangen kamu," tutur Alza. Dia menarik tubuh sang istri, memeluknya erat.
"Kangen?" Tubuh Dira menegang, dadanya bergemuruh.
"Jantungmu berdebar kencang. Kamu juga pasti kangen sama aku." Alza terkekeh geli kemudian mengendus-sensus di pundak Dira.
Dira tak menanggapi ucapan Alza. Dia ingin berteriak jika rindunya lebih besar, tapi bibirnya terkunci. Memaksa dia untuk diam, tidak usah memberitahu apa pun. Tak ada gunanya.
Alza menutup mata. Sungguh sangat nyaman di sana, dia ingin setiap saat menghabiskan waktu seperti itu. Kenapa tidak dari dulu dia jatuh hati? Kenapa baru sekarang dia menyadari kalau cintanya sudah dimiliki Dira sepenuhnya. Sudah tiba waktu untuk menyelesaikan semua, memulai kehidupan mereka dengan awal yang baik. Bukan karena perjodohan, tetapi cinta di antara keduanya.
"I love you," ujar Alza dengan mata yang masih tertutup.
"A-apa?"
Alza melepas pelukan, dia memegang kedua pundak sang istri. Tersenyum manis kemudian berucap,"Aku mencintaimu istriku. Sungguh!" Dia mengacungkan dua jari yang membentuk huruf v.
Dira menurunkan tangan dengan perlahan. Pria itu mengerutkan dahi, tak mengerti. Apa yang salah? Dira tak percaya atau bagaimana?
"Kenapa?" Kata itu yang terlontar dari bibir Alza, tatapan mereka bertemu.
"A-a-aku ... nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Mas. Kita lebih baik berpisah."
"Hah, pisah!?" Bagai tersambar petir, tubuh Alza melemah. Bahunya merosot. "Kenapa?"
"Karena ... kita nggak cocok, Mas. Kamu nggak bahagia, aku nggak berhak merusak kebahagiaan kamu." Dira terisak.
"Aku mencintaimu sekarang, Dir. Aku tau, selama ini telah banyak menyakitimu. Tapi sekarang ... semua udah beda!" sanggah Alza, dia tak bisa terima keputusan Dira.
"Tentu saja dia mau pisah, Za. Dia, kan sudah punya kekasih baru."
Suara itu membuat mereka tersentak dan menoleh. Seorang wanita berjalan dengan lemah gemulai ke arah mereka. Dira mengigit bibir, masalah bertambah lagi.
***
Siapakah dia? Cus ... tungguin, ya!
Insya Allah akan rutin up setiap hari, kalo nggak lemas. Hehhe
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...