14. Namamu yang Tertera

179 20 3
                                    

Waktu sudah menunjuk ke angka 03.00, tetapi Dira tak kunjung tenang. Dia mondar-mandir, sangat cemas dengan keadaan Alza yang tak kunjung siuman. Matanya sembab karena menangis selama berjam-jam.

"Udahlah, Dek. Kamu tenang aja, dia akan akan kenapa-kenapa," ujar Jovan. Dia menguap lebar, lelah menemani Dira.

"Kalo kamu mau pergi, ya pergi aja. Aku mau nunggu suamiku!" balas Dira tegas. Dia mengusap wajah dengan kasar.

Jovan terdiam, dia sudah tak kuat menahan kantuk. Tubuhnya merosot, tidur di kursi tunggu. Sedangkan Dira tetap menatap pintu ICU, berharap segera terbuka.

"Mas ... aku sayang kamu." Hanya itu yang terlontar sebelum kemudian tangis menderu.

"Dengan keluarga Pak Alza?" Seorang dokter wanita menghampiri. Dira sontak mengangkat wajah. Dia mengangguk cepat dan mendekati dokter itu.

"Iya, Dok. Gimana keadaan suami saya?" Dira bertanya tak sabaran.

"Pak Alza sudah sadar, dia akan segera dipindah ke kamar inap. Dokter itu berlalu, Dira mengucap syukur. Dia bergegas masuk ke ruangan di mana Alza terbaring.

"Mas Alza," lirih Dira, tetesan bening kembali mengalir.

Alza membuka mata, tersenyum kecil. "Sini!" Dia menunjuk dadanya.

Dira menghambur ke pelukan sang suami. Melepaskan semua tangis di sana. Alza merintih, tetapi dia menahan agar tak bersuara. Dia mengusap kepala Dira dengan lembut.

"Dira ...," panggilnya pelan. Namun, karena tak ada sahutan Alza menaikkan kepala. Ternyata wanita itu tertidur. Alza terkekeh geli.

"Suster!"

Seorang suster datang menghampiri. Alza mengisyaratkan agar suster itu membantu menggeser tubuh Dira ke sampingnya. "Bantu geser istri saya ke sebelah ini!"

Suster itu mengangguk patuh. Alza bergeser ke pinggir, hingga mereka muat berdua di brankar. Si suster terlihat cemas. "Tapi, Pak, hal ini tidak diperbolehkan di rumah sakit. Takutnya mengganggu kenyamanan dan penyembuhan luka bapak."

"Suster tenang aja. Gak akan ada masalah." Alza mengucapkan terima kasih.

"Baiklah, kalau gitu saya permisi, Pak," ujar suster pamitan.

Alza mengangguk lalu kembali merebahkan badan di samping sang istri. Dia mengusap pipi Dira pelan, lanjut ke mata. "Mata kamu bengkak, pasti nangis terus, ya? Maafin aku belum bisa menjadi suami yang baik." Dikecup dahi sang istri dengan lembut. Lalu dia pun memejamkan mata.

***

Silau cahaya dari kaca yang gordennya sudah terbuka menerpa wajahnya. Dira melenguh, merentangkan tangan. Namun, dia segera membuka mata saat tangannya bersentuhan dengan bibir Alza. Astagfirullah. Dira menutup mulut dengan kedua tangan, dan segera duduk. Dia menyapu seluruh ruangan, hanya ada mereka berdua.

Di meja sudah ada bubur, sarapan Alza. Itu tandanya suster sudah masuk tadi. Dira mencari keberadaan jam dinding, tetapi tak ada. Rumah sakit apa ini, jam saja tak ada. Perlahan Dira mulai turun, dia hendak mengambil ponsel dari tasnya yang terletak di meja. Namun, sayang kakinya menabrak kaki tempat tidur hingga membuatnya terjerembab ke lantai.

"Astagfirullah ... sakit," keluh Dira. Dia mencoba bangkit, tetapi rasanya sulit.

"Makanya hati-hati!"

Dira terinjak saat seseorang mengangkat tubuhnya. Wanita itu terdiam, hanya menatap si pemilik suara. Alza terlihat lebih tampan jika dilihat dari dekat. Wajah yang brewokan begitu indah, ingin sekali mengelusnya. Namun, itu hanya dalam khayal Dira. Mana mungkin dia melakukan itu.

"Kamu mau ke mana, sih?" Alza meletakkan Dira di atas brankar.

Dira merapikan jilbab bunga-bunga yang dikenakan." Em, kok aku bisa tidur di sini?"

"Emang nggak mau tidur sama suami?" Alza menaikkan sebelah alis.

"Bu-bukan gitu. Mak-maksudku, yang sakit, kan kamu kenapa aku yang di sini?" Dira menggigit bibir, takut salah bicara.

"Pengen aja tidur sama bini." Alza duduk di kursi, dia mengambil bubur yang ada di meja. "Tadi ... suster mau nyuapin aku, tapi aku mau disuapin kamu." Alza menyodorkan mangkuk dan sendok.

"A-aku?" Dira menunjuk diri sendiri. Dia benar-benar tak menyangka hal itu. Apa Alza melakukan itu karena mereka akan berpisah? Ah, lagi-lagi pikiran buruk Dira menghampiri. Ya, sudah jika memang itu untuk masa-masa menjelang perpisahan mereka, tidak apa. Dira akan terima.

Senyum kecil terbit saat Dira menerima bubur itu. Dia mulai menyendok, kemudian menyodorkan pada Alza. Tatapan sang suami tak berpaling sama sekali, bibirnya juga terus menyunggingkan senyum.

"Dira ... aku mencintaimu. Aku tak akan melepaskanmu!" Suara hati Alza berseru. Dia meraih tangan wanita yang tengah menyuapi itu. Lalu mengecupnya lembut.

"Dira ... maafkan aku selama ini tidak bisa menjadi suami yang baik," tutur Alza.

Dira menggeleng. "Makanan, Mas," ucapnya sembari menyodorkan sesendok bubur.

"Aku udah kenyang, buburnya gak enak. Lebih enak nasi goreng buatan kamu!" Alza tersenyum dengan alis mata yang dinaik-turunkan.

"Mas belum bisa makan nasi goreng. Kata dokter rahang mas belum pulih bener!" Dira yang paham maksud sang suami mulai menasehati. Kata dokter, ada cidera di rahang dan dada akibat serangan yang membabi buta Jovan. Dira menyesali semua kejadian itu.

"Gak sakit lagi, lho. Au!" Alza memekik saat mencoba membuka mulut dengan lebar. Dia meringis kesakitan.

Dira meletakan mangkok bubur di meja, lalu turun. "Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Sini aku liat!"

Dira menitahkan Alza buka mulut, tetapi pria itu malah menutup rapat. Dia menggeleng. Dira meremas tangan, kesal. "Kalau gitu aku panggil dokter aja."

"Eh, jangan!" pekik Alza spontan. Dia menutup mulut dengan sebelah tangan. Niatnya mengerjai Dira gagal, deh.

"Oh ... kamu pura-pura? Ok, aku pulang. Males!" Dira menyambar tasnya dari atas meja. Namun, baru selangkah dia berjalan tangan Alza sudah mencekal pergelangan tangannya.

"Jangan pergi! Masa kamu ninggalin suami sendirian. Mau jadi istri durkaha kamu?"

"Durkaha? Apaan?" Dira sontak berbalik. Kata durkaha begitu janggal di telinganya.

Perlahan cekalan Alza terlepas. Dia menggaruk tengkuk. "Durhaka maksudnya, hehe."

Dira bersedekap." Kalau istri gak boleh durhaka, terus suami selingkuh itu namanya apa?"

Tiba-tiba suasana berubah tegang. Mereka seolah terlempar ke gua gelap yang mencekam. Tak ada cahaya, tak ada suara. Mereka berhadapan, tetapi tak sejalan. Alza berbalik, duduk di atas tempat tidur.

"Maksud kamu apa?"

Dira terkekeh," Gak ada maksud apa-apa. Lagian ... percuma juga, kan kalo aku bilang ada apa apa. Kamu nggak akan mengerti, kamu nggak akan peduli!" seru Dira mulai terisak.

"Kamu nggak tau, ini juga sulit buatku. Aku ... aku nggak bisa meninggalkan Claudia." Penuturan Alza semakin menyesakkan dada Dira. Dia berbalik, membuka pintu lalu berlari dengan cepat. Biarkan dia menangis sendiri, merenungi nasib.

"Tapi aku juga gak bisa pisah darimu. Namamu tertera di hatiku," lanjut Alza. Dia menaikkan pandangan, tetapi sudah tak ada istrinya. Buru buru dia bangkit sambari meneriakkan nama Dira.

***

Alhamdulillah hari ini bisa up lagi heheh ....

Happy reading, kalo suka boleh tinggal jejak, ya. Kalo nggak juga gak apa-apa. See you next part ~

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang