26. Sedarah?

161 10 1
                                    

"Anak?" Pak Adi melepas tangan Talia, bahunya merosot mendengar kenyataan itu. Anak Talia berarti anaknya juga, kan?

Alza menyadari perubahan ekspresi sang papa. Dia melangkah maju, menatap punggung wanita yang tengah berlari. Dada Alza naik turun. "Wanita itu kembali?"

"Siapa?" Dira yang tak tau apa hanya bisa menanyakan hal itu. Bukannya mendapat jawaban, Alza malah menariknya pergi dari tempat itu. Meninggalkan Pak Adi yang masih bergeming.

Selama perjalan pulang, tak ada percakapan di antara mereka. Alza fokus menyetir, sedangkan Dira menatapnya penuh tanda tanya. Masalah apa lagi sekarang?

"Ayo," ajak Alza sembari membuka pintu rumah. Dia menitahkan Dira masuk terlebih dahulu, sedangkan dia sendiri kembali  ke mobil untuk mengangkat barang-barang mereka.

"Mas," panggil Dira menghentikan kegiatan suaminya.

Alza tersenyum, kemudian mengusap pucuk kepala sang istri. "Kenapa, Sayang?"

"Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa?" Dira memayunkan bibir. "Dari tadi diam terus."

"Aku gak apa-apa," jawab Alza terkekeh kecil, "liat, apa aku terluka?" Alza memutar tubuhnya di depan Dira.

Bohong! Suara hati Dira berontak. Dia tak percaya begitu saja. Mana mungkin semua baik baik saja, tetapi wajahnya kusut begitu?

"Kamu gak percaya?" Alza mencolek pinggang istrinya.

Wanita itu tersentak, langsung memukul lengan Alza. "Geli tau." Dia mengerucutkan bibir, lalu berbalik. Dengan perasaan dongkol, Dira masuk kamar tanpa menghiraukan panggilan sang suami.

"Nanti juga kamu tau," lirih Alza sebelum menutup pintu. Dia menjatuhkan bokong di sofa,  menghela napas panjang. Terbayang kenangan beberapa tahun lalu, saat seorang wanita datang ke rumah keluarga Mahendra.

"Talia, jauhi suamiku! Aku akan lakukan apa pun asal kamu pergi dari hidup kami." Mama Alza berlutut di hadapan wanita yang dipanggil Talia. Waktu itu usia Alza masih lima belas tahun, berketepatan saat dia baru pulang dari pondok karena libur semester.

Wanita berambut merah bergelombang itu terkekeh kecil. "Maaf, Lisma. Aku dan Mas Adi saling mencintai. Lagian anak kami sudah besar, mungkin sebentar lagi kami akan tinggal bersama."

"Nggak! Pergilah dari sini!" Mama Alza mendorong wanita itu hingga tersungkur di lantai. Derai air mata mama Alza kian deras, tubuhnya bergetar kuat.

Saat Lisma akan pergi, tiba-tiba Talia bangkit dan mendorongnya sekuat tenaga. Alhasil wanita yang menggunakan hijab abu-abu itu terjatuh, kepalanya terbentur ke meja besi yang tak jauh dari mereka.

"Mama!" teriak Alza, dia keluar dari balik pintu.

Darah mulai mengucur dari dahi Lisma, tangis Alza tak bisa ditahan. Dia meraung, mengguncang tubuh sang mama. Talia menyesal, menjambak rambutnya sendiri.

"Pembunuh, pergi kau! Tolong!" Alza berteriak, suaranya sudah hampir habis.

Talia menggeleng, berlari keluar. Pergi tanpa mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sejak saat itu wanita itu tak pernah terlihat dan tak ada yang mengingat lagi. Termasuk Pak Adi, papa Alza. Karena wanita itu, Alza kehilangan sang mama dan karena dia juga Alza membenci Pak Adi. Kenapa setelah Alza memaafkan sang papa, wanita itu kembali?

Alza memejamkan mata, meredam emosi. Tetesan demi tetesan mengalir begitu saja, sakit rasanya mengingat semua.

***

"Kurang ajar, ini palsu!" Claudia menyerakkan semua berkas yang tadi tertata rapi di lemari. Dia tak terima ditipu. Sudah bersusah payah mendapatkan, tetapi malah palsu.

"Clau ... kamu baik-baik saja?"

Claudia berbalik, menatap sinis wanita yang menghampiri dengan cemas. "Ngapain ke sini? Pergi!"

Talia menggeleng, menarik tangan putrinya. "Mama harus katakan satu hal sama kamu."

Claudia memutar bola mata. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergilah!" Wanita itu mendorong mamanya hingga hampir terjengkang.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Claudia. Dia memejamkan mata, rasanya perih.

"Sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Jangan egois!"

Claudia mendongak. "Egois? Kalian yang egois, meninggalkanku sendiri. Kalian bercerai, lalu pergi. Tidak pernah memikirkan hidupku."

Talia menunduk, buliran bening membasahi pipi. Bukan keingingannya untuk berpisah, tetapi untuk apa hidup bersama orang yang tidak saling mencintai. Dulu dia menikah, semata-mata agar Claudia punya papa. Namun, tak semua rencana sesuai alur hidup. Pria yang dinikahi malah jatuh cinta pada wanita lain dan memutuskan untuk pergi.

"Kenapa diam? Karena semua benar." Claudia berbalik, memejamkan mata. Dia seperti kuku yang tersungkap dari jari. Sendirian, bahkan orang menganggapnya sampah.

"Sekarang aku tanya, kenapa datang ke hidupku lagi?" Suara Claudia bergetar.

"Mama cuma mau ngasih tau kamu satu hal penting. Terserah mau percaya atau nggak." Talia menarik napas, lalu mengembuskannya. "Papa kandungmu ada di sini, di dekatmu."

Ucapan Talia membuat napas Claudia menderu. "Papa?"

Talia mengangguk tegas,  berjalan ke depan putrinya. Memegang kedua bahu Claudia, lalu berujar, "Pak Adi adalah papa kandungmu."

Sontak Claudia mengangkat wajah, menatap sang mama tak percaya. Mana mungkin papa dari pria yang dicintai adalah papa kandungnya sendiri? Dengan kasar dilepas tangan Talia dari bahunya. "Kebohongan apa lagi ini?"

"Ini fakta, Nak," ujar Talia dengan mimik meyakinkan Claudia. Dia merogoh kantong tas, mengeluarkan sebuah foto usang berisikan tiga orang. Pak Adi, Talia dan seorang anak perempuan berumur dua tahun.

"Lihat ini! Foto masa kecil kamu." Talia menyodorkan gambar itu.

Dengan tangan bergetar, Claudia menerima benda itu. Menatap lekat wajah-wajah yang ada di sana. "Lalu kenapa baru sekarang aku tau?"

"Mama melakukan kesalahan di masa lalu. Kamu lahir, tetapi kami belum menikah. Mama menikah dengan Papa Zulfan demi menutupi kesalahan itu, tetapi mama tak bisa menghilangkan rasa mama pada Mas Adi. Mama berusaha merebutnya dari Lisma. Naasnya, mama malah membuat wanita itu meninggal." Talia mengungkapkan kisah masa lalu mereka.

"Alza?"

"Alza kakak kamu. Kalian sedarah."

Tubuh Claudia melemas, tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Dia luruh ke lantai dengan genangan air mata, hanya itu yang dapat dilakukan. Untuk apa dia hidup? Tak ada yang berarti.

Dengan perlahan, Claudia merosot ke meja dekat tempat tidurnya. Mengamit pisau lipat berwarna merah. Tanpa membuang waktu, langsung saja dia menyayat pergelangan tangannya.

"Claudia!" pekik Talia, berlari menghampiri.

Darah menetes ke lantai. Tubuh Claudia kian lemah,  bahkan untuk duduk sudah tak kuat lagi. Dia jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Talia berteriak histeris meminta pertolongan.

Dengan tangan gemetar, Talia mengambil ponselnya. Mengotak-atik -- menelepon seseorang. Tak lama kemudian terdengar sahutan dari seberang menanyakan ada apa. Isakan Talia yang mengencang malah membuat orang di seberang panik.

[Talia, ada apa? Katakan!]

"Mas, tolong datang ke sini. Aku membutuhkan bantuanmu, Claudia harus dibawa ke Rumah Sakit sekarang." Suara Talia serak.

[Ada apa dengan Claudia?]

"Cepatlah ke mari!" Talia memutuskan panggilan. Dia tak peduli apa yang terjadi selanjutnya, Claudia harus segera ditangani. Meski dia harus menunjukkan wajah di depan seluruh keluarga Mahendra dan meringkuk di jeruji besi. Dia ikhlas, asal anaknya baik- baik saja.

"Claudia, bangun!"

***

Siapa yang ditelepon? Sudah tau pasti ye kan ^-^

Kekasih (Tak) Halal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang