Kehidupan percintaan seseorang bisa diceritakan dengan begitu bahagia. Namun, ada sebagian orang yang menceritakan kehidupan percintaan mereka dengan penuh kesedihan. Terkadang banyak orang memunculkan pertanyaan, apa makna dari cinta itu sendiri. Cinta memiliki makna yang mendalam. Cinta itu abstrak dan universal. Karena percintaan menciptakan pandangan yang berbeda untuk setiap orang.
Cinta mampu menghadirkan pesona yang begitu memikat bagi siapa saja. Cinta dapat diibaratkan seperti pasir. Ketika kamu menggenggamnya terlalu erat, butiran pasir akan berjatuhan. Jika pasir tersebut tidak digenggam dengan baik atau genggamannya terlalu lemah, butiran pasirnya juga akan berjatuhan. Karena itu, genggamlah pasir tersebut dengan tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah. Begitu pula dengan cinta. Genggamlah cinta dengan takaran porsi yang pas.
Cinta mampu menunjukan kesetiaan, keharmonisan, kepekaan, kebahagiaan, bahkan kesedihan. Kisah cinta selalu berbicara tentang aku dan kamu. Ketika seseorang mencintai kamu, itu berarti dia akan melakukan apapun untuk dirimu. Namun, cinta bukan pada masalah dia akan melakukan apapun untuk kamu, melainkan cinta selalu bercerita dengan keunikannya antara aku dan kamu.
Jika cuma satu orang yang berjuang dalam percintaan, berarti itu bukan cinta. Karena cinta pada dasarnya harus memiliki timbal balik antara kamu dan aku.
Pandangan negatif terhadap cinta yaitu cinta mampu menghancurkan. Banyak orang terjebak dengan cinta yang salah. Cinta yang membunuh, cinta yang menghancurkan, bahkan cinta yang menghancurkan mimpi-mimpi kamu. Cinta seperti ini adalah cinta yang disertai perasaan emosi yang tidak terkendalikan, yang dapat mengakibatkan kehancuran.
Dira tertegun saat membaca sebuah artikel tentang cinta. Dia melirik pintu yang tak kunjung terbuka. Ke mana Alza?
"Bentar lagi pasti datang," katanya pada diri sendiri.
Setengah jam berlalu, sang suami tak kunjung masuk. Dia mulai cemas, bangkit dari tempat tidur. Tatapan Dira terhenti pada sofa, di mana Alza terlelap.
"Hais, ditungguin dari tadi. Ternyata tidur di sini." Dira menghampiri dengan langkah pelan.
Wanita itu duduk di lantai, menatap suaminya dengan seksama. Ada yang berbeda, lelaki itu tampak lelah. "Mas ... pindah ke kamar aja."
Tak sulit membangunkan Alza, dia langsung membuka mata dengan senyum lebar. "Apa, Sayang?"
"Apa-apa, gak tau apa orang nungguin di kamar. Eh, malah molor di sini." Dira berucap ketus.
"Gak bisa tidur tanpa aku, ya?" goda Alza. Matanya berkedip genit.
"Apaan, sih?" Pipi Dira memerah, malu.
"Bener, kan?" tanya Alza, "tidur, yuk!" Dengan gerakan cepat pria itu menggendong sang istri, berlari ke kamar.
"Mas, awas!"
Bruk!
"Aww!"
Keduanya terempas di lantai setelah menabrak pintu kamar. Alza mengusap jidat yang memerah, sedangkan Dira meringis kesakitan di bokong.
"Maaf."
Mendengar kata itu, Dira jadi emosi. "Makanya kalau jalan liat-liat! Sekarang apa lagi yang mau kau bilang?"
"Maaf."
"Ihh, udah deh! Aku gak bisa berdiri lagi, nih." Dengan susah payah, Dira pun bangkit. Setelah itu dia meninggalkan Alza yang terdiam di tempat.
***
"Selamat pagi!"
Dira tersentak, hampir saja melemparkan spatula yang ada di tangannya. Untung saja masih bisa ditahan, kalau tidak pasti kepala pria yang tiba-tiba datang itu benjol.
"Astagfirullah, Abang! Kalau datang itu ketuk pintu dulu, ucap salam. Ini malah langsung nyosor ke belakang, coba kalau aku punya sakit jantung. Udah mati muda aku," omel Dira panjang lebar.
"Ye, cerewet amat, Neng. Lagi ngidam, ya?" Pria itu mengedipkan sebelah mata.
"Bang Jovan ngapain, sih ke sini? Bikin kesal aja!"
"Aku mau jumpai suami kaulah. Mana dia? Tadi suruh jemput," kata Jovan sembari mengambil kacang yang sudah digoreng.
"Mau ke mana?" tanya Dira pelan.
Jovan mengangkat bahu. Bukan tidak tau, tetapi Alza melarangnya memberitahukan apapun pada Dira untuk sekarang. Entahlah, Jovan juga tak tau alasannya, tetapi dia yakin sahabatnya itu pasti sudah memikirkan semua dengan matang.
"Main rahasiaan sekarang? Oke," ujar Dira, lalu melenggang pergi.
Jovan menepuk dahi sendiri. "Jovan goblok banget, sih!"
Di kamar Alza sudah siap dengan setelan jas hitam dengan dalaman kemeja putih layaknya akan berangkat ke Kantor. Namun, tebakan Dira suaminya tidak akan pergi kerja. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Kalau tidak untuk apa Jovan datang menjemput, sedangkan Kantor mereka saja berlawanan arah.
"Ehem!" Deheman Dira berhasil menyentak suaminya. Pria itu tersenyum kecil, lalu mengamit tas kerjanya dari atas meja.
"Sayang, aku sarapan di Kantor aja, ya," tandas Alza sembari mengulurkan tangan.
"Kenapa? Udah bosan makan masakanku?" Dira berbalik, meninggalkan sang suami yang berdiri tercengang.
"Eh, gak gitu. Aku cuma takut telat." Alza mencoba menyeimbangkan langkah.
Dira mengangguk pelan, tetesan bening mengalir begitu saja. Entahlah, dia sedih hanya karena hal sepele. Mungkin Alza punya urusan penting yang tak bisa ditinggalkan 'kan? Hatinya mencoba menerima, tetapi pikiran buruk datang menghantui.
"Sayang ... kamu tau, air matamu adalah derita untukku." Alza memutar tubuh Dira hingga mereka saling berhadapan. Dengan lembut diamit tangan sang istri, dikecup lama.
"Genggaman tangan ini mungkin tak berarti apa-apa bagi orang lain, tapi bagiku ... ini adalah penguat. Menguatkan aku melangkah ke depan, menata kehidupan kita yang lebih indah," tutur Alza. Dia memejamkan mata.
"Terus kenapa kamu bohong? Apa yang kalian rahasiakan dariku?" Dira mulai tersedu.
"Kamu akan segera tau, Sayang. Tetap di rumah, ya. Nanti sore akan kujelaskan semua." Alza melepas genggaman tangannya, bangkit masih dengan senyum menghiasi bibirnya.
"Kita berangkat?"
Entah sejak kapan Jovan ada di situ, dia menatap Dira dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Namun, menit selanjutnya dia tersenyum lebar. "Dah, Cantik."
Mereka pun pergi mengendarai mobil Jovan. Dira menghapus air matanya, lalu berlari ke kamar. Dia membuka lemari pakaian Alza, membongkar bagian bawah baju.
"Ke mana, sih?" Dira menggigit jari, bingung harus mencari selebaran kertas yang pernah ditemukan saat menyapu. Namun karena takut dimarahi Alza, dia memilih menyembunyikan kertas itu di lemari sang suami.
Samar-samar Dira mengingat itu kertas berisikan foto dua remaja berseragam SMA yang tengah duduk di taman. Yang pria diyakini adalah Alza, sedangkan wanita yang di sampingnya tak tau siapa.
"Apa udah dibuang? Tapi ... masa, sih?" Dira berbicara pada dirinya sendiri.
Karena tak kunjung ditemukan, wanita itu pun menutup lemari. Mengempaskan badan di tempat tidur dengan kasar. Tak sengaja kepalanya menimpa sesuatu yang keras. Apa itu? Dengan hati-hati Dira membuka sprei tempat tidur. Jantungnya hampir melompat saat menemukan kotak segi empat berwarna hitam. Ukurannya kita-kira 4 X 6 inci.
Foto itulah yang sedang dicari. Waktu itu belum berbingkai, sekarang sudah. Itu artinya ada yang memasang bingkainya 'kan? Alza?
"Di sini juga kamu menggenggam tangannya, berarti dia juga penguat buat kamu?" Air mata lagi-lagi tak tertahan. "Ihh! Kenapa cengeng gini, sih aku?" Antara sadar dan tak sadar Dira melemparkan bingkai itu ke dinding hingga pecah--berserakan di lantai.
"Astagfirullah, fotonya?"
***
Selama idulfitri, mohon maaf lahir dan batin ;)
Maaf telat hehhe
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih (Tak) Halal ✓
RomanceSetelah kehilangan kedua orang tuanya yang mengalami kecelakan Nadira dinikahkan dengan Alza, pria ketus yang jarang tersenyum. Mereka sudah dijodohkan sejak lama oleh orang tua mereka. Namun, karena hal itu pula Alza membenci Nadira, dan sengaja me...