Bagian 11

16 0 0
                                    

Ada satu hal yang membuat Mika lupa, bahwa Evan sudah pindah ke sekolah yang sama dengan dirinya. Dan sekarang sudah satu minggu terakhir kali Mika bertemu Evan saat di kantin,tidak sendiri Evan di temani cewek yang sudah Mika ketahui saat pertama kali masuk ke sekolah ini.

Andita Saneera, Dita. Walaupun tak terlalu akrab, namun Mika tahu bahwa Dita adalah salah satu siswi yang banyak dilirik oleh banyak siswa. Bukan hanya wajahnya yang cantik juga manis, Dita dikenal di sekolah ini karena prestasi yang sudah beberapa kali Dita raih.

Dan Mika tahu, Dita sangat ramah pada siapa saja. Dan sekarang Evan sekelas dengan Dita,bukan dirinya. Maka saat Mika mengetahui Dita mulai dekat dengan Evan entah kenapa membuat hati Mika sedikit sesak.

Dalam satu minggu terakhir bukan hanya sekali namun sering Mika melihat mereka bersama walau terkadang ada teman sekelasnya yang lain bersama Dita dan Evan, bukan Mika yang melihat tapi sahabatnya, Karin.

Walau begitu Mika berusaha menahan sesak itu, mengingat Evan yang begitu dingin padanya menganggap seolah tak kenal. Namun Mika tidak pernah lupa masa kecil mereka dan sekarang kenyataannya Evan benar-benar melupakan itu.

***
Menatap langit malam yang entah kenapa cahaya bulan menghias, tak ada tanda gumpalan hitam yang akan menurunkan air ke bumi.

Menghela nafas berat Mika meneguk susu hangat yang berada digenggamanya dengan pelan. Merubah posisi kini Mika bersandar di sisi jendela, matanya melirik pada buku yang menampilkan halaman berisi kata-kata yang tergeletak di meja belajar.

Sebuah kalimat yang akhirnya membuat Mika menghentikan dari kegiatan membaca lalu menatap sang rembulan dilangit malam.

Ada saat dimana pura-pura tidak melihatmu lebih mudah dari pada memandangmu -meski sejenak
Sikap dan wajahmu selalu pandai membuat luka di dada kembali menganga.

Dalam satu minggu ini Mika benar-benar menolak untuk menatap cowok itu, semua perhatiannya ia alihkan pada Raman dan Karin sahabatnya, namun berusaha tidak memikirkan Evan adalah sia-sia.

Kenapa pengaruh Evan begitu hebat untuknya?

Tersadar dari lamunan saat suara ketukan pintu terdengar lalu tak lama muncul Dewi yang menyembulkan kepala.

"Turun yuk kita makan malam."

Mengangguk sebagai jawaban kini Mika menaikkan sebelah alis kala melihat Dewi yang bukannya bersiap kembali turun malah masuk ke kamar dengan tersenyum dan duduk di tepi ranjang menghadap Mika.

"Mama kenapa gak turun kok malah duduk di sini?" Mika menatap heran sedangkan Dewi terkekeh, "kenapa sih gak boleh ya Mama duduk di sini?"

Entah kenapa beberapa hari ini Mika malas sekali bicara, bicara seperlunya lalu setelah itu kembali diam. Maka untuk kali ini Mika hanya mengedikkan bahu, Mika sangat malas untuk meladeni Mama yang ujungnya menggoda Mika.

Mika kembali menatap langit dengan memejamkan kelopak mata sesekali merasakan sejuk saat angin malam membelai wajahnya.

"Raman baik ya."

"Hmm," merasakan tatapan Dewi menembus punggung Mika berusaha tak berbalik untuk melihat Dewi yang Mika yakin percakapan ini tak bisa berhenti begitu saja sebelum Dewi mengungkapkan apa yang wanita setengah baya itu ingin sampaikan.

"Mama senang ternyata Raman mencintai kamu." Terpaksa membuka mata yang menampilkan langit malam dengan cepat Mika berbalik menatap Dewi. "Hah?"

"Kenapa kamu gak coba buat mencintai Raman?" Mika benar-benar tidak mengerti kenapa Dewi membahas ini. "Ma, aku gak bi--"

"Sampai kapanpun kamu gak akan pernah bisa membuka hati kalo kamu sendiri gak mau berusaha." Kembali ingin membuka suara, dengan cepat Dewi langsung berucap.

"Semua orang bebas untuk mencintai siapa saja, Mama tahu itu." Masih menampilkan raut tenang kini Dewi tersenyum menatap Mika yang sudah tidak nyaman atas percakapan ini.

"Sekali saja. Tolong jangan abaikan orang yang benar-benar tulus mencintai kamu." Berjalan menghampiri Mika yang masih diam, bingung ingin mengatakan apa saking banyaknya pernyataan yang berkecamuk di kepala.

Mengusap pipi anaknya Dewi kembali menerbitkan senyum, "Mama sayang kamu."

Dewi berbalik lalu mendongakkan kepala sambil menghembuskan nafas pelan. Sebelum benar-benar keluar dari kamar anaknya Dewi menoleh, "yuk turun, Mama yakin deh makanannya pasti sudah dingin." Terkekeh lalu Dewi benar-benar meninggalkan Mika yang kini menatap punggung Dewi yang perlahan menghilang di balik pintu.

"Maaf,,," lirihnya.

******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, Terimakasih.

Salam,

MIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang