Kali kedua bisa mengobrol bersama rasanya kata senyum selalu tersemat di bibir Mika. Seperti saat ini contohnya, menatap seseorang yang duduk dengan kedua tangan yang dilipat di meja menopang kepala dengan wajah yang disembunyikan oleh sebuah buku namun Mika hafal betul postur tubuhnya, Evan.
Tidak tahu kenapa cowok itu yang sekilas bisa Mika lihat sedang tidur di sini, perpustakaan. Enggan mengganggu Mika memilih duduk di sebelahnya dengan hati-hati agar Evan tak terganggu oleh suara yang ia timbulkan. Meletakkan buku yang tadi Mika ambil kini menoleh lagi pada Evan yang mungkin masih tidur di jam istirahat begini?
"Berada sedekat ini kenapa rasanya menenangkan?" Gumamnya.
Karena tempat biasa Mika duduki di perpustakaan ini berada di bagian pojok belakang tepat menghadap taman sekolah Mika benar-benar bisa menikmatinya lewat kaca perpustakaan ini. Tempat yang paling nyaman kala cowok itu belum kembali ke sini, tempat ini pula yang menjadi pelarian kala kegalauan melanda dan kini Mika terkekeh membayangkan itu.
Tatapannya kembali pada sosok cowok di sampingnya yang kini buku itu sedikit melorot hingga menampilkan sedikit bagian pipi, Mika tersenyum saat ujung alis tebalnya seolah mengintip rasanya Mika ingin sekali mengusap alis tebal itu.
Namun sebelum keinginannya itu menjadi nyata, cowok itu menggeliat pelan dan dengan hati-hati Evan menegakkan kepala saat netranya mencoba menyesuaikan cahaya yang terpantul dari kaca di hadapan mereka.
Merasa diperhatikan Evan segera menoleh dan agaknya sedikit terkejut saat mendapati Mika ada di sampingnya entah sejak kapan berada di sini. "Udah lama?"
Mika tersenyum, "lumayan."
"Ngapain di sini?"
Dengan nada sedikit menyombongkn Mika menjawab, "Ini tempat biasa Mika duduk di perpus kalo kamu gak tahu." Evan malah terkekeh, "oh ya?"
Mika hanya mengangguk lalu tatapannya kembali pada taman. "Menurut gue ini nyaman, walaupun tempat ini di pojokan dan jarang orang yang mau duduk di sini tapi ini beneran nyaman loh," Evan menjeda ucapannya. "Nyaman buat tidur maksudnya." cowok itu tertawa sampai Mika mengalihkan kembali tatapannya pada cowok ini.
"Walaupun pencahayaannya agak redup itu gak jadi masalah sih, karena terangnya awan bisa kita lihat dari sini dan saat tatapan kita mandang ke depan rasanya puas saat melihat taman itu." Jari telunjuk Mika terulur pada taman yang banyak ditumbuhi bunga juga tanaman hias lain.
Evan hanya diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Mika. "Oh iya, kamu kok ada di sini sebelum jam istirahat?"
Mengerjap Evan merubah posisinya menghadap ke arah Mika sepenuhnya dan reaksi Mika? Detak jantungnya makin berdebar karena hal sepele seperti itu namun berefek pada jantungnya yang kian berdebar kian cepat, "Jam kosong, tiba-tiba Bu Elena gak bisa datang." Mengangguk Mika mengerti, Bu Elena yang Mika tahu guru yang mengajar mata pelajaran bahasa inggris yang kebetulan juga mengajar di kelas dirinya,
"Kenapa gak diam di kelas?" Kali ini Mika bisa menghadapi rasa canggung diantara mereka, namun rasa gugup sering Mika rasakan saat berhadapan dengan Evan padahal dulu saat mereka kecil rasa itu semuanya tidak ada hanya nyaman yang benar-benar dirasakan. Ah mengingat masalalu lagi!
"Males, di kelas bener-bener gak kondusif. Berisik dan bikin pusing!" Mika tersenyum, "gak ada tugas gitu?" Dan Mika hanya berbasa-basi mengatakan itu bingung bagaimana caranya agar percakapan ini jangan dulu terhenti.
"Ada."
"Lalu?" Dan Evan enggan membahas itu dan terbukti hanya dengan mengendikkan bahu tak peduli sebagai jawaban.
Hening, hanya ada suara bising dari siswa lain yang berada di perpus ini yang kebetulan cukup ramai karena jam istirahat dan hanya segelintir siswa yang hilir mudik di rak pojok dekat Mika dan Evan berada.
Evan berdeham saat akan bicara, "apa yang lo rasakan selama ini?" Evan memperhatikan tiap lekuk wajah Mika, "hah?"
Kala netranya mengikat sang lawan, perasaan seperti ada yang membuncah di dada. Ini bukan mimpi! Mata itu, wajahnya, semuanya nyata bukan sekedar halusinasi yang sering Mika rasakan tiap kali duduk di sini kala rindu akan sosok itu benar-benar melingkupi hatinya.
"Menunggu." Mengucapkan kata itu Mika benar-benar memusatkan perhatiannya pada iris cowok itu dan Evan? Hanya mengangguk dengan memutus tatapan itu ke samping ke arah rak yang dipenuhi buku.
"Kecewa," menghela nafas kala Mika menyebutkan satu persatu kata yang malah membuat Evan ingin marah pada dirinya sendiri.
"Kesal," Evan belum berani menatap Mika kembali.
"Lelah," kali ini Evan mengembuskan nafas dengan kasar dan tatapan Mika bahkan belum beralih pada Evan walau tatapan cowok itu tak mengarah pada dirinya, namun rasa sesak yang sering membelunggu hatinya kian hilang seiring dengan tiap kata yang keluar dari bibir kendati tubuhnya yang merasa lemah dengan tatapan menerawang.
"Cukup!" Menautkan alis Mika kian bingung saat Evan menghentikan kata yang akan Mika keluarkan dari tenggorokan, "kenapa, Van?"
Evan hanya diam. "Kamu harus tahu bagaimana tiap kali Mika nahan rindu ke kamu yang bahkan kamu gak mau mengabari aku walau sekedar sapaan di telepon, mungkin?"
"Mi?"
"Tiap kali aku duduk di sini. Tempat yang bahkan selalu jadi teman yang menemani aku saat rindu datang membelenggu, dan tiap tetesan hujan yang sering menetes pada jendela ini tahu bagaimana egoisnya aku meminta pada Tuhan untuk sekali saja kamu mau menyapa Mika."
"Dan Tuhan masih belum berbaik hati untuk mewujudkannya saat itu."
******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, Terimakasih.Salam,

KAMU SEDANG MEMBACA
MIKA
Teen FictionUntuk kamu yang dulu pernah ada dalam cerita yang akhirnya aku tutup rapat. Bagaimana? Sudah mendapatkan cerita yang lebih indah dariku? Aku tak menyesal melepasmu, sebab aku tahu menggenggammu lebih lama bukan pilihan terbaik. Kamu memaksa tak ingi...