Bagian 33

8 0 0
                                    

Satu minggu berlalu. Dan Mika masih diam, enggan kembali bertemu dengan Evan. Mika harus tahu diri bahwa kenyataannya Evan memang sama sekali tak mencintainya.

Apapun yang berhubungan dengan Evan sebisa mungkin Mika belajar mengkikisnya, Mika memang tak bisa membenci Evan, tapi Mika juga bisa merasakan kecewa.

Lalu Evan seolah mengerti akhirnya memberikan ruang untuk Mika, terbukti hingga sekarang Evan tak pernah muncul dihadapan Mika.

Mengerjap, Mika menundukkan pandangan pada buku yang tadi dia ambil, hari ini ada tugas merangkum dan Mika memilih mengerjakannya sekarang juga.

Perpustakaan memang selalu jadi tempat terbaik untuk Mika menenangkan diri. Namun sebelum tubuhnya benar-benar tenang, suara itu kembali terdengar ditelinganya.

"Berapa lama lagi lo mau menghindar, Mi?!"

Tolong! Mika masih belum siap kembali bertemu.

"Satu minggu rasanya cukup kita saling mendiamkan gini." Suaranya memang tidak tinggi tapi cukup membuat jantung Mika kian berdebar. Dingin, seperti awal mereka kembali dipertemukan.

Mendapati Mika yang diam, Evan menarik kursi di samping Mika yang kosong dan mendudukinya. Menatap Mika yang seolah tak mengganggap kehadiran dirinya dengan menyibukkan diri dengan menulis.

Jujur saja, Mika memang cantik. Bahkan saat mereka masih kecil dan sering menghabiskan waktu untuk bermain bersama, kecantikan itu tak berubah hingga saat ini.

"Sekarang lo maunya apa?" Kali ini Mika menghentikan kegiatannya, mengalihkan pandangan pada cowok yang duduk di sampingnya.

"Harusnya aku yang nanya begitu. Kamu yang maunya apa?!"

Mika geram, kenapa Evan selalu mampu menarik ulur perasaannya, seolah hati Mika sebuah layangan yang bisa dimainkan seenaknya.

Apalagi melihat tatapan Evan yang kini meredup, Mika bahkan mengira akan melihat Evan yang menatapnya dingin. Jika begini, Mika cemas akan kembali luluh.

"Kok lo sewot sih? Harusnya gue Mi, seminggu ini lo tiba-tiba ngambek dan ngehindar dari gue. Lo inget? Terakhir kali gue ngomong di telepon lo matiin gitu aja--

"Kalo gue ada salah lo harusnya ngomong Mi, bukan diam dan menghindar!"

"Aku cuma butuh waktu, Van. Kamu gak akan ngerti perasaan aku pas lihat---" Mika menjeda ucapannya.

Sepertinya memang tak penting Mika kembali membahas ini bersama Evan.

"Kenapa?"

Berdiri. Mika membereskan buku yang tergeletak di atas meja, mengambil pena dan buku catatan dengan tergesa, Mika palingkan wajahnya pada Evan sekali lagi.

"Ini bukan salah kamu Van, sedari awal memang aku yang terlalu memaksakan." Dan Mika pergi meninggalkan Evan yang tak berusaha mengejar.

***
Mika butuh minuman segar untuk mendinginkan kepalanya. Bergegas membawa langkah ke kantin dan memesan milkshake matcha, Mika beruntung melihat kedua sahabatnya masih ada di kantin.

Bernafas lega Mika merasa berhasil, kali ini dirinya tidak luluh begitu saja dihadapan Evan. Ini yang terbaik, kembali memberi ruang pada hatinya untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Baiklah, Mika membiarkan dirinya menjadi egois kali ini.

"Loh?? Udah selesai balik dari perpus Mi? kok cepett.." Karin langsung heboh melihat Mika duduk diantara mereka.

Mika tersenyum. "Iyanih tadi haus, jadii ya ke sini."

Raman anteng-anteng saja melihat percakapan Karin dan Mika, hanya sesekali mengangguk untuk menanggapi.

Tak berapa lama Karin pamit untuk membeli air mineral karena minuman miliknya sudah tandas.

Kini tersisa mereka berdua.

"Kenapa? Ada masalah sama cowok lo?"

"Hah?" Mika agak terkejut kenapa Raman ini mudah sekali menebak dirinya?

"Kenapa sih, keliatan banget ya ekspresi Mika kalo lagi ada masalah?"

Raman tertawa, "gue nebak aja. Dan,,,emang benerkan?"

Mika mengendikkan bahu lalu kembali meminum milkshake miliknya,enggan membahas.

"Gue yang paling peka kalo diantara lo atau Karin lagi ada masalah. Caelahhh keren kan gue." Raman tertawa sambil menyombongkan dirinya. "Tapi gue emang benerkan Mi? Coba deh, Karin mana ngeh kalo lo ke sini karena galau dan mau ngehindarin seseorang."

Diantara mereka bertiga, memang Raman yang paling peka dan Raman juga yang paling bisa menghibur mereka. Mika tersenyum menatap Raman.

Sekali saja, Mika juga ingin belajar mencintai Raman dan membalas perasaan yang Mika tahu sedang cowok itu kikis saat tahu Mika memilih berlabuh pada Evan. Tapi Mika yakin, Raman akan dipertemukan dengan seseorang yang bisa menghargai perasaan Raman dengan tulus.

Tapi bukan Mika orangnya, Mika tidak bisa. Sekuat apapun dia berusaha mencintai Raman, hatinya hanya bertaut pada Evan. Sialan memang!

******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Terimakasih.

Salam,

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang