Bagian 32

8 0 0
                                    

Menata makanan di meja makan sesekali melirik Mika yang duduk hanya memperhatikan sup daging. Ah ibunya ini suka sekali membuat sup, katanya supaya sehat karena ada banyak sayur-sayuran dan daging.

Berawal dari Mika yang selalu memuji sup buatan ibunya yang memang enak hingga akhirnya Dewi kembali lagi membuat sup hampir setiap hari. Bedanya, Dewi selalu mengganti lauk di supnya, seperti ayam, telor puyuh, dan sekarang daging.

"Ngeliatin supnya terus bisa bikin kamu kenyang ya?" Dewi sengaja menyenggol lengan Mika sebelum menuangkan air putih ke gelas anaknya yang kini terlihat salah tingkah.

"Ehmm Papa nggak kelihatan, Ma? Nggak ikut makan ya?" Menyamarkan salah tingkah di depan ibunya, Mika berusaha mengedarkan pandangan.

Decit kursi yang Dewi tarik lalu duduk berhadapan di depan Mika yang terhalang meja makan, tangannya mengambil sebuah apel untuk di kupas.

"Sebelum kamu turun Papa baru aja pergi, ada urusan katanya."

Mika mengangguk lalu menatap ibunya yang tak mengambil makanan sama sekali, "Mama kenapa gak ikut makan?"

"Mama masih kenyang, lagian baru tadi sore Mama pulang dari kondangan."

"Lah terus---"

"Udah Mi. Jangan bicara terus bisa? Cepat habiskan Makanan kamu!"

Mencebik kesal Mika akhirnya menyuapkan sup hangat itu dengan cepat. Cuma bertanya saja malah membikin ibunya kesal.

Makan dengan tenang hanya bunyi samar Dewi yang memotong apel yang sudah dikupas ke piring yang tersedia.

Setelah menyuapkan daging ke mulut Mika kembali bicara. "Ma, besok jangan bikin sup lagi."

Dewi yang tadi diam langsung menatap Mika. "Kenapa? Mau bilang supnya gak enak? Iya?!"

Loh ibunya kenapa makin berang?

Secepatnya Mika menggeleng.

"Ngg--gaak gitu, Ma." Dewi menatap Mika dengan menyelidik. "Mika bosan loh tiap hari Mama kasih aku sup terus." Menampilkan raut semelas mungkin agar ibunya tak memarahi lalu batinnya bersorak saat Dewi mendesah pelan.

"Supaya sehat loh itu Mama masakin sup buat kamu, sayurannya selalu Mama banyakin juga." Kali ini Dewi melembutkan suaranya.

"Kan Mama bisa masak menu yang lain selain sup." Mika menyengir lebar.

Ibunya kian berdecak. "Berani nyuruh Mama ya sekarang?"

Eh? Apa-apaan ibunya ini?

Berdeham pelan Mika menggaruk pelipis yang tidak gatal. "Nggak, Ma."

Berdiri, menggeser piring yang sudah berisi potongan apel untuk Mika, Dewi beranjak ke arah wastafel. "Jangan lupa habiskan apelnya!"

"Ini yang Mama suka, Mi. Kamu yang banyak bicara di hadapan Mama.

Bukan Mika yang Mama temui diam-diam menangis lalu terbangun dengan mata sembab yang memperlihatkan kesedihan kamu dengan jelas, seperti sekarang."

***
Menatap buku diary berwarna hijau yang selalu menjadi teman kala Mika tak bisa mengungkap rangkaian kata di benaknya, maka buku itulah yang selama ini dijadikan sebagai tempat Mika berbagi.

Tangannya terulur mengambil buku yang tergeletak di atas meja belajar bersama tumpukan buku-buku sekolah.

Banyak puisi yang Mika tulis dibuku itu, ungkapan dari hati Mika yang tak bisa dijelaskan. Dulu, Mika selalu yakin untuk bisa mendapatkan hati Evan kembali yang entah kapan Evan bisa melupakan Mika begitu saja.

Semua orang bisa berubah secara tiba-tiba. Apalagi Evan? Yang bertahun-tahun pergi tanpa mengingat kamu, tanpa tahu apa saja perubahan di diri kamu. Kamu pernah bertanya pada diri kamu sendiri dan meyakinkan kalau dia mengingat kamu di sana dan tak sabar untuk bisa kembali ketemu kamu?

Kalau belum, coba sekarang tanya ke diri kamu. Seyakin apa dia benar-benar mencintai kamu? Walaupun kamu tahu, kenyataannya dia tak pernah melihat kamu ada di hidupnya selain waktu yang pernah kalian lewati beberapa tahun dahulu.

Cukup! Ucapan ibunya waktu itu semakin terngiang di kepalanya.

Meringis Mika akhirnya paham. Mika hanya berharap seorang diri selama ini, dia tak pernah mengharapkan hal yang sama yang selama ini Mika harapkan bahkan sampai detik ini, dia memilih melupa~

Mika mengerjap saat buku itu ada di genggamannya sedang tangan kiri mencoba membuka laci di meja belajarnya.

"Ini yang terbaik, Mi!" Tapi cairan bening disudut matanya meluruh, rasanya berat sekali mencoba mengubur perasaan yang sudah sangat lama tumbuh.

Belum sempat buku itu tersimpan di laci, ponsel yang Mika simpan di atas tempat tidur berdering.

Satu panggilan Mika biarkan terlewat begitu saja. Buru-buru menutup laci saat buku itu sudah tersimpan ponselnya kembali berdering.

"Ya?"

"Kita ketemu--"

"Aku mau tidur, Van."

"Gue mau ngomong sama lo!"

Menghembuskan nafas pelan Mika merasa lelah, rasanya sekedar bicara saja Mika malas.

"Masih ada besok kan?"

"Gue--"

Sambungan telepon Mika putus dengan sengaja hingga membuat sang lawan berdecak dengan keras di sana.

Tolong ajarkan Mika bagaimana caranya melupakan cowok yang tak pernah menganggap perasaan Mika.

******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Terimakasih.

Salam,

MIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang