Bagian 17

20 0 0
                                    

Sebelum semuanya selesai, hanya bisa kata maaf yang sedari tadi Evan katakan, bingung tidak tahu lagi harus mengatakan apa untuk menenangkan gadis di hadapannya agar tak seperti ini, menatap namun pandangannya kosong.

Ini salahnya, Evan yang menyuruh Mika agar mengatakan bagaimana perasaannya namun cowok itu benar-benar merasa kepalanya berdenyut dan rasa bersalah muncul saat Mika mengatakan banyaknya kesedihan hanya untuk menanti Evan kembali.

"Ternyata melelahkan ya?" Dan Mika tertawa sumbang atas pertanyaannya sendiri.

"Gue gak minta lo buat nunggu gue kan, Mi?"

Pertanyaan itu membungkam Mika, bukankah benar sedari awal tak ada yang meminta Mika menunggu cowok itu lalu kenapa Mika seolah tersakiti sekali padahal dirinya sendiri yang mencipta lelah?

Karena sedari awal Evan tak benar-benar merasakan kehilangan sosok Mika saat dirinya pergi ke Jerman. Diawal tinggal di sana tentu saja Evan kecil belum terbiasa di lingkungan yang jelas berbeda, merengek karena rindu Aisyah juga rindu sahabat sekaligus teman bermain hampir setiap waktu,Mika.

Lima tahun memang waktu yang cukup lama. Namun dalam waktu itu Evan tak benar-benar ingin tahu sudah seperti apa sahabatnya seolah ingin lupa bahwa mereka pernah dekat sejak kecil, sang Mama yang selalu mengabari bahwa satu kali saja Evan bicara atau setidaknya beri gadis itu pengertian agar jangan membuang waktunya dengan begitu mengharap Evan yang Aisyah simpulkan bahwa anaknya tak memiliki rasa seperti yang gadis malang itu punya untuk Evan.

Memotret tiap carik kertas yang menempel di dinding kamar puteranya lalu Aisyah kirim gambar tersebut melalui salah satu aplikasi chat namun tak pernah Evan respon. Lalu Aisyah benar-benar menyimpulkan dengan pasti, bahwa di hari itu Aisyah dengan berat hati mencoba bicara pada Mika yang nyaris tiap hari mengunjungi rumahnya agar berhenti mengharapkan Evan dan lupakan.

Tanpa tahu bahwa di sana Evan selalu membaca tiap coretan pena milik Mika yang sengaja Aisyah kirim tanpa mau merespon mereka biarkan saja mereka berfikir bahwa Evan tak peduli.

"Mau memulai lagi?" Satu lagi pertanyaan yang membuat Mika menganga dan kembali dibuat bingung.

***
"Kalo emang suka kenapa gak bilang, Man?" Tanpa embel-embel Kak tak pernah menjadi masalah untuk Raman toh gadis dihadapannya ini sangat sering memanggil sesuka hati.

"Sedari awal hati itu terbuka bukan untuk gue,"

Karin yang berada di hadapannya menggeleng tak mengerti, "kenapa gak coba buat alihin hati Mika agar terbuka buat lo?"

"Gue gak bisa memaksa soal perasaan."

"Terus?" Mereka berdua yang kini duduk di meja agak pojok Kantin dengan menikmati es teh dan semangkuk cuanki, ya hanya mereka berdua Raman dan Karin, berniat mengajak Mika namun Karin mengatakan jika gadis itu bergegas pergi ke perpustakaan saat bel istirahat bunyi sebelum Raman menghampiri kedua gadis itu.

"Lo nyerah gini aja?" Karin gemas karena menurutnya Raman terlalu pesimis tak mau berusaha namun Karin tak tahu saja bagaimana Raman selama ini selalu berusaha membikin Mika nyaman padanya namun hanya sekedar menyayangi seorang sahabat saja yang sering Mika katakan, lalu seolah tak mengapa Raman tak jadikan itu sebagai masalah ataupun memaksa Mika untuk sekali saja memandang dirinya cowok yang Mika cintai.

Raman selalu sadar bahwa hati Mika sepenuhnya terisi oleh Evan tetangganya sekaligus cowok yang Mika cintai sedari dulu. Tak apa yang penting Raman masih bisa berada disisi Mika dan bisa melihat gadis itu tersenyum.

"Lo gabakal ngerti Rin!" Karin mengendikkan bahu enggan membahas ini lagi karena Karin tak pernah ada diposisi Raman dan Mika yang sama-sama mencintai seseorang namun tak terbalas, padahal Karin berpikir mereka berdua mempersulit diri seandainya Mika mau sedikit saja berusaha menatap Raman lalu mereka bisa bersama karena jelas Raman mencintai Mika tanpa pernah memberi luka pada gadis itu.

Huh urusan hati memang selalu rumit!

"Gue mau samperin Mika deh!" Hendak berdiri dengan cepat Raman mencekal lengannya.

Lalu Raman menggeleng, "Jangan!" Menatap bingung Karin membuka mulut saat ingin bertanya namun Raman segera melanjutkan. "Mereka berdua ada disana, Mika dan cowok itu." Raman enggan menyebut namanya.

Karin hanya terperangah, kok bisa tahu?

***
Mau memulai lagi?

"A--aku gak ngerti," Mika menggeleng tak paham tidak menatap dengan tatapan kosong lagi. "Lo gabakal ngerti kalo kita gak pernah kembali buat memulainya lagi." Kepalanya pening, otaknya tak bisa menangkap apa yang Evan maksud dan Mika merasa otaknya buyar.

Masih berhadapan pada Mika cowok itu kini menarik nafas, "jadi, mau memulai?" Berpikir sejenak Mika tentu saja merasa ada letupan di sekitar dadanya bahagia tentu saja hingga senyum cerah itu tersimpul diwajah.

Tidak mau menunggu lebih lama lagi Mika segera mengangguk dan Evan menyunggingkan senyum yang selalu terlihat manis bagi Mika.

Bahagia memang sering membuat kita lupa pada rasa janggal yang mencokol di hati namun mereka abaikan. Lupa bahwa bahagia hanya sementara tak bisa selamanya kita rasakan, tapi biarlah Mika merasa bahagia lebih dulu sebelum ada rasa sedih yang nantinya akan menghancurkan bahagia itu kan?

******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, Terimakasih.

Salam,

MIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang