Mika sadar tidak seharusnya dia terus-terusan menghindar seperti ini. Bersikap diam dan acuh pada orang di sekelilingnya, bukan hanya Dewi yang merasa namun Raman dan Karin pun merasakan perubahan itu. Mika benci dirinya yang seperti ini, berusaha biasa saja tapi tidak bisa.
Evan menolak kehadirannya tapi kenapa Mika masih tetap mencintai cowok itu?
Dua minggu sudah berlalu. Sudah cukup Mika bersikap kekanakan begini, mengabaikan orang yang ada di sekelilingnya.
Tadi setelah berbicara dengan Karin saat ingin ke kantin Mika pamit pergi ke rooftop sekolah, tempat Mika menghilangkan penat untuk menghirup udara yang beberapa hari ini menyesakkan.
Baru tiba kakinya mendadak beku, tak jauh dari sana, Evan berbaring di kursi panjang tempat biasa Mika duduk jika berada di sini. Menumpukan kaki kiri ke kaki kanan yang ditekuk dengan sebelah tangan yang menutupi mata agar menghalau mentari yang siang ini tidak terlalu terik sedang kedua telinganya tersumpal earphone.
Ingin berbalik ragu ingin melangkah juga ragu, Mika diam sebentar lalu menarik nafas perlahan menenangkan detak jantung yang berdetak tak karuan. Apa salahnya mencoba berada di dekat Evan kembali?
Berbalik jangan?
Ah, maju saja.
Gimana kalo dia mendadak pergi saat tahu Mika di sini?
Yasudah berbalik saja.
Tapi kakinya malah melangkah maju berbanding terbalik dengan apa kata hatinya. Gila ya kenapa bisa gugup begini?
Terlalu gugup hingga baru melangkah saja Mika sudah tersandung oleh kakinya sendiri untung saja tubuhnya tidak mencium lantai rooftop ini atau yang lebih memalukan jika Evan menyadari dirinya berada di sini dengan keadaan tersungkur, "ya ampun." meringis Mika menepuk jidatnya sendiri untuk menghapus pikiran anehnya.
Kembali melangkah kali ini lebih hati-hati agar tak tersandung kembali Mika segera berdiri di belakang kursi itu. Setelah dua minggu Mika bisa menatap Evan dengan puas walau kedua matanya terhalang tangan cowok itu kalau tidak sekarang mana mungkin Mika bisa melihat Evan sedekat ini tanpa cowok itu sadari.
Merasa terhalangi sinar mentari Evan menurunkan tangannya di kepala, mengerjap saat melihat seorang cewek dengan segera Evan duduk dengan benar dengan kedua kaki yang sudah menginjak lantai rooftop lalu melepas earphone yang menyumpal telinganya. Sedangkan Mika menampilkan segaris senyum saat Evan menatap kearahnya. "Maaf kalo Mika ganggu," dan Evan mengangguk sebagai jawaban.
Tahu apa yang berbeda dari cowok itu kali ini? Tatapannya meredup dan Mika tak menemukan sorot tajam ataupun tatapan dingin yang biasa Evan tampilkan padanya.
Bergeser Mika memberanikan duduk di kursi itu tak apa jika Evan terganggu oleh keberadaannya pasti cowok itu akan pergi. Namun saat bokongnya sudah menyentuh kursi tak ada yang berubah, kembali melirik Evan ternyata dia hanya diam dan tatapannya lurus.
Beberapa detik diisi oleh keheningan Mika meremas jarinya yang tertaut dipangkuan,ia gugup. Mau membuka suara lebih dulu nyalinya tidak berani.
Kali ini kembali dibuat terkejut, Mika menatap tak percaya pada Evan saat cowok di sampingnya membuka suara lebih dulu. "Sorry," dan tatapan mereka bertemu, "buat segalanya."
"Hah?" Mika benar-benar bingung dengan permintaan maaf yang terlontar dari bibir Evan langsung, mengapa mendadak?
"Maksud--"
Menyadari kernyitan di dahi Mika Evan lantas terkekeh, yaampun Mika kembali dibuat melongo melihat Evan terkekeh di hadapannya.
"Maaf kalo selama gue balik ke sini gue sering banget nyakitin lo, Mi."
"Gue minta maaf atas semua kesalahan gue setelah bertahun-tahun kita kembali ketemu, gue egois dan gue tahu itu,Mi."
"Dulu kita temankan,benar?!"
Mika merasakan hangat yang melingkupi hatinya, mereka temankan, dulu? Ya, dulu saat mereka kecil.
Memiringkan posisi duduknya Mika kembali menatap Evan yang kini menampilkan segaris senyum, menambah kadar ketampanan Evan.
"Aku gatau kenapa kamu tiba-tiba minta maaf gini, Van. Setelah pertemuan kita saat itu aku kira kamu beneran benci ke aku, dan aku gak lupa sorot dingin kamu tiap lihat aku--"
"Maaf." Tenggorokannya tercekat saat lagi lagi Evan meminta maaf lalu dengan gugup Mika menggeleng, "Kamu gak perlu minta maaf."
Evan menyandarkan tubuh ke kursi yang mereka duduki, "Waktu merubah segalanya ya." Tatapannya kembali ke arah Mika. "Terakhir kali gue ninggalin lo saat kita masih pake seragam putih merah dan badan lo kurus, kelewat kurus malahan."
Mika melotot mendengar ucapan terakhir cowok itu, "Eh enggak ya!"
Terkekeh Evan kembali bersuara,"gak nyangka sekarang gendutan."
Tersenyum Mika malah merona, "apaan sih!"
"Lo makin cantik."
"Hah?"
Mika menyadari satu hal, takut. Takut semua ini hanya mimpi yang menari-nari di bayangan otaknya. Menolak percaya Mika memejamkan mata saat suara tak asing kembali terdengar.
"Kenapa?"
Membuka mata saat tatapannya langsung tertuju pada Evan yang masih berada di hadapannya. Ini nyata, ternyata Mika tidak sedang berhalusinasi atau bermimpi.
"Enggak." Mika tersenyum.
Dan alasan apapun yang membuat Evan seperti ini, Mika sangat bersyukur dan berharap agar Evan tetap seperti ini, tak menampilkan lagi sorot dingin padanya.
"Melamun?" Mika tersentak saat Evan menyentuh tangannya lalu tatapan mereka kembali bertemu.
"Kita teman kan?"
"Ya, teman--"
Dan semuanya berakhir saat Evan pamit untuk kembali ke kelas.
******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, Terimakasih.Salam,
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKA
Teen FictionUntuk kamu yang dulu pernah ada dalam cerita yang akhirnya aku tutup rapat. Bagaimana? Sudah mendapatkan cerita yang lebih indah dariku? Aku tak menyesal melepasmu, sebab aku tahu menggenggammu lebih lama bukan pilihan terbaik. Kamu memaksa tak ingi...