Bagian 31

5 0 0
                                    

Berjalan tergesa Mika ingin segera menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Ia lelah, sungguh. Bukan hanya tubuh pun hatinya juga.

Menghela nafas saat baru melewati pagar rumah ponselnya kembali bergetar, sengaja dalam mode getar karena sedari tadi ponselnya terus berbunyi. Setelah dalam mode getar Mika bersyukur Raman dan Karin tak menyadari jika ponselnya terus saja menampilkan panggilan saat mereka di mobil.

"Ya?"

"Telepon gue kenapa gak diangkat?!"
Mika mendengkus saat suara diseberang sana terdengar tajam.

"Tolong jangan memulai perdebatan sekarang. Aku--aku capek, Van!" Tanpa mendengar lanjutan di seberang sana Mika langsung memutus panggilan.

Mika ingin menangis saja rasanya. Dan sebelum cairan bening membasahi pipi Mika segera membuka daun pintu rumah dengan hening.

Orangtuanya pergi ke kondangan saat mendapati ibunya mengirim pesan jika rumahnya tak beliau kunci.

Begitu tiba di depan pintu dengan ukiran sederhana, nafasnya tersenggal setelah berlari menaiki tangga menuju kamar. Melempar tas ke sembarang arah Mika langsung menelungkupkan tubuhnya di tempat tidur.

Isak pelan terdengar saat gemuruh di dada tak lagi bisa Mika tahan. Jika tahu begini Mika tak usah saja ikut kedua sahabatnya pergi.

Sesak sekali rasanya.

Dia pasti malu memiliki pacar seperti Mika.

Ya. Evan mungkin malu mengakui Mika.

***
Mengerang saat panggilan terputus, harusnya Evan yang lebih dulu mematikan panggilan mereka. Mendengar suara Mika yang mengapa seperti marah?

Ah! Harusnya Evan yang marah. Pertama, saat pulang sekolah Evan melihat Mika memasuki mobil yang sama dengan kedua sahabatnya, lalu kenapa Mika tak memberitahu dirinya. Eh, kenapa terdengar seperti berharap dikabari ya? Dan Evan kini merutuki dirinya sendiri.

Kedua, Mika bahkan sengaja tak menjawab panggilannya yang Evan yakini bahwa ponsel Mika aktif.

Ketiga, mematikan sambungan sebelum Evan bicara banyak---ah sudahlah.

Sibuk menyalahkan Mika hingga membuat Evan lupa untuk mengaca pada dirinya sendiri. Selalu menganggap dirinya benar. Terdengar egois, memang. Padahal Evan lah yang membuat kesalah pahaman ini terjadi.

***
Mengusap surai rambut membuat tidur Mika terusik. Ah Mika bahkan tak sadar saat kegelapan membawanya terlelap.

Terasa berat saat kelopak mata terbuka menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke netra. Seingatnya tadi ia hanya terisak lalu tangisan tiba-tiba tak bisa Mika tahan. Mika lelah, sungguh. Seolah ada yang berbisik, akhiri saja.

Apa memang harus begini?

"Heyy! Gak baik loh tidur di jam segini." Menoleh mendapati Dewi yang duduk di sisi ranjang membuat Mika terpaksa bangun.

"Capek, Ma." Matanya berkedip-kedip pelan.

"Iya tahu. Sekarang mandi dulu terus sholat, setelah itu makan."

Sebenarnya Mika kesal jika tidur di jam-jam sore begini, tubuhnya sering merasa tak enak dan Dewi selalu mewanti-wanti dengan mengatakan, jika tidur mendekati waktu maghrib bisa membuat kita linglung. Dan memang benar.

Mika tak sengaja saja, niat hati ingin melepaskan lelah dengan tangisan eh lama-lama matanya pedih dan terasa berat sampai kantuk itu datang.

"Udah masuk maghrib ini, cepetan mandi, Mi!" Mendapati Mika yang malah bengong di tempat tidur Dewi kembali menegur.

"Iya Ma iya.." belum sempat menapakkan kaki menuju kamar mandi, malah mendengar celotehan ibunya yang seperti pengiring musik di kamar ini.

"Kamu jangan ceroboh Mika! Tadi pintu depan terbuka mama kira kamu lagi di bawah tahunya malah tidur di sini tanpa tutup pintu! Kalo ada orang asing masuk? Terus kamu diapa-apain gimana coba?"

Melihat Dewi yang hilir mudik sambil memberesi isi kamar Mika yang jauh dari kata rapi malah membuat peningnya bertambah belum lagi beliau yang tak berhenti bicara.

Mika hanya mengangguk mendengarkan. "Jangan cuma ngangguknya doang!"

"Iya Ma gak bakal Mika ulangi kok. Buktinya Mika baik-baik aja kan sekarang?" Dewi berhenti saat ingin merapikan tempat tidur. "Udah berani jawab ya kamu?"

Dahinya mengerut. Apa katanya tadi? Mika diam saja ditegur giliran dijawab malah kena omel.

"Loh? Mama bilang---"

"Diam kamu! Bisa-bisanya balas bicara begitu." Dewi mencebik namun Mika malah ingin tertawa melihat ibunya.

"Iya Ma, Mika salah."

"Hemm.." merapikan letak bantal putrinya Dewi menoleh saat Mika masih tak beranjak.

"Cepetan mandi! Kenapa masih diam?!" Mendumel Mika melanjutkan langkah kakinya. Kenapa ibunya sensi sekali sih hari ini?

Tak melihat apa matanya yang membengkak dengan wajah agak merah. Entah kenapa Mika bahkan bisa melupakan penyebab lelahnya tadi walau sementara hanya karena mendengar omelan ibunya dulu.

******
Haii,
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Terimakasih.

Salam,

MIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang