Bag 25

900 60 5
                                    

Aku sedang makan sendirian di meja makan, hari kerja begini rumah selalu sepi. Karena semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Aku melahap makanan yang sudah kakak siapakan tadi, sudah sesiang ini aku baru turun keluar kamar untuk makan. Yang dari pagi aku lakukan hanya duduk di balkon sambil mendengarkan musik. Itu lumayan membuat hatiku rileks.

Ting tong..

Terdengar bunyi bel di tekan seseorang, aku bersiap bangun untuk membukanya, tapi kemudian bi Asih datang menghampiri.

"Biar saya aja non."
"Makasih ya Bi."

Aku melanjutkan makanku, tidak tahu siapa tamu yang datang. Tak lama bi Asih kembali mendekatiku menyampaikan sesuatu.

"Non, ada mas Iqmal. "

Biarpun sudah menduganya, tapi jujur tadi aku tidak kefikiran bahwa Iqmal yang akan datang. Aku menghentikan makanku.

"Suruh pulang lagi aja bi. " jawabku ketus. Bi Asih terlihat bingung mendengarnya.
"Tapi masa bibi usir non, ga enak. "
"Bilang aja aku lagi tidur "
"Aduh non, bibi udah bilang non lagi makan. Habis tadi non ga pesen apa-apa jadi bibi ga tau. "

Aku mengehela nafas, sedikit kesal. Karena salahku juga tidak minta tolong bi Asih untuk berbohong jika Iqmal datang.

"Yasudah bi ga apa-apa, bentar aku kedepan."
"Baik non."

Bi Asih kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya. Aku sudah tidak berselera lagi, tidak ku habiskan makannya, aku bergegas menemui Iqmal dengan malas.

Dari jauh Iqmal sedang menunduk, dia terus menggerakan kakinya seperti gelisah akan sesuatu.

"Mau apa Mal.?" dengan ketus ku langsung bertanya, membuat Iqmal mengangkat wajahnya untuk menatapku yang sudah berdiri di hadapannya.

"Ra... Rara aku bisa jelasin ." dia langsung bangun menghampiriku dan mencoba memegang tanganku, tapi ku tepis kasar.

"Udah deh kamu pulang aja Mal."
"Dengerin dulu Ra, aku bisa jelasin."
"Iya nanti aja jelasinnya, aku cape. Pengen istirahat."
"Kamu masih sakit.?" Iqmal kemudian seperti ingin memegang keningku, tapi aku segera menjauhkan wajahku darinya. Ka Riri pasti bilang padanya kalau aku tidak enak badan kemarin.
"Engga, aku cuma cape. Udah ya kamu pulang, aku pengen istirahat."

Belum sempat Iqmal melanjutkan kata-katanya aku bergegas meninggalkan dia. Tapi Iqmal mengejarku dan menahan tubuhku agar tidak pergi.

"Ra, plis Ra dengerin dulu."

Aku tidak menjawab, ku lepaskan tangnnya dari tubuhku perlahan.

"Mal, aku cape. Plis." ucapku memohon padanya.

Iqmal tidak memaksaku lagi, dia membiarkanku meninggalkannya, dengan segala penjelasan yang tidak ingin aku dengar hari ini.

...

Kujatuhkan badanku di kasur saat kembali ke kamar, sudah sedari tadi airmata ini ku tahan dengan susah payah, aku tidak ingin terlihat menangis di depan Iqmal, aku ingin dia tahu aku bisa tetap baik-baik saja.

Tanpa di perintah airmata itu mengalir begitu deras, sedih rasanya harus bersikap seperti itu pada Iqmal, tapi aku juga ingin dia tahu kalau kesabaranku sudah habis.

Kulihat ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur, sudah dari malam aku tidak menyentuhnya. Ku ambil lalu ku nyalakan, sudah pasti akan banyak pesan masuk, terutama dari Iqmal.

Baru juga beberapa menit menyala, langsung banyak notifikasi masuk. Iqmal menelpon sampai 33 kali, belum lagi vidio call, juga ratusan pesan yang dia kirim. Aku abaikan semuanya, aku tidak ingin tahu apapun isi pesan itu.

Ada juga pesan dari Ka Riri, Ka Rima, Bunda juga Teh Ocha. Semuanya mencoba menanyakan keadaanku. Tapi aku tidak berniat sama sekali menjawabnya.

Ku simpan lagi ponselku. Aku tidak ingin mengetahui dulu apa-apapun tentang Iqmal. Biarkan aku tenang dulu, aku mohon.

....

Drrttt drtttt..

Ponselku bergetar, ku seka air mataku yang sudah hampir habis, tapi masih saja ingin menangis, kesal menahan semua ini. Ku lihat nama bunda yang menelpon. Aku tidak menjawabnya, tak lama kemudian menelpon lagi. Aku segera berdeham beberapa kali, mengatur agar suaraku tidak terdengar habis menangis, kemudian menjawabnya.

"Assalamualaikum bunda." ku coba terdengar ceria meski sulit.
"Alhamdulillah akhirnya di jawab juga, waalaikumsalam Ra. Kamu kemana aja ? Daritadi susah di hubungin.?"
"Maaf bunda, hp aku eror, makanya ga aktif. Ini baru bisa dan nyala lagi." ucapku berbohong. "Oia, ada apa bun ?"
"Kamu sakit nak? Kedengerannya suaranya serak.?" bunda tidak menjawabku, bunda malah terdengar cemas akan keadaanku.
"Engga bun,aku cuma kecapean aja."
"Ra.."
"Iya bunda.?"
"Kamu lagi berantem ya sama Iqmal.?"

Aku diam tidak merespon. Mendengarnya malah membuat dadaku terasa sesak.

"Ra..?" ucap bunda lembut membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya bunda.?"
"Kamu sedang ada masalah sama Iqmal.?"
"Engga bunda. Oia bunda, acara minggu depan bisa di undur dulu.?"
"Loh, ada apa Ra ,kok tiba-tiba banget.? Ada apa ini Ra sebenernya.?"
"Engga ada apa-apa bunda, Rara ada kerjaan yang ga bisa di tinggal ternyata." aku lagi-lagi berbohong, maafkan aku bunda, sedih sekali mendengar bunda terkejut dan bingung.
"Emang ga bisa Ra minta mundur pekerjaannya? Coba lah ngobrol dlu dengan Ka Rima, kalo benar-benar ga bisa yasudah ga apa-apa. Tapi di coba dulu supaya acaranya engga di undur." mendengar bunda berbicara seperti ini aku malah tidak enak, jadi makin menyakiti hatinya, betapa ia sangat menunggu hari itu, sama sepertiku.
"Hmmm, nanti coba aku ngobrol dulu ya bun sama Ka Rima." akhirnya aku mengalah saja, mana tega aku membuat bunda sedih.
"Alhamdulillah, bunda yakin Ka Rima pasti bisa mengusahakan." ucapnya penuh harap.
"Iya bunda."
"Ra, jika ada masalah baiknya di bicarakan. Biar jadi jelas dan tidak salah paham. Maaf bunda ga maksud mau ikut campur urusan kamu dengan Iqmal, "
"Engga kok bun, makasih ya bunda."
"Maafkan Iqmal ya Ra, jika sudah menyakiti hati kamu."

Rasanya ingin sekali memeluk bunda saat itu juga, sayangnya ini hanya obrolan di telpon, aku mencoba menahan agar tidak menangis, meski susah, sampai dada ini terasa sesak.

"Ra..
"Maaf ya bunda, bikin khawatir. Rara hanya ga suka.." aku menggantungkan ucapanku, terdiam sejenak mencoba menenangkan perasaanku. "Rara cuma pengen tenang dulu bunda. Nanti aku pasti hubungin Iqmal lagi."
"Baiklah Ra, bunda ngerti. Bunda bukan mau membenarkan Iqmal ya Ra. Bunda hanya sedih aja liat kalian kaya gini. Bunda ga pernah liat Iqmal sesayang ini sama perempuan Ra, dia selalu berusaha jadi laki-laki yang pantas untuk kamu. Maafkan dia ya Ra, jika sikapnya membuat kamu tidak nyaman."
"Engga bunda, Rara sangat nyaman sama Iqmal, Rara juga sayang dia, Rara hanya kecewa aja. " ucapku lirih, kini airmataku sudah tidak tertahan lagi.
"Yasudah Ra. Istirahat dulu. Setelah tenang baru fikirkan lagi semuanya baik-baik."
"Iya bunda, makasih ya bunda. Rara sayang bunda."
"Bunda juga sayang kamu nak, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."

Telpon terputus, aku masih diam di tempat semula, memandangin ponselku dan memikirkan banyak hal. Ku buka pesan dari Iqmal, tapi tidak ingin ku baca isinya, lalu aku mengetik sesuatu untuknya.

"Aku tunggu habis magrib di rumah, antar aku beli eskrim."

Send.

Tidak sampai 1 menit balasan dari Iqmal sudah masuk.

"Iya Ra. Nanti aku jemput, aku beliin sekalian sama minimarketnya ya. Buat kamu semua pokonya."

Aku tersenyum membacanya. Tidak ku balas lagi.

Sekarang biarkan aku menenangkan hatiku dulu, agar siap bertemu Iqmal nanti malam.

...

Terpendam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang