The Indecent Proposal

25K 3.3K 182
                                    

Pagi itu, salah satu staf HK menghampiri kami di meja meeting manajer. Should be an emergency.

"Ada apa?" Fitra berdiri dari kursinya cepat.
"Itu. Erm. Bapak Yayan dari kamar Puebla, minta Ibu Laras ke kamarnya sekarang..."
Hah? Siapa?

"Bapak Yayan. Ada masalah sama tagihannya." ulang staf HK, yang tampaknya adalah anak magang.
Aku melirik Manajer Keuangan kami, Sandra, yang otomatis membuka log booknya saat dengar kata 'tagihan'.

"Nope. Gak ada masalah di keuangan. Coba aja kamu kesana dulu, Ras..." Sandra berkata.
Stu mengangguk. Ah. Dia mah iya-iya aja. Dasar GM gaji buta. Toh semua laporan dan rencana reservasi hari ini sudah kusampaikan. Aku bergegas merapikan barang-barangku dan keluar ruang rapat, menuju Puebla yang terletak di gedung barat.

Aku mengingat-ingat tamu yang menempati area barat. Ada corporate, lalu undangan nikahan yang extend...
Gini deh. Meskipun disarankan minta KTP, tapi dalam kondisi booking via internet, banyaknya yang booking di bawah satu nama, dan klien perusahaan, kami jadi jarang punya nama lengkap tiap tamu di kamar. Celakanya, dia nginep di Puebla, area yang mestinya kuingat penghuninya. Should be someone important. Or, had money, obviously.

Puebla adalah salah satu suite kami, didesain bergaya Mexico, merupakan satu-satunya kamar dupleks, alias dua lantai, punya kolam renang sendiri, dan terpisahkan taman dari kamar-kamar lain. Masih gak yakin ada masalah apa, aku mengetuk kamar.

Aku bahkan gak ingat Pak Yayan yang mana.
Aku gak tau dia bisa diajak ngobrol apa saja.
Sial. Sial. Sial.

Pintu terbuka dan sosok yang nyaris kulupakan berdiri di depanku, memenuhi bingkai pintu.
Tanpa sadar aku menelan ludah demi melihat Sahala Dalgliesh alias TIAN di hadapanku. Itu bocah magang harus mulai belajar nama-nama asing deh! It's Tian. Not Yayan.

Ia tersenyum, matanya berbinar saat menyapaku, "Hai, Lars. Come on in."

Aku pengen banget mengoreksi caranya memanggil namaku, tapi memutuskan untuk tutup mulut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku pengen banget mengoreksi caranya memanggil namaku, tapi memutuskan untuk tutup mulut.

Seprofesional yang kubisa, aku mengikuti Ian melewati lorong berlantai mozaik, dengan dinding merah bata. Ia mengajakku duduk di teras yang bermandikan sinar matahari, di samping kolam renang kecil.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Aku pengen banget buru-buru keluar dari sini. Baru beberapa detik, tapi udah bisa bikin aku ngerasa gak nyaman. Sebelah tanganku sudah menyentuh walkie-talkie. Kalau dia mau aneh-aneh, aku bisa kasitau orang-orang sesegera mungkin.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang