The Jealous Rage Mode : ON

17.4K 2.9K 107
                                    

Aku blank soal Jakarta, dan membiarkan Tian memilih tempat buat makan malam.

"Can we go to my friend's place?" ia bertanya, saat kami sudah duduk di mobilnya.
"What kind of friend's place?"
Sejujurnya, aku akan malas banget kalau mesti ketemu sama orang-orang yang sama dengan di PP.

"My real friend. Kami ketemu waktu aku lagi nyasar pas solo-traveling. Sejak itu, jadi teman deket. Banget." Tian tersenyum, tahu jelas maksud pertanyaanku. "Dia punya restoran kecil di sekitar Kemang. The food are good and the place is pretty nice."

"Okay."
Aku gak bisa menolak good-food dan nice-place.

***

Untuk pertama kalinya, aku bisa menikmati macet dalam kota Jakarta. Mendengarkan Tian cerita soal Ubastech yang ditawati akuisisi, Uli yang dicurigainya gak suka cowok, hingga pendapatnya soal event macam barusan.

"It's part of the job..." ia mengangkat bahu, "Kadang-kadang aku malas kalau mesti diwawancara soal hal-hal pribadi. An actor should be judged by his performance. Not how he lived his life. But, everything comes with a price, so..."

Mm-hm. Tapi obrolan ini bikin aku penasaran.
"Kenapa kamu ajakin aku ke acara tadi? Kan mendingan dari awal ajakin ke tempat temen yang ini aja sekalian."

"Karena, sebelum berubah jadi acara publikasi dadakan, aku pengen kamu kenalan sama Della. Yah, maybe next time, di situasi yang lebih nyaman..."

Hah? Kenapa? Gimana?
"And why is that?"
Mendadak, ketenangan sesaatku berkat belanja buku barusan, terusik seketika.

"Aku cerita banyak soal kamu ke dia. Dia pengen kenal juga jadinya sama kamu..."

"Kamu bilang cuma cerita macam-macam soal cewek ke ibu kamu. Kamu bilang kamu gak percaya sama sahabatan beda-gender..." tanpa bisa kutahan, aku berkomentar judes.

Tian melirikku sekilas, sementara aku masih berusaha terlihat cool.
"Aku kan harus banyak ngobrol sama Della pas reading. Buat cari chemistry. Obrolannya ya seputar hal-hal personal..."

"Trus udah dapet chemistry-nya?" potongku.

"Hopefully." Tian menjawab singkat, dia keburu ter-distract sama lalu lintas di depan kami yang mendadak harus putar arah.

Sepanjang sisa jalan, aku diam. Males banget rasanya. Aku sudah bertahun-tahun jealous sama Della Salistyana for no solid reason. I mean, Radya pernah ketemu Della cuma sekali, itupun di acara fans-club, dan aku udah meradang.
Apa kabar Tian, yang mesti ada chemistry??

Untungnya pikiran kemana-manaku harus berhenti, karena gak lama kemudian, kami sampai di depan sebuah resto kecil yang nyempil di antara kantor dan galeri. Aku gampang banget mengalihkan overthinking, kalau ada sesuatu yang keren.

Dan resto ini...keren banget. Dia punya pintu tertutup persis rumah orang...jadi kami mesti ketuk dulu sebelum kemudian diantar ke meja makan...yang sama sekali gak mirip meja resto. Literally meja makan normal. Cuma ada beberapa meja yang terpisah dengan jarak lumayan jauh satu sama lain, dan semuanya penuh. Kami duduk di area semi-outdoor, dekat halaman yang berhiaskan lampion warna-warni dan kolam penuh teratai.

Gak fancy banget seperti yang kuduga, tapi aku suka banget dengan atmosfernya yang sangat...homy. Di dinding tergantung banyak foto-foto, yang terlihat persis seperti dinding di rumah orang. Ada foto keluarga, acara nikahan, acara-acara jaman sekolah...

Aku memperhatikan semuanya, satu-satu. Membayangkan memasang foto-foto koleksiku sendiri suatu hari, di salah satu dinding B&B impianku, di rumah orangtuaku...

"Tiaaaan! Pemuda Batak idaman wanitaaaa..." suara yang familiar terdengar berseru. Aku menoleh, dan melihat Tian sedang berpelukan erat dengan si empunya suara.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang