The Third-Wheel Revelation

17.1K 2.7K 41
                                    

"Tante, tenang aja. Ini tuh Dalin, bukan perempuan random yang ketemu Prama entah di mana. You've known her. You love her." aku berkata pada Mamanya Prama. Aku mengusap lengannya pelan-pelan, sementara ia menangis di saputangan.

Kami berdua ada di kamar orangtuanya Prama. Tadinya si Tante cuma pengen aku ganti kebaya, tapi berlanjut dengan curhatan setengah histeris karena anak semata wayangnya mau lamaran.

"Tante pikir Prama masih lama bakalan ketemu jodohnya. Ternyata cepet banget Tante harus kehilangan dia. Sudah bertahun-tahun di luar negeri. Giliran pulang, mau nikah..." isaknya.

Prama dan orangtuanya adalah tim tiga orang paling kompak sedunia. Mereka punya kegemaran yang sama (neropongin langit, berkebun, makan) dan sifatnya juga mirip-mirip. Wajar sih, mamanya takut kehilangan. Prama is a perfect son.

"2Boleh gak aku kasih tau pendapatku?" aku bertanya sekalem mungkin. Ia mengangguk.
"Tante sama Om, gak perlu khawatir. Dalin tuh perempuan yang sayang keluarga, dan Prama nikah sama dia, artinya keluarga ini bakalan tambah anggota. Apalagi, kalau nanti sudah ada cucu... Makin seru, deh."

Mata mamanya Prama mendadak berbinar begitu mendengar kata ajaib itu. Cucu.
"Iya ya?"

Aku mengangguk yakin. Perlahan tapi pasti, Tante ikut mengangguk bersamaku.

***

Baru tiga hari. Tiga hari tanpa kabar dan keberanian untuk menghubungi Tian duluan.
Kemarin itu...the worst breaking up scene I've ever had. Kinda. We're not even had any real relationship, but it feels...super devastating. Sampai hari ini, rasanya masih gak bisa dijelaskan.

And. It's all my faults. Aku ngerasa gak berhak untuk sedih karena akulah yang gak berani melanjutkan hubungan sama Tian.
Radya used to love me madly for years and one day, he decided to just left with no particular reason. What if Tian do the same thing? I survived once, but I don't think I could go through the same thing again.

I thought I dodge the bullet. But, it still hurts. To cut off things the way we did. It hurts a lot.

Aku mendistraksi diri dengan pekerjaan serta persiapan lamaran Dalin dan Prama. Gak seperti dulu, saat menyiapkan acara lamaran dan nikahanku sendiri, di mana aku dan Radya memang sudah pacaran lama... Kedua sahabatku ini macam dua orang gak saling kenal dijodohin mendadak!

"Dia suka gue pake warna gold atau silver? Atau pink? Atau hijau?" sehari sebelumnya, Dalin freak-out saat menyadari kalau dia gak pernah menaruh perhatian pada warna kesukaan Prama.

Prama juga sama aja, dia panik karena gak tahu nomor sepatu, ukuran baju, bahkan aksesoris favoritnya Dalin untuk dia bawa sebagai hadiah hari ini.

Thank God for me, I guess!

Aku sendiri kagum sama kemampuan multi tasking-ku beberapa hari belakangan. Mendadak aku ngerti cara ngurusin Stanna, sambil juggling soal Dalin dan Prama yang sama-sama clueless soal masing-masing...semua sambil berusaha meredam rasa bersalah karena kehilangan Tian.

***

"Are you okay?" Prama tiba-tiba bertanya. Kami berempat ada di mobil papanya, dalam perjalanan menuju rumahnya Dalin, all color-coordinated and looked nice. Prama pakai batik hitam-maroon yang cakep, papanya pakai batik maroon-teal. Aku dan mamanya, pakai kebaya rose gold dan mauve, keduanya dengan sentuhan maroon yang sama juga. Si Tante adalah desainer grafis senior/creative director di advertising agency terkenal. Of course we looked good.

"Jangan nervous..." aku mengingatkan, melihat wajahnya yang tampak khawatir, "Kamu tuh udah dianggap anak sendiri ama si Mande. Sans, bro..."

"Aku gak papa. Aku tanya kamu barusan. Are you okay?" ia bertanya lagi. Prama habis potong rambut dan cukur semua facial hair, dan dia kelihatan kayak anak SMA.

"I'm good." jawabku singkat.

"Kami bikin kamu ribet banget ya, beberapa hari ini?" Prama menebak. Tebakan salah yang bisa kupakai untuk menutupi jawaban sebenarnya... Aku membuka mulut untuk menjawab...

"It's Tian, isn't it?"
Ah sial. Prama sudah dapat jawabannya.

Aku mengangkat bahu.
"It's over."
Just two simple words, and my eyes already teary.

"Hah? Kok bisa?"
"Bisa lah. It's just a fling anyway..." aku mengibaskan tangan, sok cool. Bahkan buat kata 'fling' pun, aku gak cocok sebenernya.a

"Right." Prama menatapku sinis, mengangkat sebelah alisnya. Meski sudah sedikit gantengan, tapi mukanya masih ngeselin kalau lagi nge-judge aku macam sekarang ini.

"Jup, hidup aku lagi ribet banget buat ditambah-tambahin urusan cowok. Kerjaan aku banyak, mau ngawinin kalian, dan mau mulai siapin B&B untuk tahun depan mulai jalan. Susah..." biar meyakinkan, aku memberi penjelasan paling masuk akal.

"Yakinin diri sendiri aja terus, ngomong gitu. Aku mah, gak percaya." Prama menjawab, ngundang dikeplak banget si Shawn Mendes KW.

"Rumahnya yang mana, Pram?" papanya Pram menyelamatkan aku. Kami sudah sampai kompleks rumahnya Dalin. Dalam sekejap pembahasan soal Tian segera terlupa.

***

Makan malam yang sedikit terlalu formal, berakhir santai. Dan rame, banget. Mengingat semua keempat saudara perempuan Dalin dan ipar-iparnya dan ponakan-ponakannya ikutan juga, suasananya mirip reuni keluarga di hari Lebaran. Aku menggendong salah satu bayi kakaknya Dalin, yang masih berusia dua bulan, sambil bolak-balik menguping perencanaan pernikahan. Kedua pasang orangtua, Dalin, Prama, dan dua Uni-nya Dalin duduk di meja makan yang sudah bersih, ngobrol dengan akrab. Ipar-ipar cowok bertebaran bareng anak-anak, ada yang merokok di luar rumah, main PS, petak-umpet, benerin mainan...

Such a lovely, lovely scene. Aku tersenyum melihat pemandangan di hadapanku. Salah satu hal yang bikin aku kuat hidup lajang adalah karena aku dekat sama keluarganya Dalin. They're big and loud and have lots of love for me. I don't miss a thing. Ribet mau nikahan? Aku ikutan. Menjelang lahiran? Aku ada. Drama menyusui? Been there. Hampir semua hal di keluarga Mande, aku terlibat. Bedanya, Dalin makin pengen mengalami semua sendiri, aku ngerasa cukup bantu-bantuin aja deh.

Tapi, saat ini, melihat Prama dan Dalin dan keluarga mereka duduk bareng, sambil mendekap bayi yang tertidur, pelan-pelan aku ngerti perasaan Dalin.
I want it too. Aku pengen seseorang menatapku seperti Prama memandangi Dalin. Aku pengen punya bayi yang ngusel-ngusel sambil tidur di pelukanku. Aku pengen suatu hari nanti jadi tua dan mikirin anakku mau nikah.

"Ras, sini..." Dalin melambaikan tangannya. Ia bergeser, memberiku tempat di antara dirinya dan Prama.
Dan semua perasaan kepengen-pengen barusan, it's not because of loneliness. I never felt lonely.
It comes from a voice deep inside my heart, whispering softly, telling me that I deserve it.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang