"Are you rich?" aku bertanya pada Tian, yang sedang mencuci piring. Baru jam 14, tapi rasanya aku sudah seharian menghabiskan waktu dengannya. Dia berdiri di dapurku, bantu mencuci bekas masak dan piring-piring yang kami pakai untuk makan, sementara aku mengelap meja.
"Lars," ia menunjukku dengan wajah gak percaya, "What kind of question is that?"
"Penasaran. Soalnya aku sering lihat bintang-bintang film pakai baju mahal-mahal banget, mobilnya bagus-bagus, rumahnya besar... I always wonder how much you get paid." jawabku jujur. Aku selalu kepo gara-gara kebanyakan lihat instagram yang bahas baju artis Indonesia bareng Dalin.
Ia menarik nafas dalam-dalam, mengeringkan tangan, dan mengangkat bahu, "I'm pretty comfortable. But, I won't consider myself rich, just...lucky."
Tian menggosok salah satu wajan, "Agensiku lumayan. Mereka kasih aku pilihan baju-baju desainer untuk acara-acara tertentu, termasuk beberapa baju casual kalau aku pergi ke tempat yang kira-kira ada publisitas. Lalu untuk pakaian dan sepatu olahraga, karena iklan, aku juga punya banyak yang lumayan high-end. Tapi aku tinggal di apartemen studio, di Jakarta, sewa tahunan. Mobilku sudah dari tahun 2012 masih sama, dan gak berniat ganti untuk waktu yang lama."Rasanya masih gak percaya, ada cowok ganteng menggosok wajan bekas memasak ayam asam manis di dapurku.
"It comes with lots of privilages. Punya kesempatan melakukan hal-hal yang sebelumnya gak kepikiran bisa. So, I feel blessed." tambahnya.
Hmmm.
"Jadi kamu mau jadi aktor terus?""Sejujurnya? Enggak!" ia menjawab sambil tertawa kecil, "Aku kayak kamu. Doing things I'm good at, to make business I really love. Main film, kalau mainnya bagus, dapat uangnya lumayan cepat ketimbang jadi karyawan perusahaan."
"Oh. Seperti di Ubastech itu..." tebakku.
Ia tersenyum dan menggeleng, "Aku gak dibayar kerja di Ubastech. It's mine."
Waooow. Perusahaan IT yang sudah jadi partner Stanna sejak aku masuk kerja di sana itu...punyanya dia?
"Kenapa ID card kamu bukan CEO atau Founder atau Director sesuatu?"
Aku inget banget dia check-in awal-awal pakai tanda pengenal untuk dapat diskon corporate."Karena aku bukan CEO. Aku ngerjain bagian yang aku suka aja." jawabnya, menyimpan piring-piring terakhir di tempatnya dan mengeringkan tangan.
Whoa. Life's being very nice with Tian, indeed. Tiba-tiba ia jalan ke ruang tamu, lalu kembali dengan bungkusan plastik."Jangan lupa. Obat kamu."
Aku hampir lupa. Aku bahkan gak ingat kalau semalam aku masuk IGD."So. Aku harus bayar utang work-out-ku kemarin. Nanti malam aku ada meeting kerjaan. Besok aku harus ketemu manajemenku... Can I see you after? Dinner? Come on. We're not even had dinner."
"Sore ini aku mau temenin sahabatku ambil jahitan. Besok malam aku harus jemput temanku yang lain di bandara, so...I can't." jawabku sedikit kecewa. It's pretty fun being with him.
"Jemput pakai...mobil itu?" Tian menunjuk Karimun kecilku dengan wajah gak percaya. "Kamu bisa nyetir di tol malam-malam pakai mobil segede kardus mesin cuci itu??"
"Heh! Aku pakai dia dari SMA, udah kemana-mana ya. He's old but he's better than any real men I've known."
Meskipun kecil dan tua, tapi si Karim adalah penyelamat hidupku. Aku rajin banget ngurusin dia, masih mulus dan banyak yang nawar di jalan kalau lagi kupakai."No wonder! Harus pensiun. Seriously. It's not safe." Tian membuka jendela dan memandang mobilku dengan lebih cermat. "Kaleng biskuit banget dia di antara truk tronton dan bus-bus AKAP yang macam ikut dragrace kalau jalan di tol."
Erm. Aku jadi khawatir juga. Pakai mobil Dalin, aku gak jago pakai matik. Dan, lebih parah, Dalin juga gak jago pakai mobilnya sendiri. Beresiko tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
Chick-LitLaras Sada bercita-cita hidup tenang, sendirian...selamanya, kalau bisa. Dia gak butuh pasangan dan cerita romantis lagi. Pekerjaannya yang sibuk sebagai Manajer Reservasi di Hotel Stanna membuat hidupnya yang soliter terasa seimbang. Dia punya dua...