The Constantly-Changing Life

44.4K 3.6K 316
                                    

Sampai detik ini, aku masih selalu bertanya-tanya, "Kok bisa ya?" setiap kali diingatkan kalau hidupku berubah total dalam waktu yang sangat singkat.
It's amazing how universe works.

Aku sudah pindah lagi ke rumah lamaku. I bought my parents' house from Agas, make it mine, atas usul (dan sumbangan) Tian. Lalu, pelan-pelan aku perbaiki beberapa bagiannya. Masih kosong di banyak bagiannya, apalagi rumah tua ini punya lima kamar, satu ruang tengah besar banget, dapur yang membentang menghadap kebun belakang...dan tiga kamar mandi. Aku berusaha bersih-bersih seluruh rumah setiap hari, tapi kadang-kadang aku kecapekan banget pulang kerja dan langsung gedubrak di kasur.
But the B&B dream is still on.

Kerjaanku, jauh lebih demanding sekarang. Sejak viral di media sosial, Stanna is really popular. Salah satu tim PR dengan kreatif juga bikin youtube channel edukatif untuk orang-orang yang penasaran kondisi kerja di dunia perhotelan. Aku juga bikin program buat karyawan berjudul "Be a Guest", di mana employee of the month dapat kesempatan jadi tamu dan menikmati semua fasilitas Stanna, makan di resto dan nginep di suite gratis. Program ini sekarang diadaptasi di beberapa cabang Stanna di seluruh dunia. Happy staff, happy guest!

Dalin and Prama, still my bestfriends and family. They're expecting a baby next year. Saat ini, keduanya tinggal bareng keluarga Jupram, gak jauh dari rumahku, dan hampir tiap hari mampir.

Talking about family...
I have a big one now. Begitu menikah, aku masuk ke grup keluarganya Tian yang selalu sukses bikin aku ketawa geli sendiri. All are funny, warm, and loving each other endlessly. Omak dan Papanya Tian beberapa kali nginep di Bandung, juga sebaliknya. Uli is becoming this feisty little sister I always want. Everything is almost perfect.

Almost.
Aku masih belum dikasih dua strip di semua testpack kami setelah menikah. I thought it will come easy, like it did before. But, not yet. Everything is a false alarm. Mostly because I've been very busy, too tired, it ruins my cycle.
I kept testing myself, every Friday night, right after I got home from work. Sudah jadi semacam kebiasaan sekarang. Agak sedikit obsesif, tapi aku butuh ngelakuin sesuatu.

Tian doesn't seem to worry, though. Film terakhirnya masih belum aku tonton, meskipun baru menang penghargaan. Ada kemungkinan dia syuting sebuah film kolosal fantasy di New Zealand dalam tiga bulan ke depan. He's very excited about it. Ubastech juga masih running smoothly, dapat tawaran funding dari Google, tapi Tian gak minat. He's doing pretty good as well.

Tapi beberapa bulan belakangan, dia pengen banget bikin pesta kawinan. Beneran deh, aku bingung. Biasanya kan cowok-cowok males.
"Ah, Ras. Dia itu iri lihat saudara-saudaranya buat party selama ini..." Omak berkata di telepon, pas aku cerita soal anaknya, "Lagian Bastian itu, memang suka dia jadi panitia-panitia pernikahan. Kasihlah, gak usah besar-besar amat, yang penting beres. Aku tahu Bastian kalau sudah ada mau, haduh, pekak kuping dengar dia merengek..."

I can totally relate.

Makanya aku kemudian berpikir...why not?
Aku kepikir untuk bikin pesta kecil aja di Stanna, di kolam renang, malam hari, undangan terbatas, dan diakhiri dengan lampion terbang. Dengan sedikit niat, aku juga ngecek jadwal dan dapat tiga tanggal yang bisa dia pilih, kasih options untuk makanan dan color schemes. Kebetulan satu majalah bridal yang jadi langganan Stanna bulan ini membahas soal nikah minimalis.
Semuanya dikumpulin di satu kotak, mau kukasih kalau dia pulang malam ini.

It's been a long week, along with monthly report. Minggu ini, aku agak kecapekan kayaknya. Beberapa kali nyaris ketiduran di rapat, sempat lupa jalan pas nyetir, dan sedikit telat mikir kalau ditanya. Makanya, aku berencana mau di rumah aja weekend ini, bermalas-malasan sepanjang Sabtu dan Minggu, dan menikmati Netflix & Chill sama Tian...karena akhirnya aku punya TV! Dan Indihome!

Aku baru selesai mandi saat mobil Tian masuk pekarangan tanpa terduga. Masih sore padahal. Aku bergegas pakai baju dan menyambutnya di depan.
"Lars!" ia menyapaku sambil setengah lari ke kamar mandi. He has this weird pet peeves of not using a public bathroom, specifically one on the gas station or rest area. Mulai terbiasa dengannya yang kalau pulang langsung cari wc ketimbang peluk istri.

"Mandi sekalian, Yan. I have something for you..." seruku, menyiapkan pakaian di dekat pintu kamar mandi.

Ia keluar kamar sepuluh menit kemudian, menyusulku di sofa, sudah dalam baju rumahnya: t-shirt dan celana pendek.
"I got a surprise for you!" aku menepuk kotak putih di meja.
"Apa itu?" Tian masih berdiri di ujung sofa. Entah kenapa dia kelihatan agak...tegang. Mungkin kecapekan?
"Sini makanya. I bet you'll like it."

Tian duduk dan membuka kotak berisi brosur-brosur, beberapa majalah dan buku catatan yang kubuat. Ia memandanginya gak percaya.
"What is this?" tanyanya, dengan senyum mulai mengembang.
"Ini...adalah wedding planner kita. It's just something I made as a start, kalau kamu kepikiran yang lain, boleh, terserah. You want a wedding party, I'm giving you one. I love you that much."

Tian tertawa dan menciumku, "I love you more, Lars. I'd love to have one..." ia membuka-buka isi kotak, memandangi brosur dan catatan yang kubuat.

"But?"
I feel a 'but' is coming. Dia gak terlihat terlalu bersemangat, gak seperti dugaanku sebelumnya.

"But, wedding planning is very stressful..." ia mengusap bahuku, menatapku dengan matanya yang coklat terang.

"We'll manage."
I can do Dalin's wedding like a pro. Itu tuh seribu orang, gitu. Cuma 100 orang mah cincay lah.

"And stress is not good for the baby." tambahnya, mengangkat sebelah alis dan tersenyum penuh makna.

"What?"
Maksudnya apa sih?

Tian mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Di tangannya, adalah testpack stick bertutup yang barusan kupakai dalam cek mingguanku.

"It's a positive." ia mengangkatnya, tersenyum lebar.
"Hah? Kok bisa?" aku menyambar alat plastik itu dari tangan Tian.
It is a positive, indeed.

Aku gak bisa menahan senyum.
Baru ingat, tadi aku testpack sebelum mandi dan gak sempat lihat hasilnya, keburu keluar buru-buru karena Tian datang.

Tian menarikku dalam pelukannya, sementara aku masih memandangi dua garis yang terlihat jelas di indikator. Finally!

"We're having a baby, Lars!" ia berseru.
"Yessss!"
Euforia segera melingkupi kami, yang berpelukan erat-erat. Ia menghujani wajahku dengan ciuman.

"Ayo kita ke UGD sekarang..." Tian berhenti, lalu
menarikku menuju pintu sambil menyambar kunci mobil.
"Ngapain??"
"Cek langsung, lah. I bet they have all those sophisticated stuff so we can be sure..."

Eh. Beneran dong ini. Tian betulan mendorongku masuk ke kursi penumpang, gak sadar kalau aku cuma berkaos tipis dengan celana batik dekil buat tidur, dan rambutku masih basah, belum disisir pula!

"Yan, tasku masih di kamar..." aku mengingatkan.
"Gausah..."
"KTP dan lain-lainnyaaaa..."
"Okay. Wait here." Dia berlari masuk rumah, keluar dengan tasku beberapa saat kemudian.

"Udah kunci-kunci?"
"Udah."
"Aku nyalain kompor gak sih?"
"Nggak."

Ia memundurkan mobil dan dalam sekejap kami sudah berkendara di jalanan Bandung, menuju rumah sakit terdekat.

"Are you okay?" tanya Tian saat akhirnya kami parkir di RS Advent.

The ever-changing life. I never thought I'm enjoying it. Perubahan memang kadang menakutkan, apalagi kalau pernah sakit, terluka, trauma. I've spent years feeling hurting and denying what tomorrow will bring. But time heals. We grow. People change. And love, always wins.

Perubahan hidupku dimulai waktu aku gagal nikah, lalu masuk ke status quo yang berlangsung lama. Saat aku akhirnya membuka hati dan pikiranku, berani untuk mengikuti ke arah mana gelombang hidup membawa... ternyata aku baik-baik saja. I even got better.

"We will be okay." jawabku yakin.
Everything will be okay in the end.
If it's not okay, it's not the end.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang