A Wedding for A New Start

21.4K 2.9K 173
                                    

"...dibayar tunai!"
"Sah?"
"Sah! Alhamdulillaaah..."

Air mataku merebak gak bisa tertahan lagi. Duduk di depan penghulu, dengan Mande di kiri dan mamanya Prama di kanan, aku menyaksikan jelas proses ijab kabul yang sempat jadi hal paling kuhindari lima tahun terakhir.

"Ras, tisu, tisu..." bisik Mande padaku.
Aku buru-buru merogoh tas kecilku dan memberi tisu pada Dalin yang duduk di depanku, di sampingnya Prama, dan baru saja officially jadi istrinya.

Dalin melirikku sekilas saat aku menyelipkan tisu di tangannya. Ia terlihat...sangat, sangat bahagia. Aku mengacungkan jempol dan tersenyum lebar padanya. Dalin tergelak memandangku.
Akhirnya!

Enam bulan proses persiapan yang panjang, and we're finally here. Proses akad nikah, sesuai keinginan Dalin, dilakukan dengan sederhana di Champaca Wedding Deck, menghadap hutan dan latar belakang langit sore yang cerah. Tamunya hanya keluarga dan sahabat terdekat. An intimate ceremony and private party. Besok pagi menjelang siang, barulah kami geser ke venue lebih besar untuk acara resepsi yang akan dihadiri seribu orang di Bumi Sangkuriang.

A big wedding, and a beautiful one.

Setelah serangkaian prosesi adat, aku akhirnya bisa menyelipkan diri di antara kedua sahabatku, berpelukan bertiga.

"Rasss...makasih banyak ya..." Dalin berbisik.
"Jangan nangiiiisss. Nanti lo mesti di-touch up ama ibu-ibu galak itu lagi, Lin." aku memeluk Dalin, yang terlihat super duper cantik dalam baju kurung nya yang bernuansa merah dan emas. Buatan Bu Rasmi!
"Bodo amat." jawabnya judes, sementara aku mengusap air mata di pipinya sehati-hati mungkin. Sebetulnya gak ngaruh meski Dalin nangis histeris pun, karena make-up nya ternyata beneran waterproof. Haruslah! Hampir 3 jam aku nemenin dia make-up barusan. Sampai sempat ketiduran, bangun, masih belum beres.
"Akhirnya, Ras." Prama yang kini berkomentar, menggerak-gerakkan dua alisnya, sebelum memelukku.
"Akhirnyaaaaa, Jup." aku gak bisa menahan senyum lebarku.
"Apa sih akhirnya-akhirnya. Ini kan baru awalnyaaa..." Dalin berkata manja.
"Akhirnya lo jadi istri orang, bebaaaas hidup gue." jawabku, yang ditanggapi cubitan khas Dalin di pinggangku.

Fotografer meminta kami bertiga berpose. Beberapa foto, dan Jupram memintanya berhenti, "Cuy, mana si Tian?" ia mengingatkan.
Ya ampun. Lupa! Aku mencari-carinya di antara sekitar 200 undangan yang semuanya adalah teman dan keluarga pengantin. Nyasar atau tersangkut pastinya. Suasana mulai ramai karena makanan sudah mulai dihidangkan.

"Gue cari dulu!" aku segera berpamitan.
"Nanti sini lagi, foto dulu ya!" Dalin menambahkan.

Berjalan di antara orang-orang, aku mencari sosok yang baru datang sesaat sebelum akad nikah, langsung dari Jakarta habis selesai kerja. Aku gak berharap dia bisa datang, tapi amazingly, dia nyampe juga. Sudah cakep pula, langsung pakai baju rapi, dan membiarkan rambut ikalnya sedikit berantakan sesuai pesanku. Kami terpisah gara-gara kedua ibu pengantin mendadak menginginkan aku duduk di antara mereka, sementara kursiku dan Tian sebetulnya di samping kakak-kakak iparnya Dalin.

Tepat dugaanku. Tian lagi diantre untuk wefie sama keluarga di salah satu pojokan dengan dekorasi bunga cantik buat background instagramable. Aku buru-buru menyambar lengannya, "Pinjem duluuu yaaa. Dipanggil sama anak darooo..." pamitku pada ibu-ibu berbaju kurung. Mereka langsung maklum.

Aku menarik Tian ke arah pelaminan, tapi dengan sigap berbelok, menuju lorong yang sepi penghubung ke bangunan utama hotel.

"Whoa! Kemana kita?" Tian berseru kaget.
"Seminggu penuh kamu di Jakarta. Sore ini sampai malam, aku harus berbagi kamu sama tamu undangan. Aku pengen peluk sebentar aja..." jawabku, memeluknya erat-erat. Ia terkekeh dan membalas pelukanku.

"Kamu tau kan, kita bisa aja peluk-pelukan di luar? Gak mesti di tempat tersembunyi, remang-remang, sedikit spooky kayak di sini..." suara Tian terdengar menggemaskan banget di telingaku.

"Gak mau. Nanti difoto-foto. Plus, it's my bestfriends' wedding. Me hugging you out in the open would definitely steal their thunder."
Aku memandang Tian yang tersenyum di hadapanku, super ganteng. I can't believe he's mine. Life has unbelievable way to get you be with someone you never dreamt of having.

"Very thoughtful, as always, Ibu GM." Tian berkomentar, sebelum mencium bibirku, yang tentu saja kusambut bersemangat.
I miss him so very much.

Tapi setelah bermenit-menit, yang sedikit terlalu panas, aku akhirnya melepaskan diri. Ingat kalau kami masih harus foto sama pengantin. Gak lucu banget kalau rambut dan baju kami berantakan dalam foto yang pasti bakalan dipajang di rumah Dalin dan Prama.
"Noooo..." Tian mendorongku ke dinding, menciumi leherku, "Just a quickie, please. Haven't seen in you in a week. And you're too pretty."

Huh. Rayuan Tian mulai gak kreatif, nih. Udah gak terlalu mempan. Aku mengecup pipinya cepat sebelum menariknya menuju area keramaian.
"Gak bisa. Foto dulu kita..."

Sesaat sebelum melangkah ke ruangan pesta, aku memastikan rambut dan pakaianku gak kelihatan seperti habis make-out. Aku mengecek Tian, merapikan rambutnya sedikit, menghapus sisa lipstikku di wajahnya, masukin kemeja ke celananya...

"Oh, you shouldn't do that." Tian mengedipkan sebelah matanya, senyumnya jahil.
"Oh, I have right to do anything I want to, with you." jawabku, membalas dengan suara dan senyum terseksi yang bisa kulakukan, menggoda Tian yang segera mengerang frustasi sebelum menggandengnya keluar lorong.

"This wedding is very fancy," komentar Tian sambil memandangi langit-langit yang didekorasi bunga dan kristal di atas kami, "Don't you want one?"

Aku sudah cukup tahu gimana capeknya ngurusin nikahan Dalin yang banyak menguras energi lahir batin.
"Nope." aku mengangkat bahu, melingkarkan tanganku ke lengan Tian, berjalan mengantre di belakang orang-orang yang berbaris untuk salaman dan memberi selamat.

"Needs are necessities. Wants are desires." mantra baru dalam hidupku. Fokus sama hal-hal esensial aja. Biar gak banyak mau.

"Ha? Gimana?" Tian mengerutkan kening, terlihat super cute kalau lagi bingung. Gemes. Bikin pengen godain, kan!

"Wants: I want you in my bed, stripping you off these clothes, with your hand all over my body, and kissing me slowly..." aku menjawab pelan, menyaksikan Tian menyipitkan mata dan menggigit bibirnya tanpa sadar, sebelum menambahkan dengan cepat, "Needs: We need to be in this wedding party until it's over."

"I see what you're doing. You, naughty, cheeky, bad, bad wife." Tian berkata pelan.

"Good. Every woman needs a thoughtful, good, nice, understanding husband." aku mengusap pipinya yang mulai terasa kasar di telapak tanganku. Hmm.

Tian merangkulku sambil tertawa.
"I get it. You don't want any wedding party."
Selama empat bulan terakhir, Tian masih aja bertanya apakah aku mau resepsi untuk pernikahan sederhana kami yang berlangsung berbulan-bulan lalu. Super sederhana, berlangsung di masjid, dilanjut makan-makan, dan hanya dihadiri keluarga inti plus sahabat-sahabat terdekat yang jumlahnya gak sampai 30 orang.

"But...it's just...kinda...secretive..." Tian menambahkan.
"Enggak secretive, ah. Kita berdua sama-sama pakai cincin kawin, KK dan KTP alamatnya sama, ada buku nikah, ada mas kawin, statusnya menikah..." jawabku.

"Suatu hari nanti anak-anak kita bingung kenapa foto nikahan kita gak ada foto party-nya."
"Don't use that kids card on me, Bastian Sahala."
"I want one. I want a wedding party."

"Wedding party is stressful. Too much stress is not good for the baby."
"What?"

Aku tersenyum lebar, sementara Tian mangap di depanku.
"Seriously? Kamu bilang ini di antrean mau salamanan sama pengantin? Kamu tuh punya kesempatan barusan pas kita kangen-kangenan, tau gak sih." Tian memekik tertahan.

"Sssshhht. Aku belum yakin, baru telat 2 minggu. Tapi habis ini, kita bisa ke minimarket, beli testpack dan ngecek di kamar. If it's positive, no wedding party. If it's negative, we'll try again." aku berbisik di telinga Tian.

"Deal."
Ia mengangguk setuju, super excited, memelukku erat-erat. Definitely an akun-gosip materials, kalau ada yang ambil foto kami sekarang. But for a while, I don't really care.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang